Program dan Programming Media Penyiaran
Sebagai sebuah institusi yang juga bergerak di
bidang industri, lembaga penyiaran di Indonesia semestinya memiliki suatu
komoditas untuk bertahan hidup. Dalam hal ini, acara siaran televisi maupun radio
yang ditayangkan di berbagai lembaga media penyiaran adalah ‘barang dagang’
yang memiliki pengaruh besar terhadap kelangsungan hidup media penyiaran. Produk
berupa siaran tersebut adalah program acara televisi atau radio yang
ditayangkan untuk beberapa hal tertentu. Setiap lembaga penyiaran tentunya
memiliki tujuan yang berbeda tergantung dari bentuk lembaga penyiaran itu
sendiri. Lembaga penyiaran publik tentu memiliki tujuan yang berbeda dengan
lembaga penyiaran komunitas, begitu pula dengan lembaga penyiaran komersial.
Kita dapat melihat tujuan lembaga penyiaran tersebut dari orientasi dan bentuk
korporasi mereka terhadap tujuan itu sendiri.
Biasanya
program acara televisi atau radio ditayangkan untuk memberikan informasi,
edukasi, persuasi, maupun hiburan kepada masyarakat. Sebagai sebuah substansi
nyata dari lembaga penyiaran, program televisi dan radio sangatlah esensial. Selain
berfungsi secara normatif, program siaran juga menjadi alat penarik iklan.
Program yang memiliki rating tinggi akan memiliki peluang lebih banyak mendapat
iklan daripada program yang sepi peminat. Dapat dikatakan, rating adalah salah
satu indikator untuk mendapat iklan. Tarif iklan itulah yang nantinya menjadi
sumber kehidupan bagi lembaga penyiaran untuk bertahan hidup.
Suatu
lembaga penyiaran dalam mengelola programnya membentuk sebuah departemen yang
khusus menangani program, yaitu departemen program. Departemen program adalah
adalah posisi yang bertanggung jawab penuh dalam mengelola program atau acara
pada suatu stasiun penyiaran radio atau televisi. Departemen program bertugas
untuk mengisi slot-slot waktu yang ada dengan program-program berkualitas dan
efisien. Orang-orang yang bekerja pada departemen ini biasanya disebut dengan
programmer sedangkan kegiatan yang mereka lakukan disebut programming. Mereka
bertugas melayani penonton atau target suatu stasiun penyiaran melalui berbagai
programnya. Jika suatu program bisa menarik banyak penonton atau memiliki
karakter yang sesuai dengan kebutuhan pemasang iklan untuk mempromosikan
produknya, maka media penyiaran yang bersangkutan akan mendapatkan client (pemasang iklan) dengan kata
lain keuntungan (pemasukan). Dengan demikian pendapatan dan prospek suatu media
penyiaran sangat ditentukan oleh bagian program.
Untuk
memahami bagaimana program dan programming, kita perlu memahami makna dari
kedua terminologi tersebut. Pengertian “program” dalam media penyiaran sangat
identik dengan jasa siaran yang menjadi pondasi utama dalam pengisian slot
waktu siaran. Kata program adalah asal kata programme
atau program yang berarti acara atau rencana. Dalam Undang-Undang Penyiaran
Indonesia tidak mengunakan kata program untuk menerjemahkan acara tetapi
mengunakan istilah “siaran” yang didefinisikan sebagai pesan atau rangkaian
pesan yang disajikan dalam berbagai bentuk. Namun, kata program lebih sering
digunakan dalam dunia penyiaran di Indonesia dari pada kata siaran. Singkatnya,
program adalah segala hal yang ditampilkan stasiun penyiaran untuk memenuhi
kebutuhan penontonnya.[1]
Istilah program dalam kamus WJS
Purwodarminto adalah acara, sedangkan kamus Webster
International Vol. 2 lebih merinci yakni program adalah jadwal (schedule) atau perencanaan untuk
ditindaklanjuti dengan penyusunan butir siaran yang berlangsung sepanjang
siaran itu berada di udara. Secara teknis penyiaran televisi, program televisi
(television programming) diartikan
sebagai penjadwalan atau perencanaan siaran televisi dari hari ke hari (horizontal programming) dari jam ke jam
(vertical programming) setiap
harinya.
Dalam
media radio terdapat perbedaan arti kata yang jelas antara program dan
programa. Programa di dunia radio berarti acara, sementara yang dimaksudkan
dengan program adalah susunan kesatuan acara dalam sehari. Media televisi hanya
mengistilahkan programming atau pemrograman.
Stasiun
radio dan televisi menyajikan berbagai jenis program yang jumlahnya sangat
banyak dan jenisnya sangat beragam untuk setiap slot waktu. Pada dasarnya
program apapun bisa menjadi pengisi slot waktu untuk disiarkan, selama program
itu menarik dan berpotensi disukai audien. Program itu juga tidak boleh
bertentangan dengan kesusilaan, hukum, dan peraturan yang berlaku di mana media
penyiaran itu beroperasi. Dalam hal ini, departemen program bertugas
merencanakan, memilih dan menyusun acara. Membuat rencana siaran berarti
membuat konsep acara yang akan disuguhkan kepada penonton.
Setiap
program sesungguhnya memiliki karakter waktunya sendiri, yaitu penempatan atau
pengalokasian waktu siaran. Hal yang diperhatikan lainnya dalam sebuah program
siaran dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi programatik dan sisi penonton
atau sasaran program. Sisi programatik berkaitan dengan kesesuaian alokasi
program dalam jadwal siaran, sisi penonton berhubu ngan dengan aspek
geokultural sasaran program yang tersebar diseluruh negeri dengan tradisi yang
berlainan.
Perencanaan
program dalam media penyiaran mencakup pekerjaan mempersiapkan rencana jangka
pendek, menengah, dan jangka panjang yang memungkinkan stasiun penyiaran untuk
mendapatkan tujuan program dan tujuan keuangannya. Pada stasiun televisi,
perencanaan program diarahkan pada produksi program yaitu program apa yang akan
diproduksi, pemilihan program yang akan dibeli (akuisisi), dan penjadwalan
program untuk menarik sebanyak mungkin audien yang tersedia pada waktu
tertentu. Peter Pringle (1991) mengemukakan beberapa faktor terpenting sebagai
berikut: persaingan, ketersediaan audien, kebiasaan audien, aliran audien,
ketertarikan audien, ketertarikan pemasang iklan, anggaran, ketersediaan program,
produksi sendiri.
Lain
halnya dengan program siaran radio di Indonesia. Saat ini, radio lebih menyukai
memproduksi sendiri siaran(programn)nya. Hal tersebut dikarenakan pergerakan
kreativitas programer radio yang
terbilang sangat cepat. Proses perencanaan, penulisan, dan produksi program
siaran radio dapat dilaksanakan tanpa negosiasi yang berkepanjangan. Program
stasiun penyiaran radio pada umumnya memproduksi sendiri setiap programmnya,
karena kondisi anggaran ketat untuk mendapatkan client dan jadwal siaran yang
demikian padat.
Sedangkan
stasiun penyiaran televisi masih memerlukan atau sangat membutuhkan
program-program yang berkualitas untuk mengisi slot waktunya. Khususnya stasiun
televisi yang baru berdiri akan sangat bergantung padap rogram yang dibeli.
Dalam
pengelolaan program siaran, terdapat konsep manajamen dan perencanaan yang
menjadi landasan dalam penyusunan program lembaga penyiaran. Penyusunan
tersebut dikenal sebagai programming. Kegiatan programming mencakup sebagai
berikut, pemantauan dan pengkajian kecenderungan masyarakat dan kompetitor
serta mengelola persaingan; penyusunan pola acara dan kriteria acara; penetapan
sumber program; pemilihan dan penetapan program; pengembangan program; penyusunan
acara harian (run down); persetujuan
produksi; dan penilaian bahan siaran serta memantau siaran
Programming sendiri dapat didefinisikan
sebagai suatu kegiatan atau pekerjaan menyusun program-program secara
sistematis dan terjadwal untuk terselenggaranya kegiatan siaran baik radio maupun
televisi. Penyusunan program dapat dilakukan berdasarkan pola harian, mingguan,
bulanan, bahkan tahunan. Sehingga istilah programming
menurut Effendy adalah pendistribusian waktu siaran atau penataan acara siaran.
Pada umumnya, pihak perencanaan siaran mengatur jadwal penayangan satu program
televisi berdasarkan perkiraan kecenderungan menonton peminat program tersebut.[2]
Programming dilihat sebagai suatu proses
memilih, menyeleksi menjadwal program dan mengevaluasinya. Programming dianggap
sangat penting karena menentukan berhasil atau tidaknya sebuah program meraih
audiens dalam jumlah besar. Bittner[3] menjelaskan
programming dengan cara menganologikannya dengan sesuatu hal:
Programming
is the product of broadcasting. Just as a strore sells goods or a law firm
sells advie, broadcasting sells programming. Just as store owners set prices
for their good and lawyers set fees for theirservices, broadcasters set rates
for the commercials that will share time with programming.
Penuturan
Bittner, memberikan gambaran lain tentang programming. Program acara stasiun
penyiaran yang sedemikian rupa memiliki dua pengertian sebagai sebuah proses
dan hasil. Susan dan Ferguson [4]
mendefinisikan programming sebagai:
A
group of programs on a radio or televise channel or the act of choosing and
scheduling programs on broadcast station or a subscribed channel.
Menurut
Ferguson programming merupakan kelompok program dari saluran radio atau televisi,
dengan memilih kesenian dan jadwal program acara dalam pemancar radio atau
saluran berjaringan. Pada programming memiliki beberapa bagian, diantaranya
adalah seleksi, jadwal acara, promosi, program evaulasi dari perolehan dugaan
tentang kebiasan penonton, lima asumsi dari grup programming media:
harmonisasi, bentuk kebiasaan, control dari aliran penonton, percakapan sebuah
sumber program, dan keputusan besar. Dalam hal ini, Dominick memaparkan bahwa programming
adalah proses yang sangat vital dalam media penyiaran.[5]
Once
the show have been produced, where, and when to place them in the schedule must
be decided. This task, known as programming, is a crucial one. A bad
programming decision might mean failure fo a good show while a shread decision might make a mediacare show a
hit.
Selain
itu, Susan dan Ferguson menambahkan penting dan uniknya programming[6]:
Programming
is a unique product in that it is used to lure the attention of consumers so that advertisers can show those
consumers commercial messages that help sell other product. Programmers work
only indirectly for the
audience, the primary customer is the advertiser, without whom there would be few programs to see or hear.
Pernyataan
tersebut mengukuhkan program sebagian alat untuk menarik audiens. Semakin
banyak audiens suatu program siaran, maka akan menarik pengiklan dalam lembaga
penyiaran tersebut.
Dari
sudut pandang audiens, programming dianggap
sebagai proses penyediaan materi siaran yang sesuai keinginan dan kebutuhan
pemirsa yang dapat ditonton pada waktu yang paling sesuai bagi mereka. Sedangkan
bagi stasiun TV, programming adalah
mendapatkan dan mengembangkan program serta menjadwalkan penyiaraannya agar
dapat menarik sebanyak mungkin pemirsa dan bersaing dengan seluruh kompetitor
yang ada untuk mendapatkan iklan. Bagian programming memiliki tugas menentukan
prosentase setiap jenis program. Akusisi dalam stasiun penyiaran televisi
berfungsi memilih materi-materi program yang dibutuhkan dengan jumlah
disesuaikan dengan prosentase tadi.
Sedikit
berbeda dengan stasiun penyiaran radio, programming dapat dipahami baik sebagai
aktivitas, maupun sebagai hasil dari suatu aktivitas. Sebagai hasil dari suatu
aktivitas, programming adalah konsekuensi dari aktivitas pemrograman itu
sendiri. Konsep programming sebagai hasil aktivitas pemrograman senada dengan
pengertian Darwanto tentang istilah programa. Dalam hal ini, programming radio
lebih dikenal dengan istilah programa.[7]
Programa
adalah komposisi dari beberapa acara yang diatur atau disusun dengan pola
mozaik untuk waktu yang sesuai, sadaran atau audien beserta obyektifnya, dan
program tersebut harus diselenggarakan secara konsekuen dan teratur harus baik
untuk disiarkan kepada khalayak.
Dengan
kata lain programa adalah komposisi berbagai program acara yang disusun
sedemikian rupa layaknya mozaik, dengan pertimbangan tertentu sehingga mampu
menarik ketertarikan audiens. Dalam kondisi tingginya persaingan antar stasiun
radio dalam memperebutkan audiens dan pengiklan, Budi Sayoga mengemukakan bahwa
programa adalah strategi dan program siaran adalah taktik bagi sebuah lembaga
siaran. Strategi dituangkan dalam programa siaran sebuah stasiun radio.
Sedangkan taktik adalah metode, cara, rekayasa, yang digunakan untuk
merealisasikan target capaian yang direncakan dalam strategi itu.[8]
Program-program yang mengisi setiap jam siar sebuah radio adalah wujud nyata
dari taktik tersebut.
Programing
merupakan salah satu aspek penting yang digunakan suatu stasiun radio untuk
menarik dan meraih pendengar dalam jumlah tertentu. Proses programming dikatakan
berhasil apabila pengembangan citra dari radio tersebut terhadap pendengar
diraih dalam jumlah yang banyak. Jika ratingnya pun tinggi maka jumlah pemasang
iklan pun akan bertambah sehingga hal tersebut juga akan berpengaruh pada naiknya
jumlah pendapatan yang akan didapatkan oleh stasiun radio tersebut.[9]
Dalam
proses programing atau perencanaan sutu program acara yang nantinya akan
disiarkan harus terlebih dahulu ditentukan beberapa ihwal, yaitu judul acara,
kriteria program acara, bentuk penyajian dan lamanya program acara tersebut
akan disiarkan.[10]
Meninjau
program dan programming sebagai substansi dari konten lembaga media penyiaran.
Tentunya, terdapat indikator atau patokan dalam menentukan apakah suatu program
dan programming dalam lembaga media penyiaran sudah baik atau masih buruk.
Selama ini, kriteria baik-buruknya program dan programming di lembaga penyiaran
di Indonesia hanya ditentukan dari minat audiens. Program siaran yang dianggap
memenuhi selera masyarakat adalah program yang patut untuk dipertahankan.
Program yang memiliki rating tinggi sehingga mampu menggaet pengiklan merupakan
acara program yang baik. Dalam hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwa orientasi
lembaga penyiaran hanya sebatas profit semata. Padahal, ketika berbicara
mengenai lembaga penyiaran sebagai institusi yang menggunakan frekuensi publik,
harus ada penenmpatan publik yang pas dalam pengelolaan program itu sendiri.
Dalam
hal ini, ukuran kriteria baik-buruk suatu program dan programing lembaga
penyiaran hanya berdasarkan dari animo masyarakat. Misalnya saja seperti
sinetron ‘Ganteng-Ganteng Serigala’ yang mendapat antusiasme tinggi dari
kalangan masyarakat. Padahal, jika ditinjau ulang, substansi dan isi sinetron
tersebut sangatlah tidak masuk akal. Sinetron tersebut sama sekali tidak
memberikan isi yang ‘bergizi’ untuk masyarakat selain hiburan yang kasar dan
tidak mendidik. Sebagai sebuah institusi masyarakat, lembaga penyiaran –
khususnya LPS memberikan wawasan yang bermutu. Namun, kenyataannya, masyarakat
Indonesia dicekoki oleh sinetron-sinetron yang isinya tidak mendidik sama
sekali.
Isi
siaran seharusnya dapat mengajak penonton untuk mengambil contoh-contoh dari
acara yang baik, atau paling tidak penonton dapat mempertimbangkan apa yang
harus dilakukan, tentunya hal-hal yang positif, seperti yang baru saja di lihat
dalam acara televisi.
Selain
permasalah konten, hal yang lebih mendesak lagi adalah penegasan klasifikasi
program setiap lembaga penyiaran. Selama ini, masyarakat Indonesia disuguhi
program yang hanya dibuat untuk kepentingan pasar pengiklan saja tanpa
menimbang klasifikasi program sebagai landasan siaran. Lembaga penyiaran
seperti media televisi tidak mencantumkan klasifikasi program siarannya.
Padahal, klasifikasi program siaran ini merupakan indikator bagi pemirsa untuk
menentukan tayangan televisi mana yang layak ditonton oleh setiap anggota
keluarga. Pada dasarnya, Komisi Penyiaran Indonesia mewajibkan stasiun televisi
untuk mencantumkan klasifikasi dalam tiap judul tayangan. Namun, masih saja
terdapat beberapa stasiun televisi yang mengabaikannya. Dalam hal ini, lembaga
penyiaran swasta yang mencantumkan klasifikasi program hanya MNC TV, Global TV,
dan TRANS TV. TVRI sebagai media penyiaran publik malah tidak memiliki
klasifikasi program.[11]
Padahal,
di dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah diterangkan mengenai
klasifikasi program tayangan ini, yakni pada Bab Pelaksanaan Siaran bagian Isi
Siaran Pasal 36 Ayat 3 yang berbunyi “Isi siaran wajib memberikan perlindungan
dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan
menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib
mencantumkan dan/tidak menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi
siaran”. Sudah jelas bahwa masih banyak stasiun televisi swasta yang melanggar
pasal tersebut, khususnya TV One dan Metro TV.
Lembaga
penyiaran televisi wajib menyertakan informasi tentang penggolongan program
berdasarkan usia khalayak penonton di setiap acara yang disiarkan. Penggolongan
program ini akan berakibat pada jadwal tayang acara bersangkutan. Untuk
memudahkan khalayak penonton mengidentifikasi, informasi penggolongan program
ini harus terlihat di layar televisi di sepanjang acara berlangsung.[12]
Masih
banyak lagi program-program siaran televisi yang telah melanggar peraturan
penyiaran yang telah ditetapkan. KPI pun telah memberikan teguran-teguran
hingga sanksi kepada pihak stasiun televisi yang program siarannya dianggap
melanggar UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Namun, sayangnya dari pihak
stasiun televisi tersebut masih saja tidak mengindahkan teguran maupun sanksi
tersebut. Mereka tetap saja menayangkan program-program yang dianggap mampu
menarik perhatian para pemirsa tanpa menghiraukan teknis serta kaidah penyiaran
yang baik dan benar. Para lembaga penyiaran swasta khususnya di media televisi
menjadi terpacu oleh rating yang menarik perhatian para pengiklan sebagai
sumber keuntungan mereka, sehingga berbagai carapun dilakukan supaya rating
program-program siaran mereka tetap tinggi.
Menyikapi
hal tersebut, saya menukil pernyataan Peter Herford: “Jangan menyusun acara
stasiun TV menurut selera pribadi anda. “Banyak stasiun TV yang sukses
dijalankan oleh orang yang tidak suka pada acara-acara yang mereka siarkan”. Dari
pernyataan Peter, kita dapat melihat bahwa sesungguhnya program yang disiarkan
di televisi adalah produk yang hanya berorientasi pada keuntungan. Para
programmer pada institusi tersebut mengetahui dengan pasti bahwa program tersebut buruk dan membohoi masyarakat.
Namun, mereka tetap menayangkannya dengan alasan rating dan penarik iklan.
Hal
tersebut tidak dibiarkan terus-meneru.
Frekuensi sebagai milik publik harus ditempatkan ke tangan rakyat dengan pas.
Jangan sampai frekuensi dikapitasasi secara terselubung hingga masyarakat tak
menyadari bahwa haknya telah direnggut. Sudah saatnya lembaga penyiaran swasta
di Indonesia saat ini harus mulai membenahi permasalahan-permasalahan pada
program dan programming sistem penyiaran mereka, terutama pada lembaga penyiaran
swasta televisi. Publik sebagai konsumen media penyiaran layak mendapatkan
asupan informasi dan hiburan yang positif melalui program-program yang
disediakan oleh lembaga penyiaran swasta tersebut. Publik sangat mengharapkan
lembaga penyiaran swasta Indonesia, meskipun bersifat komersil dan berorientasi
pada keuntungan, mereka mampu termotivasi untuk dapat berlomba-lomba
menghadirkan program-program yang bermutu, kreatif, inovatif dan sesuai dengan
regulasi yang ada supaya dapat mengembangkan kualitas sumber daya masyarakat
serta memajukan sistem penyiaran di Indonesia..
Menurut
Peter Pringle, dalam hal pengawasan program, manajer program harus melakukan
hal-hal sebagai berikut : (1) mempersiapkan standar program stasiun penyiaran,
(2) mengawasi seluruh isi program agar sesuai dengan standar dan aturan
perundangan yang berlaku, (3) memelihara catatan program yang disiarkan, (4)
mengarahkan dan mengawasi kegiatan staf departemen program, (5) memastikan
kepatuhan stasiun terhadap kontrak yang sudah dibuat, (6) memastikan bahwa
biaya program tidak melebihi jumlah yang sudah dianggarkan.
Di
Indonesia, ketentuan butir 1 dan 3 tersebut sudah diatur dalam Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang disusun oleh Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) melalui keputusan No. 9 Tahun 2004 dan harus dipatuhi oleh
setiap stasiun penyiaran. Pedoman Perilaku Penyiaran merupakan panduan tentang
batasan-batasan mengenai apa yang diperbolehkan dan/atau tidak diperbolehkan
berlangsung dalam proses pembuatan (produksi) program siaran, sedangkan Standar
Program Siaran merupakan panduan tentang batasan apa yang diperbolehkan
dan/atau yang tidak diperbolehkan ditayangkan dalam program siaran.
P3SPS
membuat sejumlah aturan main yang harus dipatuhi pengelola program penyiaran
ketika memproduksi jenis program tertentu yang mencakup program faktual
(informasi), kuis, perbincangan, mistik, asing, dan program pemilu.
Pelanggaran
atas P3SPS dikenakan sanksi administratif yang mencakup : a) teguran tertulis;
b) penghentian sementara mata acara yang bermasalah; c) pembatasan durasi dan
waktu siaran; d) denda administratif; e) pembekuan kegiatan lembaga penyiaran
untuk waktu tertentu; f) penolakan untuk perpanjangan izin dan atau; g)
pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.
P3SPS
sesungguhnya sudah menjadi landasan dalam penyelenggaraan program dan
programming. Di dalamnya sudah ada peraturan terkait kriteria-kriteria yang
layak tayang maupun tidak. Selain P3SPS, kode etik jurnalistik juga menjadi
acuan untuk melihat kriteria suatu program – khususnya program pemberitaan. Siaran
Berita yang saat ini disiarkan di televisi maupun radio seharusnya menjadikan
kode etik jurnalistik sebagai landasan dalam merangkum berita. Tanpa dapat
ditawar, lembaga penyiaran harus menyajikan informasi dalam program faktual
dengan senantiasa mengindahkan prinsip akurasi, keadilan, dan ketidakberpihakan
(imparsialitas).[13]
Namun,
pada kenyataannya berita yang saat ini diterima masyarakat masih jauh dari
semua itu. Berita investigasi minim konfirmasi sehingga akurasinya tidak jelas.
Bahkan beberapa program investigasi seringkali membawa narasumber palsu.
Artinya, lembaga penyiaran tersebut berani membohongi publik demi mengejar
rating. Ditinjau dari segi berita, selain tidak netral dan obyektif, konten
berita juga sangat memprihatinkan.
Siaran
berita hanya menekankan urusan politik dan kriminalitas. Persoalan lingkungan,
ekonomi, budaya, dan pendidikan minim perhatian. Selain itu, cara merangkum
berita bencana suatu televisi sangat memprihatinkan. Salah satunya adalah
memperlihatkan jumlah korban yang meninggalkan tanpa ada sensor. Tidak hanya
itu, terkadang wawancara dengan narasumber hanya ala kadarnya dan menanyakan suatu
hal yang tidak substansial.
Semua
kriteria program yang baik dan bagaimana perencanaan jadwalnya sesungguhanya
sudah dipaparkan dalam P3SPS dengan sangat jelas. Lembaga media penyiaran –
baik radio maupun televisi seharusnya mentaatinya sebagai salah satu kode etik
dalam memberikan informasi kepada masyarakatn. Namun, sayang, lembaga penyiaran
saat ini benar-benar berorientasi pada profit semata. Instrumen yang digunakan
media penyiaran untuk melihat baik-buruknya suatu program adalah dengan rating.
Program dinilai baik ketika mampu menarik iklan Dan program dinilai buruk ketika
minim iklan.
Dalam
hal ini, dapat digarisbawahi bahwa instrumen tersebut sebenarnya tidak
digunakan untuk melihat kritria baik-buruk suatu program dan programming.
Namun, instrumen tersebut adalah alasan untuk mempertahan suatu program dan
prograaming karena telah memiliki klien pengiklan. Dapat dikatan bahwa rating
adalah alasan suatu lembaga penyiaran mempertahan programnya. Jelas, lagi-lagi
orientasi mereka berbicara mengenai profit. Padahal, UU Penyiaran No. 32 Tahun
2002 telah mengukuhkan frekuesn sebagai milik publik. Artinya, lembaga
penyiaran harus meletakkan publik sebagai prioritas utama – dan bukan pada
profit.
Dalam
hal ini pun, masih belum jelas bagaimana suatu program dalam televisi dan radio
mendapatkan rating. Seharusnya ada kajian komprehensif mengenai kinerja program
dan programming. Pertanyaan penting yang harus dijawab oleh pengelola program
media penyiaran adalah siapa audien dari program yang tengah ditayangkan,
bagaimana penjabaran demografisnya, di wilayah mana audien yang dituju berada,
bagaimana tanggapan mereka terhadap program itu. Untuk menjawab berbagai
pertanyaan tersebut, media penyiaran membutuhkan umpan balik (feedback) dari
audien. Umpan balik merupakan hal yang sangat penting bagi pengelola media
penyiaran, ini akan menjadi petunjuk apakah suatu program itu berhasil atau
tidak. Secara umum, umpan balik dalam penyiaran dapat diartikan sebagai seluruh
informasi yang berasal dari audien. Umpan balik merupakan hal yang tidak bias
dihindari oleh pengelola program karena hal itu akan selalu terjadi. Umpan
balik tidak harus selalu bersifat segera seperti program interaktif, umpan
balik tidak harus benar atau memadai namun yang pasti umpan balik akan selalu
terjadi.
Ada
dua cara yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja tersebut, yaitu dengan
rating dan share. Rating (biasa di simbolkan dengan AA%) adalah estimasi
penonton televisi dari seluruh pemilik televisi. Perbandingan seluruh pemilik
televisi dengan pemilik televisi yang menonton satu stasiun tertentu, biasanya
di presentasikan dalam bentuk persentase. Misalnya 3 dari 10 rumah menonton
satu stasiun tertentu maka akan di presentasikan rating 30 persen.
Secara
umum, rating adalah evaluasi atau penilaian atas sesuatu. Rating merupakan data
kepemirsaan televisi. Data merupakan hasil pengukuran secara kuantitatif. Jadi
rating bisa dikatakan sebagai rata-rata pemirsa pada suatu program tertentu
yang dinyatakan sebagai persentase dari kelompok sampel atau potensi total.
Pengertian yang lebih mudah, rating adalah jumlah orang yang menonton suatu
program televisi terhadap populasi televisi yang di persentasekan.
Sedangkan share adalah persentase
televisi rumah tangga atau biasa disimbolkan dengan HUT (household using television). Share adalah persentase jumlah pemirsa
atau target pemirsa pada ukuran satuan waktu tertentu pada suatu channel
tertentu terhadap total pemirsa di semua channel. Misalnya, 2 channel ditonton
oleh 3 dari 6 pemilik televisi maka share untuk channel tersebut adalah 50.
Selain
dengan rating dan share, riset penyiaran juga dapat menjadi indikator instrumen
baik-buruknya suatu program. Riset penyiaran merupakan upaya media penyiaran
untuk mengukur kinerjanya. Riset penyiaran terbagi atas riset rating dan riset
non-rating. Jenis riset yang pertama merupakan upaya untuk mengetahui respon
audien terhadap program yang sudah disiarkan sedangkan riset non-rating adalah
riset untuk mengetahui prospek suatu program yang akan disiarkan.
Riset
Rating merupakan hal yang penting karena pemasang iklan selalu mencari stasiun
penyiaran atau program siaran yang paling banyak ditonton atau di dengar orang.
Keberhasilan penjualan barang dan jasa melalui iklan sebagian besar ditentukan
oleh banyaknya audien yang dimiliki suatu program. Rating menjadi indicator
apakah program itu memiliki audien atau tidak. Rating menjadi perhatian pula
bagi pemasang iklan yang ingin mempromosikan produk atau jasanya. Riset rating
meneliti efektivitas program pada saat ditayangkan di stasiun penyiaran. Riset
rating pada dasarnya meneliti tindakan audien terhadap pesawat oenerima
televise atau radio. Jika dibandingkan dengan riset non-rating yang lebih
bersifat kualitatif, maka riset rating sangat mengandalkan perhitungan
kuantitatif. Riset rating jelas lebih rumit daripada riseng non-rating. Maka
ada beberapa factor yang harus diperhatikan yaitu: wilayah siaran, unit perhitungan,
konsep rating, audience share,
pengumpulan data, serta sampel audien.
Untuk
mendapatkan data rating ada perusahaan jasa yang mendata jumlah penontonyang
menonton di berbagai stasiun penyiaran televisi. Perusahaan jasa itu
diIndonesia dikenal dengan Nielsen Media
Research. Sebuah perusahaan asing yangcukup memiliki pengalaman dalam
bidangnya. Selain itu ada pula beberapaperusahaan asing lainnya yang juga
menjual jasa layanan penelitian dengan carayang berbeda. Seperti memonitoring
siaran iklan, atau menghitung efektifitas siaraniklan disetiap stasiun
televisi. Sedangkan perusahaan dalam negeri yang berusahabersaing dengan
perusahaan asing, seperti Polling Center, Lembaga PenelitianUniversitas dan
lain sebagainya. Namun sampai saat ini yang mendapatkanpelanggan terbesar masih
didominasi oleh Nielsen Media Research. Hal inidisebabkan Nielsen memberikan
layanan yang sesuai dengan kebutuhan stasiuntelevisi yang membutuhkan kecepatan
dan rutinitas, laporan pergerakan penontontelevisi di 10 kota besar di
Indonesia. Adapun kota-kota besar yang menjadi sasaran penelitian tersebut
secara bertahap diambil sebagai sample setiap tahunnya satu kota. Urutan
pengambilannya adalah sebagai berikut; Jabotabek (Jakarta dan sekitarnya,
Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya (Gerbang Kertasila), Medan, Makassar,
Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin.
Kelemahan
riset rating adalah mengabaikan kelompok audien teratas dan terbawah dan juga
kelompok-kelompok minoritas lainnya. Selain itu jumlah sampel yang sangat kecil
dan tidak representatif. Tayangan yang terbaik ditayangkan pada saat riset
rating berlangsung
Riset
Non-Rating adalah Suatu konsep perlu diuji terlebih dahulu sebelum di produksi.
Kegiatan pengujian program ini dinamakan dengan riset non-rating atau uji coba
program (program testing). Riset non-rating dapat memberikan petunjuk kepada
pengelola media penyiaran dalam mempersiapkan program agar berhasil pada saat
penayangannya. Riset ini meneliti alas an-alasan subjektif perilaku audien
terhadap program. Setelah sampel audien dapat ditentukan, terdapat 4 metode
program penelitian : Focus group, Mini-theater
test, Cable-based studies, Telephone research, dan Riset Radio.
Melihat
bagaimana rating menjadi instrumen dalam penentuan baik dan buruknya suatu
program dan programming. Hal tersebut tentunya memengaruhi kebijakan program
dan programming berbagai media televisi di Indonesia. Media televisi di
Indonesia saat ini bersaing ketat mendapatkan pengiklan. Program acara televisi
saat ini berebut rating agar mendapatkan klien pengiklan. Persaingan ini
kemudian memberikan ruang kepada programmer untuk melihat sejauh mana selera dan
tren masyarakat yang tengah berkembang.
Tinjauan
terhadap selera masyarakati ini kemudian membuat berbagai televisi memproduksi
program tandingan yang mampu menggeser rating program lain. Dalam hal ini,
program tandingan memiliki konsep yang sama dengan program yang terlebih dahulu
mendapat rating tinggi. Namun, konsep yang sama tersebut dipoles dengan bintang
yang berbeda. Sehingga di mata audiens acara tersebut tidak sama. Padahal,
jelas sekali program-program acara di Indonesia saat ini hanya menjiplak satu
dengan yang lain. Tidak ada heterogenitas acara yang mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat. Semua program mengekor program-program yang memiliki rating tinggi.
Sayangnya, program yang memiliki rating tinggi tersebut biasanya bukan program
yang bagus sesuai dengan ketentuan P3SPS dan perundang-undangan.
Fenomena
yang dikenal dengan istilah epigon (mengekor) ini ternyata telah menghiasi
dunia sinetron Indonesia sejak lama. Paling tidak sejarah pertelevisian pernah
mencatat beberapa fenomena epigon ini, diantaranya: sinetron kolosal laga
(Misteri Gunung Merapi yang diikuti sinetron sejenis lainnya, seperti
Anglingdarma, Dendam Nyi Pelet, dsb). Kemudian sinetron religius (Misalnya
sinetron Rahasia Ilahi yang diikuti Hidayah, Astaghfirullah, Azab Ilahi, Iman,
Insyaf, Takdir, Jalan ke Surga, Kehendak-Mu, dsb). Lalu ada pula sinetron
dengan nafas Betawi (Si Doel Anak Sekolahan diikuti oleh sinetron Rumah Tangga
Ruwet/ RTRW, Sarana Angkutan Rakyat/SAR, sampai generasi Gengsi Gede-Gedean,
Samson Betawi, dll). Hingga fenomena sinetron remaja yang bermula dari
kesuksesan film Ada Apa Dengan Cinta (AADC), nyaris semua stasiun televisi
memiliki sinetron berisi remaja berseragam sekolah. SCTV dan Trans TV adalah
stasiun televisi yang tercatat paling banyak menayangkan sinetron bergenre
remaja ini.
Program
televisi selain sinetron yang juga mengalami fenomena epigon ialah program
tayangan instan yang berisi video “Courtesy
Youtube”. Disebut tayangan instan karena tidak memerlukan proses shooting
dan berbagai proses produksi lainnya, melainkan hanya cukup mengambil bahan
dengan cara mendownload video di situs Youtube, diberi narasi voice over,
diedit dengan grafis sederhana, lalu dicantumkan “Courtesy Youtube” dibawahnya.
Fenomena epigon ini tentunya semakin mengukuhkan tidak adanya diversitas konten
dalam program penyiaran televisi Indonesia.
Lagi-lagi
kita harus kembali ke UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 di mana diversitas konten
dan kepemilikan harus diteguhkan. Namun, hal tersebut belum dapat
diimplementasikan di dunia penyiaran Indonesia. Pasalnya, hal-hal substansial
dalam UU Penyiaran sampai saat ini belum terpenuhi. Seperti misalnya
pemberlakuan sistem stasiun jaringan (SSJ) dan konten muatan lokal, tidak
pernah terpenuhi. Padalah SSJ dan Siaran lokal merupakan tonggak suatu diversitas
dalam lembaga penyiaran di Indonesia. Namun, sayang diversitas ini belum juga
terlaksana. Televisi masih mengasosiasi diri ke dalam komersialisasi. Televisi
swasta tidak lagi peduli dengan kewajiban mereka sebagai media publik yang menggunakan alat publik
(frekuensi). Dalam hal ini, diperlukan regulasi yang kuat dalam menata program
dan programming televisi di Indonesia.
[1] Drs.Wardi
Wahid, MM, http://www.tvconsulto.com,
diakses pada tanggal 25 Desember 2014.
[2] Tommy
Suprapto. 2006. Pengantar Teori Komunikasi. Yogyakarta: Media Pressindo. Hlm.
98
[3] John R.
Bitner. 1991. Broadcasting and Telecommunication: An introduction. New Jersey
Prestire Hall. Hal 209
[4] Susan
Tyler Eastman and Douglas A.Ferguson. Media Programming strategies &
practices. USA:Thomson Higher. 2009. Hal 4
[5] Joseph
R. Dominick.The Dynamics of Mass Communication. Mc Graw-Hill Publishing Company.1990.
Hal. 304
[6] Susan
Tyler Eastman and Douglas A.Ferguson. Media Programming strategies &
practices. USA:Thomson Higher. 2009. Hal 5-8
[7] Darwanto
dalam Budi Sayoga, Manajemen Programa Siaran Radio. Laporan Penelitian. Jurusan
Ilmu Komunikasi. FISIPOL UGM. 1997. Hlm. 9.
[8] Darwanto
dalam Budi Sayoga, Op Cit. Hal 27.
[9] Harley
Prayudha. 2004. Radio Suatu Pengantar untuk Wacana dan Praktik Penyiaran.
Jakarta: Radio Suatu Pengantar untuk Wacana dan Praktik Penyiaran. Hlm. 43.
[10] J.B.
Wahyudi, 1994 , Dasar-dasar Manajemen Penyiaran. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. Hlmn. 22
[11] Sumber:
remotivi.co
[12] Lih.
P3SPS dapat diunduh di sini http://www.radioprssni.com/prssninew/internallink/legal/Pedoman%20Perilaku%20revisi.htm
[13] Lih.
P3SPS
Comments
Post a Comment