Perempuan (Tidak) Kritis

“Aku ditilang polisi, nih! Tahu enggak gara-gara apa? Aku lupa nyalain lampu utama,” ujarku malam itu di depan perpustakaan UGM. Temanku yang mendengar keluhan itu hanya bisa tertawa menanggapinya.
“Kena berapa? Limapuluhribu?”
“Yah, begitulah. Tadinya aku matiin lampu waktu manasin motor. Biar hemat. Soalnya bensin udah limit sedangkan aku mau pergi jauh. Temenku ada yang lebih parah dulu. Kalau kasusku kan emang aku yang salah. Temenku yang satu ini ditipu polisi. Jadi, di STNK, kan, ada dua tanggal. Tanggal pembuatan sama tanggal habis berlaku. Temanku ini ditilang berdasarkan tanggal pembuatan. Kena duaratus ribu. Kasihan ya?”
“Hahaha. Pasti temanmu cewek ya?”
“Kok kamu bisa langsung bilang kalau itu cewek?”
“Ya biasanya cewek kan enggak kritis. Enggak bisa mikir jauh.”
“Ngawur. Temenku yang ditipu polisi itu cowok!”

***


Semalaman, setelah mengobrol random dengan salah satu kawan lama di SMA, aku jadi mikir – emang iya ya perempuan itu enggak kritis? Emang iya ya, dibandingkan laki-laki, perempuan lebih mudah ditipu dan diperdaya? Aku sih bisa bilang enggak. Semua itu salah besar. Sebab, di perkuliahan, aku lebih sering menemui teman-teman perempuan yang kritis daripada yang laki-laki. Mungkin karena aku lebih banyak bergaul dengan perempuan daripada laki-laki. Tapi yang jelas – aku enggak suka dengan “judging” yang dilakukan oleh temanku. Juga – caranya menggeneralisasi. Memangnya perempuan sebodoh itu apa? Ah! Stereotype macam apa ini? Kalau betul perempuan itu tidak kritis, mungkin Ibu Risma itu pria. Mungkin Cut Nyak Dien itu pria. Iya – semua saja pria. 

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan