Sejenak Melupa
Alih-alih melawan lupa – sepertinya aku lena
pada hal-hal yang sengaja maupun tidak sengaja terlupakan. Bagaimana melawan
lupa? Seperti aktivis yang masih memperjuangkan kasus Udin, Marsinah, dan
Munir.
Semalaman penuh
sampai hampir subuh – aku hanya bisa terdiam di depan layar laptop tanpa
sedikit pun mampu mengetik perihal kisah. Semuanya sendu. Abu-abu. Kepalaku
sungguh buntu. Bahkan menulis sebentuk curhatan ini pun buntunya bukan main.
Telah lama mengendap dari hal-hal yang ‘nyastrawi’ kini membuatku kaku. Aku
benar-benar tak ingat bagaimana caranya menulis. Semuanya kabur dalam
satu-waktu.
Semalaman penuh
sampai hampir subuh – aku mencoba berkonsentrasi untuk menulis kembali –
setelah sekian lama lupa bagaimana nikmatnya menulis. Namun, yang kutemukan
ialah kenihilan tanpa perbatasan. Sesungguhnya nihil bisa jadi kewajaran jika
dan hanya jika ia memiliki batas yang jelas. Lagi-lagi kenihilan itu tiada
batas, yang artinya satu persatu hal yang seharusnya bisa masuk, mengabsenkan
diri. Undur diri pada keheningan malam dan mencari jalan kebahagiaan lain.
Beberapa waktu
lalu, salah seorang rekan memintaku menulis cerita pendek untuk sebuah majalah.
Mencoba untuk halus, aku menolaknya. Sungguh, waktu itu sebetulnnya aku ingin
sekali menulis sebuah cerita pendek yang memiliki kisah dengan kadar absurditas
tinggi. Namun sayang, aku lupa bagaimana menuliskan itu semua. Aku betul-betul
belum ingat bagaimana bermain dengan kata, menyesuaikannya dengan makna, tanpa
bait-bait yang berbunga-bunga namun tetap menyasar pada interpretasi terhadap
realita.
Aku mencoba
mengingat-ingat – apakah dulu aku pernah terbentur dinding dengan sangat keras.
Apakah seseorang pernah melempar beton ke atas kepalaku. Apakah seseorang
pernah mendorongku terju bebas dari beratus-ratus lantai – dan yang kudapati
ialah benturan menukik di kepala? Sehingga semuanya mendarat pada amnesia?
Sejenak Melupa.
Aku ingin mengingat segala sesuatunya kembali.
Menulis kembali – seperti sedia kala dengan berbahagia.
Comments
Post a Comment