Perempuan (Tidak) Boleh Laundry
“Wong wedok kok laundry ki lho! (Perempuan kok laundry!)” seru salah seorang temanku sembari mengeluarkan sebuah nota laundry dari dalam dompetku. Waktu itu – dia memang tengah usil sekaligus kurang kerjaan dengan membongkar pasang isi dompetku. Temuannya – berupa nota laundry, membuatnya menanggapi seperti itu.
“Aku sik wong
lanang we ngumbahi dewe, (Aku yang laki-laki saja mencuci baju sendiri),” ia
menanggapi lagi.
“Capek nyuci.
Cucian lagi banyak. Mending sebagian dilaundry,” balasku sekenanya.
“Wong wedok ki
kudune ngumbahi dewe, Lam, (Perempuan harusnya mencuci sendiri, Lam)”
“Lho, emang kenapa sih kalau perempuan laundry? Salah? Terus kenapa kalau laki-laki mencuci sendiri? Hebat?”
“Lho, emang kenapa sih kalau perempuan laundry? Salah? Terus kenapa kalau laki-laki mencuci sendiri? Hebat?”
“Nggak
istriable, Lam!” seru teman laki-lakiku yang lain.
“Emang aku mau
jadi istri?” ujarku seketika.
***
Menurutku,
perempuan yang tidak mencuci bajunya sendiri dan memilih laundry sama sekali
tidak pantas dipersalahkan. Bisa jadi – perempuan itu sibuk dan tidak sempat mengurus
cuciannya yang kian menumpuk. Kerjaan perempuan enggak melulu harus berkaitan
dengan sumur dan dapur, kan? Ini sudah tahun 2015, tapi pemikiran konstruktif
konservatif macam ini masih saja hidup dalam geliat modernitas. Apakah
perempuan yang tidak mencuci bajunya sendiri kemudian serta-merta dianggap
malas? Kemudian atas alasan dia tidak mencuci bajunya sendiri – dia dianggap
tidak istriable.
Maaf, aku
memutuskan untuk tidak menjadi istri dari suami manapun. Prinsipku – jika nantinya
aku menikah. Tidak akan ada istilah suami dan istri. Istilah-istilah itu hanya
akan mengantarkan pada makna-makna konstruktif serta peran-peran dominan
submisif, publik domestik yang konservatif. Aku memilih menjadi partner hidup
dari partner yang lain. Tidak ada suami istri. Tidak ada suamiable dan
istriable. Semua hal yang ada dalam diriku, rumah tanggaku (mungkin nanti)
hanya akan ada istilah partner – yang artinya kami mengerjakan segala sesuatu
sesuai dengan peran yang kami putuskan bersama – bukan peran “budaya” yang
sudah dikontruksikan sejak lama. Jadi, jika nantinya aku melaundry baju-baju
karena capek – sama sekali enggak salah kan? Aku punya hak untuk beristirahat
dan jika aku memang punya uang lebih untuk melaundry (sekaligus memberi rezeki
pada tukang laundry), kenapa enggak?
Comments
Post a Comment