Perempuan (Tidak) Boleh Laundry

Memangnya, binimu nanti itu mau kamu jadikan babumu? ;)
Jadi kamu pengen punya bini cuma buat nyuciin bajumu?
 Kalau kayak gitu, mending kamu kerja, cari duit yang banyak, terus sewa pembantu. :)
via anak blog-anakkos.blospot.com



“Wong wedok kok laundry ki lho! (Perempuan kok laundry!)” seru salah seorang temanku sembari mengeluarkan sebuah nota laundry dari dalam dompetku. Waktu itu – dia memang tengah usil sekaligus kurang kerjaan dengan membongkar pasang isi dompetku. Temuannya – berupa nota laundry, membuatnya menanggapi seperti itu.

“Aku sik wong lanang we ngumbahi dewe, (Aku yang laki-laki saja mencuci baju sendiri),” ia menanggapi lagi.

“Capek nyuci. Cucian lagi banyak. Mending sebagian dilaundry,” balasku sekenanya.

“Wong wedok ki kudune ngumbahi dewe, Lam, (Perempuan harusnya mencuci sendiri, Lam)”

“Lho, emang kenapa sih kalau perempuan laundry? Salah? Terus kenapa kalau laki-laki mencuci sendiri? Hebat?”

“Nggak istriable, Lam!” seru teman laki-lakiku yang lain.

“Emang aku mau jadi istri?” ujarku seketika.

***

Menurutku, perempuan yang tidak mencuci bajunya sendiri dan memilih laundry sama sekali tidak pantas dipersalahkan. Bisa jadi – perempuan itu sibuk dan tidak sempat mengurus cuciannya yang kian menumpuk. Kerjaan perempuan enggak melulu harus berkaitan dengan sumur dan dapur, kan? Ini sudah tahun 2015, tapi pemikiran konstruktif konservatif macam ini masih saja hidup dalam geliat modernitas. Apakah perempuan yang tidak mencuci bajunya sendiri kemudian serta-merta dianggap malas? Kemudian atas alasan dia tidak mencuci bajunya sendiri – dia dianggap tidak istriable.

Maaf, aku memutuskan untuk tidak menjadi istri dari suami manapun. Prinsipku – jika nantinya aku menikah. Tidak akan ada istilah suami dan istri. Istilah-istilah itu hanya akan mengantarkan pada makna-makna konstruktif serta peran-peran dominan submisif, publik domestik yang konservatif. Aku memilih menjadi partner hidup dari partner yang lain. Tidak ada suami istri. Tidak ada suamiable dan istriable. Semua hal yang ada dalam diriku, rumah tanggaku (mungkin nanti) hanya akan ada istilah partner – yang artinya kami mengerjakan segala sesuatu sesuai dengan peran yang kami putuskan bersama – bukan peran “budaya” yang sudah dikontruksikan sejak lama. Jadi, jika nantinya aku melaundry baju-baju karena capek – sama sekali enggak salah kan? Aku punya hak untuk beristirahat dan jika aku memang punya uang lebih untuk melaundry (sekaligus memberi rezeki pada tukang laundry), kenapa enggak?

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan