Menilik Dualisme Status Tanah di Yogyakarta
Munculnya UUPA seharusnya telah menyeragamkan sistem tata kelola
pertanahan. Namun, hal tersebut tidak berlaku di Yogyakarta. Bahkan, Sultan
mengklaim bahwa tidak ada tanah negara di Yogyakarta.
Belakangan ini, Yogyakarta
digaduhkan dengan persoalan surat kekancingan yang terjadi di berbagai wilayah.
Beberapa di antaranya adalah gugatan 1,12 Milyar pada lima PKL oleh penguasa
bernama Eka Aryawan dan ancaman penggusuran warga Watukodok oleh Enny Supiani.
Baik Eka maupun Enny merasa memiliki hak atas tanah tersebut karena telah
memegang surat kekancingan.
Persoalan sengketa tanah di DIY
memang tengah marak terjadi, baik dilihat melalui pola vertikal maupun
horisontal. Orang-orang saling mengklaim tanah sebagai ruang hidup dang
penghidupan mereka. Udiyo Basuki mengatakan bahwa persoalan tanah di Yogyakarta
disebabkan adanya ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah dan ketiadaan
persepsi yang sama dalam pengelolaan tanah. [i]
Hal ini bisa dilihat dari kemunculan surat kekancingan yang terkesan serentak
dan bersifat arogan.
Surat kekancingan sendiri adalah
surat izin untuk menggunakan tanah Keraton yang dikeluarkan oleh Panitikismo.
Dalam hal ini, izin penggunaan tanah tersebut tidak permanen. Artinya, para
pemegang surat kekancingan tidak diperbolehkan memperjualbelikan tanahnya.
Selain itu, para pemegang kekancingan juga harus selalu siap tatkala Keraton
membutuhkan tanah tersebut.
Melihat keberadaan surat
kekancingan ini tentunya mengindikasikan bahwa Daerah Istimewa Yogykarta (DIY)
memiliki otonomi tersendiri dalam mengatur tanahnya. Selain itu, adanya
Panitikismo sebagai pihak berwenang dalam mengurus sistem hukum adat juga
memiliki peran vital dalam pengaturan pertanahan di DIY. Dalam hal ini, status
tanah di Yogyakarta diklaim sebagai Sultan
Ground (SG) dan Pakualaman Ground.
Sehingga dalam tata pengelolaannya, pihak Keratonlah yang memiliki wewenang.
Namun, apakah benar SG/PAG masih
memiliki eksistensi di wilayah Yogyakarta. Selama ini, masyarakat mengira bahwa
keistimewaan Yogyakarta terletak pada status tanah yang kita kenal sebagai
SG/PAG. Tetapi, jika kita menelusuri sejarah pertanahan di Yogyakarta, SG/PAG
seharusnya tidak berlaku lagi sejak munculnya Undang-Undang Peraturan Agraria
(UUPA) tahun 1960. Adanya undang-undang tersebut jelas menegaskan bahwa tata
kelola pertanahan dilakukan oleh negara.
Dengan dalih keistimewaan,
Keraton masih mengakui adanya SG/PAG. Adanya pengakuan terhadap SG/PAG ini
tentunya menciptakan dualisme status tanah. Sebab, tanah di Yogyakarta menjadi
tidak jelas apakah dikelola oleh negara atau dikelola oleh Keraton. Tidak
jelasnya status tanah juga menyebabkan dualisme peraturan dan aktor kebijakan. Yogyakarta
mengakui adanya SG/PAG dengan membentuk Panitikismo tetapi, di sisi lain juga
memiliki Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Dualisme struktur pengelolaan
tanah sendiri sudah terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka. Merujuk pada
sejarah, terdapat dua peraturan yang berlaku dalam bidang pertanahan di
Yogykarta, yaitu hukum barat dan adat. Hukum barat ditulis oleh penjajah barat,
seperti eidendom, opstal, dan sebagainya. Pemberlakuan pertama kali tahun 1884
yang tercantum dalam Burgerljik (BW) atau lebih dikenal dengan hukum perdata
barat.[ii]
Sedangkan untuk pelaksanaannya maupun pengurusannya dilakukan oleh Pemerintah
penguasa, yaitu penjajah pada waktu sebelum kemerdekaan. Baru setelah Indonesia
merdeka, kepengurusannya dikerjakan oleh Kantor Pendaftaran Tanah (Kadaster)
dengan mendasarkan Peraturan-peratran yang berkaitan seperti Hukum Perdata
Barat (BW). Sedangkan yang dimaksud tanah hukum adat ialah hukum yang tidak
tertulis dan sudah ada sejak sebelum kedatangan Barat. Dulu, hukum ini masih
berlangsung dalam kehidupan masyarakat tetapi pasca kemerdekaan pengelolaannya dilakukan
oleh Pemerintah Provinsi.
Adanya dua aturan hukum pada masa
silam, yaitu hukum barat dan adat telah membuat ketidakjelasaan dalam
pengelolaan tanah. Celah ini kemudian menjadi salah satu cara yang dilakukan
orang-orang untuk melegitimasi penguasaan atas tanah. Tidak dapat dipungkiri,
sengketa atas tanah pun sebetulnya telah berlangsung semenjak adanya kehidupan
manusia. Walaupun telah menerapkan aturan hukum, namun dualisme peraturan
menyebabkan berbagai celah sehingga dapat dimanfaatkan oleh orang-orang tidak
bertanggung jawab.
Menyikapi pertikaian tanah yang
tidak kunjung usai (terutama di DIY), pemerintah pun berinisiatif untuk
menerbitkan UUPA tahun 1960 yang telah disebutkan sebelumnya. Undang-undang ini
bertujuan memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat
keseluruhan; meletakan dasar-dasar kesederhanaan hukum pertanahan; dan alay
untuk kemakmuran bagi negara dan arakyat.
Lahirnya UUPA menandai adanya
kemunduran feodalitas dan dekolonialisasi. Peraturan tersebut mencopot wewenang
Keraton sebagai sebuah sistem pemerintah feodal dalam mengatur pertanahan. UUPA
juga menghilangkan peninggalan kolonial karena tidak lagi membedakan mana tanah
bekas jajahan dan mana tanah yang bukan. Sebelum UUPA muncul, Sri Sultan HB IX
sendiri telah menyurati Menteri Dalam Negeri yang saat itu menjabat pada 24
September 1973. Sultan HB oa menyeragamkan pengaturan agraria di Yogyakarta.
Dalam hal ini, Sultan HB IX telah meluruhkan sistem feodal Kasultanan
Yogyakarta dengan secara tidak langsung mengumandangkan bahwa tanah SG/PAG
adalah milik rakyat. Hal inilah yang sebetulnya menjadi tonggak keistimewaan
Yogyakarta.[iii]
Walaupun begitu, implementasi
yang terjadi saat ini tidak seideal apa yang dinginkan oleh Sultan – begitu
pula masyarakat Yogyakarta yang hingga kini masih terindas karena surat
kekancingan maupun pembebasan lahan yang semenan-mena. Pada kenyataannya,
dualisme status tanah di Yogyakarta masih ada. Terdapat dua aturan hukum
pertanahan, yaitu Panitikismo dan BPN yang hingga tetap tumpang tindih. Jika
kita kembali menelusuri sejarha sejenak, seharusnya SG/PAG sudah tidak memiliki
eksistensi lagi. Jika merujuk pada perjanjian Giyanti, Yogyakarta malah tidak
memilih hak tanah (SG/PAG) sama sekali. [iv]
Sebab, dalam perjanjian tersebut, Belanda meminjam hak atas tanah kepada
Kesultanan. Lalu, jika sudah begini, masih jelaskah status tanah di Yogyakarta?
[i] Pemaparan Udiyo Basuki dalam
“Tumpang Tindih Pengelolaan Tanah Yogyakarta”, Majalah Balairung Edisi
51/XXIXNovember 2014.
[ii] Umar Kusumoharyono dalam
jurnal penelitian “Yustisia”, “Eksistensi
Tanah Kasultanan (Sultan Ground) Yogyakarta Setelah Berlakunya Uu No. 5 / 1960”,
Edisi No. 69 Mei-Agustus.
[iii] Ahmad Nashih Luthfi, dkk.
Dalam bukunya “Keistimewaan Yogyakarta: Yang Diingat Yang Dilupakan”, 2009,
memaparkan konsep istimewa sebagai proses yang mengistimewa.
Comments
Post a Comment