Kapitalis? [1]
Via bahteraummat.files.wordpress.com |
Beberapa tahun silam – mungkin sekitar dua tahun yang lalu, aku berjalan-jalan dengan salah seorang teman karib di sebuah mall besar di Magelang. Bisa dibilang satu-satunya Mall di sana. Aku sih, berharapnya, tidak akan ada Mall lagi. Cukup satu – aku pikir gaya hidup orang Magelang enggak terlalu membutuhkan Mall. Masih banyak pasar tradisional yang mampu menghidupi dan mencukupi kebutuhan masyarakat Magelang.
Ah – lepas dari persoalan “masih
butuhkan kota Magelang akan kehadiran Mall”, aku ingin bercerita ihwal “konten mall” yang diperjualbelikan.
Saat itu aku masih ingat betul – selepas membeli sepatu yang super tipis (sebab
namanya memang flatshoes), aku dan teman karibku, sebut saja namanya Nida,
mengunjungi sebuah toko lain yang juga menjual sepatu. Di barisan depan gerai
toko itu, sebuah sepatu dengan hak setinggi limabelas senti terpajang di sebuah
etalasae. Di sampingnya terdapat kertas bertuliskan, “Diskon 80%”.
Orang yang melihat diskon dengan
jumlah yang begitu besar pasti tergiur untuk membeli. Namun, pertanyaannya
adalah, “angka diskon” itu aku asumsikan sebuah strategi marketing. Selain
menjual branding, dia juga menjual “angka diskon”. Waktu itu, Nida pun
berseloroh, “Aku heran dengan diskon setinggi itu,” ujarnya sambil
memperhatikan sepatu yang indah itu. Saat itu – sepertinya sepatu dengan hak
tinggi itu belum laku terjual. Sehingga, pemilik toko membanting harga dengan memamerkan
angka diskon yang tinggi.
“Kalau dipikir-pikir, yang jual
toko pastilah tetap dapat untung sekalipun udah didsikon sampe 80%. Berarti
kan, kalau sebelumnya enggak dijual dengan diskon 80 %, pastilah dia dapat
untung jauh lebih banyak,” ujar Nida lagi. Membuatku betul-betul berpikir saat
itu.
Iya, ya benar juga? Kalau
dipikir-pikir konsep “angka diskon” itu strategi yang mumpuni. Masyarakat
khususnya yang suka belanja pasti tergiur dengan angka diskon tidak peduli
berapapun harga asli yang tertera. Harganya 700ribu, dapat diskon 80%, siapa
yang enggak bakal megap-megap – sembari membatin, “mumpung lagi diskon nih!”. Toh, padahal, harga belinya dia sebagai modal
jauh dari harga yang tertera disitu.
Entahlah, aku pikir, diskon
besar-besaran hanyalah sebuah strategi. Mereka menaikkan harga
setinggi-tingginya – dan seolah-olah menjelma jadi malaikat, pun, memberikan
diskon setinggi-tingginya. Aku jadi penasaran sebetulnya bagaimana sistem pasar
di dunia ini bekerja. Bagaimana kemudian bahan mentah yang mungkin hanya
bernilai kecil menjadi bernilai besar. Aku betul-betul penasaran bagaimana
pasar dunia bekerja, bagaimana mata uang dipermainkan, sehingga yang miskin
tetap miskin, dan yang kaya tetap kaya.
Aku juga teringat cerita tentang
perusahaan sepatu terkemuka di dunia, nama mereknya seperti penyanyi perempuan
dengan genre yang termahsyur di masanya, Nike Ardila. Juga sebuah pabrik
pakaian yang memiliki harga tinggi. Intinya, dengan harga setinggi itu mereka
membayar buruh dengan harga yang terlampau murah dengan jumlah waktu kerja yang
terlampau tinggi.
Aku masih ingat pula ketika
seseorang bertanya kepadaku mengapa sebuah mobil lebih malah daripada beras?
Padahal beras adalah barang pokok. Artinya, peminatnya jauh lebih tinggi
daripada mobil sebagai barang sekunder. Selain mempertanyakan sistem pasar
dunia yang terlampau licik dengan “menetapkan konsep bahwa yang miskin dan yang
kaya mungkin telah diatur”. Aku pun mulai bertanya-tanya; adakah suatu massa di
mana harga mobil paling mewah sekalipun lebih murah daripada seliter beras?
Comments
Post a Comment