Film Indie, Pemberontakan, dan 'Anti Kemapanan'

    "Karya-karya yang konon teralienasi, tidak diminati. Sebab, kabarnya bukan karya yang mapan. Namun, karya-karya itulah yang memberikan warna baru tentang ketulusan, bukan sekadar melampaui target profit semata," --aku yang mengaku-aku.

Salah satu hal yang perlu digarisbawahi dalam membedakan antara film arus utama (mainstream) dengan film independen (sidestream) adalah idealismenya. Film mainstream adalah film yang dibuat untuk kepentingan komersial dan profit. Sedangkan film independen dibuat sebagai wadah gagasan dan ide para pembuatnya. Pada konteks pembuatnya, kita perlu menilik siapa penggerak film independen. Penggerak perfilman independen biasanya digawangi oleh kaum ada. Dalam hal ini kita perlu memahami bahwa film independen adalah film yang memiliki ideologi. Kaum muda adalah mereka yang masih bertahan dalam struktur idealisme. Mereka memiliki konsep mereka sendiri dan tidak ingin masuk pada arus yang begitu-begitu saja. Sifat naluriah kaum muda yang pemberontak ingin mendobrak sistem perfilman yang memprihantikan.

               

Menurut saya, seni dan estetika yang terdapat dalam film independen adalah pesan-pesan yang menyuguhkan wacana isu-isu penting kepada masyarakat. Sedangkan film mainstream memang pada dasarnya diproduksi untuk kepentingan rumah produksi sehingga harus mengejar target profit.
                Di awal kelahiran dan perkembangannya, film merupakan produk kesenian yang mahal harganya. Sebab, produksinya membutuhkan peralatan dengan teknologi mutakhir, seperti alat perekam (kamera) dan alat pemutar hasil rekamannya (proyektor, video player,VCD/DVD player). Film pun akhirnya dijadikan komoditi. Bahkan, banyak yang berpendapat bahwa kini film lebih dimaknai sebagai salah satu alat kapitalisme.     

Film Hollywood

                Bentuk konkret dari komodifikasi film adalah penguasaan film oleh perusahaan raksasa Hollywood, AS. Film pun menjelma menjadi budaya populer. Sebagaimana ideologi yang diusung oleh budaya populer, produksinya yang massif menjadikan film komoditi mampu menghasilkan keuntungan melimpah. Keuntungan melimpah itu didapatkan dengan penguasaan segala aspek film, mulai produksi, regulasi, distribusi, hingga eksibhisi. Di sisi lain, film juga kadang dijadikan sebagai alat hegemoni kekuasaan. Jika tadi film dimaknai sebagai alat hegemoni kekuasaan modal, dalam aras politik, film juga dapat dijadikan sebagai alat propaganda. Pelanggeng status quo, dan tak jarang sebagai alat penindasan sosial. Bentuk yang lebih monopolistik dari penguasaan film adalah dimanfaatkannya atas kepentingan ganda, yaitu kuasa politik dan kuasa modal.

Film Kuldesak


                Setelah runtuhnya rezim orde baru, perfilman Indonesia berkembang dengan pesat. Diawali dari kemunculan film omnibus pertama, yaitu Kuldesak (1998), para sineas muda lain ikut bermunculan dan berlomba-lomba memproduksi film. Pada konteks ini, perkembangan film di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu film arus utama (mainstream) dan film independen (sidestream). Sejumlah film independen maupun industrial (komersial) diproduksi dengan beragam ekspresi seni dan budaya yang meronai wajahnya.  Ekspresi-ekspresi tersebut dianggap lebih bebas merepresentasikan dan  mengomunikasikan realitas sesungguhnya yang tengah berkembang di masyarakat,  dibandingkan kondisi saat rezim Orde Baru yang penuh dengan pembatasan-pembatasan  bersifat politis. Sebutlah beberapa contoh film yang cukup berani memotret realitas seperti isu seksualitas remaja dan kekerasan rumah tangga (Virgin 2005), peredaran  narkoba di perkotaan (Gerbang 13 2005), geng kriminal (9 Naga), korupsi (Ketika 2005  dan Kejar Jakarta 2006), homoseksualitas (Arisan 2003) dan imbas tsunami Aceh  (Serambi 2006) (Clark dalam Heriyanto, 2012).
                Produksi film independen, mungkin solusi alternatif sebagai wacana tandingan untuk mengileminir masuknya film lebih jauh kedalam stereotip perempuan dan dominasi dikotomi gender, jika perlu untuk mendukung hal tersebut diperlukan banyak perempuan dalam pelaku perfilman Indonesia seperti sutradara, kameramen, penulis skenario, dan sebagainya. Film-film Nia Dinata mungkin salah satu upaya bentuk protes atas kondisi ini, tapi secara tidak sadar ia sendiri ‘tersandung’ dalam stereotip dan dominasi dikotomi gender.
                Dalam konteks ini, pengertian independen adalah mandiri, tidak terikat oleh berbagai ikatan. Bahkan, baik pendanaan, pembuat keputusan, pencarian ide maupun sistem peredarannya diusahakan mandiri. Hal yang hingga kini masih perlu diapresiasikan kepada masyarakat luas menjadi triger untuk memacu tumbuhnya budaya penciptaan film dengan spirit mandiri. Sebetulnya sistem mandiri ini sudah pernah dirintis oleh Umar Ismail pada tahun lima puluhan. Seterusnya, setiap generasi memiliki pemberontakan terhadap suatu kekuasaan yang dianggap telah stagnan atau bahkan menjadi mapan. Oleh karena itu, demi perkembangan dunia sinema itu sendiri, semangat pemberontakan itu sangat diperlukan. Sebagaimana dicatat oleh sejarah film dunia, mereka yang tadinya memberontak itu kemudian menjadi penguasa lingkungannya seperti kelompok The Movie Brats, yang suatu saat menjadi penguasa Hollywood. Bahkan, pengaruhnya sangat kuat pada industri film di Amerika.
                Film yang dibuat sebagai upaya untuk mendobrak kemapanan yang ada. Dengan demikian film inI tidak bergantung pada siapa pun atau aturan baku produksi sebuah film, karena aturan baku tersebut justru menghambat proses kreatif. Dampak  dari  gerakan  independen memperkaya karya tema dan mengeksplorasi cara produksi film yang lebih kreatif. Dalam hal ini, film independen tentunya sangat berbeda dengan karakter yang terdapat dalam film arus utama. Sesungguhnya, secara konseptual film independen lebih matang karena dipikirkan dengan detail. Hal yang menghambat produksinya adalah pada infrastruktur yang sederhana. Namun, para sineas penggerak film independen ini tidak menyerah begitu saja. Kekurangan infrastruktur ini malah semakin memantik kreativitas mereka sebagai pembuat film untuk mengakali proses kreatif tersebut.
                Mungkin, beberapa orang beranggapan bahwa konsep-konsep matang itu adalah sebuah ‘kecelakaan’ dalam film yang memang sengaja terjadi karena kelalaian pembuat. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa film independen dibuat dengan seenaknya dan ala kadarnya. Seenaknya di sini merujuk pada ketidakpedulian sineas pada hasil filmnya. Sementara ala kadarnya adalah menunjukkan bahwa sineas film sidestream tidak seniat para pembuat film arus utama. Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah film-film independen tersebut sangat ‘niat’ untuk dibuat.
                Misalnya saja seperti film yang digarap Yosep Anggi Noen, It’s Not Raining Outside.[1] Orang awam akan melihatnya sebagai sebuah film yang tidak serius dalam penataan audio dan suara. Padahal, film ini adalah inovasi dari naturalitas suara dan audio dalam film. Penggarapan audio yang terasa ‘berantakan’ tidak dibiarkan dengan sengaja, tetapi benar-benar digarap dengan matang.

Salah satu contoh Film Sidestream: It's Not Raining Outsid

                Selanjutnya ada film Marni (2013) yang digarap dengan detail dan riset mendalam oleh Kuntz Agus[2]. Marni bercerita tentang seorang istri yang cemas menyembunyikan suaminya dari aparat keamanan. Cerita Marni diangkat dari peristiwa tahun 1980-an, ketika semua orang bertato bisa dengan mudah dituduh preman dan dibunuh oleh pasukan misterius. Dalam sejarah Indonesia, rangkaian pembunuhan sistematis ini akrab disebut sebagai “petrus” (“penembak misterius”). Marni disebut-sebut sebagai film yang tidak teliti dalam segi skenario dan pergantian segmen. Namun, lagi-lagi asumsi tersebut salah. Film Marni malah sangat detail secara konseptual dan jauh lebih teliti daripada film arus utama.

Salah satu cuplikan dalam adegan Film Marni
               

Perbedaan signifikan antara film independen dan arus utama juga terletak pada bagaimana sebuah film dapat menyampaikan pesan. Film independen selalu memberikan cara penggambaran yang berbeda. Ia tidak menggunakan sistem produksi film yang baku seperti film-film Hollywood. Penggambaran gambar lebih detail dan dibikin dengan sangat terkonsep. Dapat dikatakan, film arus utama yang biayanya berjuta-juta malah seringkali luput dari konsep-konsep yang mendasar serta ketelitian pembuatnya. Hal ini dikarenakan para pembuat film arus utama seringkali terlalu mengandalkan teknologi dan berorientasi ke arah profit.

                Hal-hal seperti inilah yang begitu membedakan film arus utama dengan film independen – khususnya di Indonesia. Di mana film independen adalah film yang butuh ‘mikir’. Sedangkan film arus utama adalah hiburan semata yang penggarapannya hanya mengikuti kemapanan yang ada saat ini.
                Jika ditilik dari segi persoalan kemapanan, sineas muda adalah golongan orang-orang yang ingin mendobrak kemapanan perfilman tersebut. Mereka tidak mau terjebak pada arus utama yang menghambat kreativitas produksi film. Bagi mereka mendobrak kemapanan adalah suatu hal yang perlu dilakukan. Pemberontakan semacam ini adalah bentuk kepedulian dan keprihatinan mereka terhadap film arus utama yang semakin lama tidak bermutu. Di antaranya banyak yang hanya mengandal film horor seks dan mesum. Film independen malah digarap lebih serius dan sering mendapat penghargaan di luar negeri. Sayang, apresiasi film independen masih minim. Bahkan, film independen seringkali sembunyi-sembunyi dengan pemerintah karena sering mengangkat isu-isu sensitif seperti G30S-PKI, Kerusuhan Mei 1998, dan lain sebagainya.

Yosep Anggi Noen, Sutradara

                Hal tersebut dikarenakan film independen biasanya bertentangan dengan struktural kebijakan pemerintah. Mereka bergerilya dalam mendistribusikan film-film tersebut karena seringkali mengangkat isu-isu sensitif seperti kerusuhan 1998 dan G30SPKI. Dalam hal ini, film independen memang biasanya digarap oleh anak muda yang memiliki idealisme. Mereka tidak mau terjebak dalam konsep yang baku dan membunuh kreativitas.
                Sifat natural anak muda sebagai golongan yang tidak mau menurut dengan acuam pedoman yang ada membuat perfilman independen semakin bervariasi. Dalam hal ini, anak muda tidak ingin terbawa arus film arus utama yang tidak matang dan tidak berani melawan sistem yang sudah ada.
                Dengan memahami uraian di atas, tidak ada lagi pemahaman bahwa membuat film adalah monopoli para pemilik modal. Fenomena film independen seharusnya menjadi penyemangat para pemula untuk menggeluti pembuatan film. Jika karyanya menarik, tentunya lembaga semacam Konfiden bisa membantu untuk mengirimkannya ke forum-forum internasional. Secara korespondensi, sineas-sineas muda bisa berhubungan dengan organisasi sejenis yang ada di berbagai belahan dunia lainnya sebab pembuat film independen memang tidak sendiri. Hampir di seluruh dunia, orang mempunyai hak yang sama atas film independen. Untuk menggerakkan film independen menjadi semakin matang, perlu apresiasi yang positif bagi para sineas muda yang bertahan pada ideologi mereka.





[1] Lih. http://jogjafilmacademy.com/pengajar-yosep-anggi-noen/ (diakses pada tanggal 28 Desember 2014)
[2] Suluh Pamuji, http://cinemapoetica.com/militerisme-untuk-pemula-menonton-korsa-menolak-lupa/, diakses tanggal 27 Desember 2014.


Sumber Foto:
https://wildanrenaldi.files.wordpress.com/2014/02/test5.jpg?w=660
http://www.livingpittsburgh.com/wp-content/uploads/2013/03/Toyogeki-Movie_Toyooka002.jpg
https://andrealogy.files.wordpress.com/2010/10/film.jpg
http://www.ejumpcut.org/archive/jc53.2011/DagIndonesia/JCpix/32-Kuldesak_poster_1998.jpg
http://cinemapoetica.com/wp-content/uploads/2012/05/marni_highlight-640x290.jpg
http://www.asiatica.international/images/foto_articoli_2014/Yosep_Anggi_Noen__director.jpg

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

Kode Etik Profesi dalam Bidang Komunikasi