[Review Fiksi] Cinta (Bukan) Sekadar Waktu Luang
Judul :
Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan
Penulis :
Ihsan Abdul Quddus
Penerjemah :
Syahid Widi Nugroho
Penerbit : Alvabet, Jakarta
Tahun Terbit :
Cetakan I, 2012
Jumlah Halaman : 228
ISBN : 978-602-9193-16-9
Cinta adalah waktu luang, begitu prinsip Suad tentang pernikahan. Baginya, cinta yang terdapat dalam sebuah pernikahan hanya dilakukan saat waktu luang – ketika ia dan suaminya berhenti dari rutinitas pekerjaan. Cinta hanya dilakukan di waktu senggang ketika urusan di luar rumah telah selesai. Namun, prinsip tersebut ternyata menghantarkannya pada kenyataan bahwa cinta bukan sekedar waktu luang. Cinta itu menyeluruh, setiap saat, dan bergulir setiap waktu. Sama sekali tidak berjeda dengan rutinitas pekerjaan, pertemuan kantor, maupun seminar-seminar. Ketika itu Suad pun menyadari bahwa ia terlalu mementingkan kariernya. Ia lupa bahwa ia adalah seorang perempuan. Ia lupa bagaimana seorang perempuan jatuh cinta, mencintai dan dicintai. Ia lupa menjadi perempuan yang seharusnya dipanggil Ibu oleh anaknya. Ia lupa menjadi perempuan ketika berperan sebagai istri di depan suami. Ia lupa memerankan dirinya sebagai perempuan.
Cerita ini mengisahkan Suad,
perempuan yang terobsesi dengan karier, berambisi pada popularitas, dan
gelarnya sebagai seorang politikus sekaligus intelektual. Sejak duduk di bangku sekolah menengah atas,
Suad sudah melakukan aksi besar denggan menggerakkan ribuan mahasiswa dalam
gerakan revolusi di Mesir. Saat itu, Suad yang berada di sekolah khusus
perempuan berhasil menggerakkan sekolah-sekolah lain, bahkan sekolah laki-laki.
Ia sudah menjadi orang yang diperhitungkan karena telah mampu memulai gerakan
bahkan sebelum sekolah laki-laki.
Tindakan Suad pun berlanjut ke
bangku perkuliahan. Ia sering terlibat beberapa aksi, diskusi politik, pertemuan
dalam seminar-seminar, dan lain sebagainya. Ia juga menjadi mahasiswa
berprestasi dan selalu unggul. Suad sangat mempertahankan dan
mengagung-agungkan studinya. Suatu saat, seorang pria hadir dalam hidupnya,
namanya Abdul Hamid. Suad akhirnya menikah dengan Abdul Hamid setelah
menyelesaikan studinya.
Dalam perkawinannya dengan Abdul
Hamid mereka menyepakati dua hari dalam sepekan untuk menghabiskan waktu
bersama, yaitu hari Selasa dan Kamis. Mereka bersekapat untuk tidak saling mengganggu
dalam hal pekerjaan. Kepribadian Abdul Hamid sebetulnya sangat bertolak
belakang dengan Suad. Suad sangat menyenangi dunia politik sedangkan Abdul
Hamid tidak terlalu. Abdul Hamid orang yang bebas dan tidak terlalu suka dengan
pertemuan-pertemuan resmi seperti yang dilakukan Suad dengan teman-temannya.
Pernikahan Suad dan Abdul Hamid
tidak berjalan dengan lancar, selang beberapa tahun mereka akhirnya bercerai.
Dari pernikahan tersebut Suad dan Abdul Hamid memiliki seorang anak perempuan
bernama Faizah. Suad berhasil mendapatkan hak asuh anaknya. Namun, Suad lebih
sering menitipkan anaknya ke Ibunya dan menyuruh Faizah memanggilnya dengan
nama.
Beberapa tahun setelahnya, ia
bertemu dengan Adil, seorang pria yang berbeda jauh dengan Abdul Hamid. Adil
lebih mengerti keinginan dan ambisi Suad. Ia mendorong dan mendukung Suad dalam
dunia perpolitikan. Sebenarnya, keduanya saling tertarik. Namun, Suad memilih
mundur dan tidak ingin terlibat lebih jauh dengan hubungan lawan jenis. Saat itu ia berpikir hubungan lawan jenis
hanya akan menghambat prestadi dan kariernya di dunia politik seperti yang
terjadi dalam perkawinannnya dengan Abdul Hamid. Sampai akhirnya Adil ditangkap
dan dipenjara sebagai tertuduh gerakan komunis setelah sebelumnya meminta
bersembunyi di rumah Suad.
Hubungan Suad dengan lawan jenis
tidak berhenti sampai di situ. Pada satu masa, ia berpikir bahwa informasi yang
bersifat privasi dari seorang publik figur pasti sering dikorek-korek oleh
masyarakat umum dan wartawan. Apa jadinya jika mereka tahu bahwa Suad, seorang
anggota DPR, Ketua Asosiasi Wanita Karier (AWK) adalah seorang janda? Mereka
pasti mengira-ira penyebab Suad menjadi janda. Mereka pasti mengira-ira bahwa
Suad gagal dalam pernikahannya. Asumsi seperti ini membuat Suad takut jika
statusnya sebagai janda menghancurkan karier politiknya. Sebab itu, Suad
memutuskan untuk menikah dengan seorang Dokter bernama Kamal. Namun, lagi-lagi
pernikahannya tidak berjalan mulus bahkan kembali berakhir dengan perceraian.
Novel ini memberikan sebuah
gambaran yang luas tentang perempuan yang terobsesi dengan karier. Ia
mengesampingkan cinta (dengan menyebutnya sebagai waktu luang) dan memilih
berambisi pada karier. Suad tidak hanya gagal sebagai istri, ia juga gagal
sebagai ibu, dan juga seorang perempuan. Ia memperlakukan suaminya sebagai status
semata. Ia ingin masyarakat tahu bahwa politikus sepertinya – perempuan karier
sepertinya tetap memiliki hubungan yang harmonis dengan suaminya.
Ada banyak hal yang bisa dipetik
dari novel ini. Bagaimana cara berpikir Suad sangat berbeda dengan perempuan
kebanyakan. Ia membikin teori tentang cinta dan pernikahan kemudian mencoba
menerapkan konsep tersebut dalam rumah tangganya. Tentunya, apa yang dipikirkan
Suad salah besar. Ia hanya mencoba untuk memenuhi hasrat kariernya semata. Ia
hanya memenuhi kepuasannya menjadi publik figur yang disegani orang banyak dan
memiliki kolega-kolega orang terpandang. Ia tidak pernah memenuhi keinginannya
sebagai seorang perempuan.
Akan tetapi dalam hal percintaan
ia telah gagal – khususnya gagal memerankan dirinyas sebagai perempuan. Pada
akhirnya ia meyadari bahwa ia memang memiliki berbagai kelebihan di bidang
pendidikan tetapi tak bisa sukses dalam rumah tangga. Ia melihat refleksi
dirinya dengan orang-orang di sekitarnya seperti kakak perempuannya sendiri dan
istri baru Abdul Hamid. Mereka orang-orang dari kalangan biasa. Menyelesaikan
studi hanya sebetas jenjang sarjana atau bahkan sekolah menengah atas. Mereka
hanyalah ibu rumah tangga, sedangkan Suad adalah pejabat politik, anggota DPR.
Mereka bukan publik figur yang menuai popularitas seperti yang diinginkan oleh
Suad. Mereka hanyalah perempuan biasa tetapi sukses dalam hubungan rumah
tangga.
Secara keseluruhan, novel ini secara
tersirat menentang beberapa hal terkait gerakan perempuan dalam hal karier. Novel
ini bukan novel anti-feminisme. Sebab, novel ini hanya ingin memberikan
deskripsi sederhana tentang peran-perang kodrati lelaki dan perempuan. Dalam
hal ini, yang ditentang bukanlah prestasi perempuan di ranah publik tetapi
obsesi diri seorang perempuan tanpa memerhatikan liyan dan dirinya sebagai
seorang perempuan. Hal tersebut terlihat dari sikap Suad ketika mengajak suami
pertamanya, Abdul Hamid dalam menjamu kolega-koleganya. Suad selalu ingin
terlihat terdepan tanpa melihat apakah suaminya senang dengan yang
dilakukannya. Selain itu, Suad juga melakukan hal yang sama dengan suami
keduanyam Kamal. Ketika itu Suad mengajak Kamal dalam sebuah pertemuan besar
Presiden. Di Negara Mesir, tradisi bersalaman dengan Presiden adalah suatu hal
yang wajib dilakukan. Orang-orang yang antri bersalaman dengan presiden
diurutkan dari profesi, gelar serta kedudukannya. Pejabat politik ditempatkan
lebih awal daripada cendekiawan. Saat itu, Suad sebagai seorang anggota DPR dan
Kamal sebagai Dokter harus terpisah berdasar profesi dan gelar masing-masing.
Kamal pun marah. Ia marah karena Suad
selalu memerankan dirinya sebagai pejabat politik, intelektual, politikus,
bukan seorang perempuan dan juga bukan seorang istri. Suad pun juga tidak suka
jika harus dipanggil Ibu Kamal. Ia berpikir bahwa ia memiliki gelar dan nama
sendiri. Ia lebih patut dipanggil Doktor Suad.
Novel ini adalah sebuah ego.
Sebetulnya, novel ini sangat menarik untuk dikritisi para feminis yang
mengusung kesetaraan. Dalam beberapa hal, saya setuju dengan Kamal maupun Abdul
Hamid yang tidak nyaman dengan sikap Suad. Namun, di satu sisi, saya menyukai
prinsip-prinsip yang dipegang oleh Suad. Seperti misalnya; ia lebih memilih
dipanggil Doktor Suad daripada Ibu Kamal. Ini menunjukkan bahwa sekalipun ia
seorang istri dari Kamal, Suad masih memiliki eksistensi diri. Saya pun juga
akan berpikir begitu. Sebab, jika saya dipanggil dengan nama suami saya (kelak).
Nama resmi yang diberikan oleh orang tua saya hanyalah tinggal nama yang
tertera di akta kelahiran, ijazah, dan kartu tanda penduduk.
Novel ini cocok bagi siapa saja
yang penasaran mengenai dunia pernikahan (seperti saya). Saya pribadi merasa
puas dengan gambaran sederhana tentang kehidupan suami istri baik dari sisi
peran-peran maupun keruwetan rumah tangga. Novel ini cocok menjadi bahan kajian
dan penelitian terkait dengan gender, seks, dan peran-peran atasnya. Dari situ,
kita dapat mengetahui, apakah novel ini adalah bentuk dari kontra-feminisme
atau tidak. Sebab, jika kita telusuri, Mesir adalah salah satu negara
penyumbang ekstimis feminis yang cukup besar.
Secara keseluruhan novel ini
mengambil alur mundur walaupun tidak terlalu kentara. Suad menceritakan kembali
apa yang ia lakukan ketika masih muda. Dan cerita diakhiri dengan kesepian Suad
yang telah berusia 55 tahun. Di akhir cerita, Suad mengatakan bahwa gerakan
perempuan hanyalah sebatas fenomena yang ditunggangi politik pemerintah, tidak
lebih dari itu. Dari situ, dapat diambil kesimpulan bahwa penulis yang notabene
laki-laki ingin menekanakan bahwa gerakan perempuan sebatas ilusi. Sayangnya,
novel ini menggunakan alur yang terlalu cepat. Sebetulnya, ada banyak sisi lain
yang dapat diceritakan dari Suad. Saya sendiri sebenarnya penasaran bagaimana
perasaan Suad sesungguhnya. Sebab, novel ini benar-benar menceritakan ambisi
Suad. Sekilas, saya tidak menemukan beberapa cuplikan yang menceritakan betapa
bahagianya Suad ketika jatuh cinta. Saya pun juga masih bingung, sebetulnya
dari ketiga lelaki yang mengisi hidup Suad, siapa yang dia cintai? Mungkin
beginilah novel ini berjalan dan menyampaikan kepada pembaca; proses seperti
apa yang membuat Suad lupa bahwa dirinya adalah seorang perempuan. Yaitu,
ketika ia lupa harus mencintai lelaki dan bersedia membangun kehidupan dan
peran-peran atas dirinya. Mungkin karena Suad selalu berpikir bahwa cinta hanya
sekedar waktu luang. Padahal jika kesibukan terus mendera dirinya akibat ambisi
karier, kapan ia akan bercinta? Waktu luang hanyalah semu.
***
Catatan: Big Thanks to Amsa yang dengan sukarela sudah mau
meminjami saya buku ini. Waktu itu, Amsa terlihat ‘lelah’ melihat rutinitas
saya yang terlalu gandrung dengan buku-buku mengenai gender, perempuan, dan
feminisme. “Kamu nggak capek baca buku kayak gitu terus? Buku yang isinya sama?” tanyanya suatu hari. (Well, isi
buku-buku itu nggak pernah sama Ams. Sebab, isinya penuh dengan perspektif. Dan
jika ditarik ke dalam satu generalisasi – hampir menyatakan satu kata saja yang
maknanya luas dan interpretatif, setelahnya bercabang-cabang). Ia pun dengan
sukarela menawarkan bukunya (yang pada akhirnya tersandera di tempat saya
selama beberapa bulan, maafkan :”( ) untuk saya baca agar mendapatkan perspektif
baru. Oke, saya jadi lebih paham tentang arti pernikahan. Saya jadi lebih
mengerti dan memahami bagaimana relasi lawan jenis dalam ikatan (suci) janji
pernikahan. Sebab, saya memang penasaran dengan hal tersebut.
Saya dan Suad memiliki beberapa
kesamaan. Sesekali ketika membaca beberapa paragraf novel di dalamnya, saya
berteriak, “Iki aku banget, leh!” dan
lain hal sebagainya. Tapi kami tetap memiliki perbedaan yang sangat besar –
terlampau besar. Kami sama-sama tidak ingin terikat. Jika Suad ingin bebas
mengembangkan kariernya. Saya hanya ingin bebas menjadi perempuan. Saya hanya
ingin bebas dari tendensi laki-laki tanpa ada ambisi untuk eksistensi diri saya
ke publik.
Mengutip salah satu pidato
seorang perempuan berkulit hitam yang terdiskirminasi, “Ain’t I woman?” Saya tidak ingin lupa menjadi perempuan. Sebab,
ketika menjadi perempuan (yang saya inginkan), hal itu adalah saat-saat
terbebas yang saya miliki. Bukankah saya seorang perempuan?
Comments
Post a Comment