Lumpuhnya Etika dan Media Penyiaran di Indonesia
Regulasi penyiaran dan etika Penyiaran
jelas merupakan dua hal yang berbeda. Namun, keduanya saling berkesinambungan
dan tidak terpisahkan. Etika penyiaran sendiri merupakan derivasi dari adanya
peraturan (regulasi) penyiaran tersebut. Ketika peraturan ditetapkan, tentunya
ada moralitas yang harus dibawa sebagai landasan dalam menetapkan dan
mengimplementasikan praktik-praktik regulasi.
Sebelum
menerjemahkan etika penyiaran, ada baiknya kita memahami terminologi etika itu
sendiri. Banyak kalangan yang mengaitkan etika dengan profesi atau pekerjaan
yang memerlukan kepercayaan dari masyarakat dalam prosesnya, sehingga perlu
adanya sistem yang mengatur tata krama pengerjaan profesi tersebut. Etika dalam
dunia komunikasi sendiri ada yang mendefiinisikan sebagai standar dan peraturan
moral untuk pekerja profesional media yang harus diterapkan dalam berbagai
situasi. Etika menjadi pegangan utama bagi para pekerja media di luar regulasi
dan kebijakan pemerintah yang bersifat formal. Etikalah yang memandu
komunikator mengenai bagaimana seharusnya mereka berperilaku dalam berbagai
situasi, di mana kegiatan mereka mungkin mempunyai dampak negatif terhadap
orang lain. (Yuliniar Luthfaida : 2011)[1]
Etika
dapat dimengerti sebagai pengetahuan tentang moralitas yang mencakup
prinsip-prinsip moral dan aturan-aturan kerja (The Concise Oxford English
Dictionary dalam Frost, 2013: 10)[2].
Sementara itu, media penyiaran adalah media yang mempergunakan ranah dan milik
publik seperti radio dan televisi yang mempergunakan frekuensi (Siregar, 2014:
xxviii). Frekuensi menjadi bahasan yang penting dalam media penyiaran karena
sifatnya yang merupakan public sphere dengan jumlah yang terbatas (scarce).
Berbeda dengan media cetak yang tidak menggunakan ruang publik, media penyiaran
lebih rumit dalam hal regulasi dan pengaturannya, termasuk di antaranya,
etika-etika yang membatasinya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Denis McQuail[3]bahwa
lembaga penyiaran merupakan institusi yang kompleks karena karakter gandanya
sebagai institusi sosial yang berdimensi politik, ekonomi, budaya, pertahanan
dan keamanan.
Dalam hal ini kita dapat mendefinisikan etika media penyiaran sebagai kesadaran moral mengenai kewajiban-kewajiban lembaga penyiaran dan mengenai penilaian lembaga penyiaran tersebut mengani baik buruk serta benar salah. Di Indonesia etika media penyiaran terangkum dalam P3SPS, Kode Etik Jurnalistik serta Kode Etik Pariwara. Adapun regulasi media penyiaran adalah aturan-aturan dan kebijakan yang berkaitan dengan yang mengatur hubungan dan operasinal penyiaran. Regulasi sangat penting bagi keteraturan dan keseimbangan hubungan media dengan pemerintah, masyarakat, sesama industri media dan global media. Regulasi Penyiaran di Indonesia sendiri adalah UU Penyiaran No. 32 tahun 2002. Dalam hal ini, sudah jelas kiranya perbedaan antara etika dan regulasi media penyiaran. Etika penyiaran adalah suatu hal yang bersifat moralitas, nilai, dan norma dalam melaksanakan pengelolaan penyiaran. Etika, dalam hal ini merupakan tata perilaku kita sebagai seorang manusia yang membatasi diri dari tindakan yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sementara regulasi penyiaran adalah seperangkat aturan yang menjadi landasan pengelolaan penyiaran. Regulasi memberikan batasan-batasan yang komprehensif dan substansial mengenai apa itu penyiaran.
Etika
Penyiaran adalah suatu hal yang penting untuk ditegakkan karena menyangkut
moralitas masyarakat. Sebagai lembaga publik, tentunya apa yang disiarkan
oleh lembaga penyiaran, baik publik,
komunitas, maupun lokal akan memberikan dampak terhadap norma-norma dan nilai
dalam kepribadian masyarakat. Dalam hal ini, media sebagai instrumen masyarakt
yang dapat mempengaruhi massa dapat menggeser nilai-nilai tersebut. Ada enam
alasanyang dikemukakan oleh Drs. Dedy Djamluddin Malik, M.Si, mantan Wakil
KoordinatorBidang Informasi dan Komunikasi Komisi I DPR RI[4]yaitu:
1.
Industri
penyiaran mempunyai tanggung jawab sosial kepada publik.Tanggung jawab ini
ditentukan dan diatur oleh sistem nilai yang berlaku diIndonesia. Tanpa adanya
etika yang menentukan nilai-nilai yang berlaku diIndonesia, industri penyiaran
kita bisa bebas memuat konten apa saja.
2.
Industri
penyiaran adalah bidang profesional yang membutuhkan kompetensilewat pengalaman
dan pendidikan. Standar profesionalitas seseorang atausebuah profesi ditentukan
dari keberadaan kode etik yang mengatur etikasuatu profesi.
3.
Efek
media penyiaran lebih besar daripada media cetak dalam mengubahperilaku
khalayak. Hal ini sesuai pula dengan data dari AGB Nielsen yangmenemukan bahwa
penetrasi televisi di masyarakat Indonesia mencapaiangka 94%, angka yang luar
biasa “mengerikan.”
4.
Bidang
penyiaran menggunakan ranah publik yang langka. Karena sifatnyayang langka ini,
maka media penyiaran harus diberdayakan sebesar-besarnyabagi kepentingan
publik. Etika disini berperan dalam pembatasan pemberian. frekuensi, yang
sayangnya masih belum dilakukan dengan baik olehpemerintah sebagai pengelola
frekuensi itu sendiri.
5.
Industri
penyiaran saat ini merupakan industri bisnis yang menjanjikan. Tanpaadanya
etika yang membatasi what’s okay and
what’s not okay, eksploitasikonten dalam media penyiaran dapat dimanfaatkan
untuk kepentingankepentinganekonomi semata.
6.
Sikap
kritis dan selektif masyarakat saat ini masih langka karena masihminimnya
pendidikan literasi media. Media penyiaran sebagai media massayang tingkat
penetrasinya paling besar memiliki segala kemampuan untukmemanipulasi dan
mengontrol massa, maka urgensi adanya etika yangmembatasi pekerja media terlihat
disini.
Selain
itu penegakan etika penyiaran juga terkait dengan prinsip-prinsip
keanekaragaman dalam media yaitu prinsipdiversity
of content (keberagaman isi) dan prinsip diversity of ownership(keberagaman pemilik) serta prinsip diversity of value (keberagaman nilai)
yangmenjadi derivasi dari prinsip keberagaman isi, dimana konten-konten yang
dimuatharuslah bervariasi dengan tidak hanya menekankan pada satu atau dua
nilai yangdianut oleh sebuah masyarakat saja, sehingga media penyiaran dapat
sungguh-sungguhmenjalankan tugasnya untuk mencerahkan khalayak melalui
pemberitaanpemberitaanyang cerdas dan mengedukasi.
Dari
paparan diatas dapat terlihat bahwa pengaturan etika dalam mediapenyiaran
penting untuk diadakan. Frekuensi sebagai hak milik publik, seharusnyatidak
bisa dibeli dan/atau didominasi oleh beberapa kalangan tertentu.
KPI
menyampaikan bahwa sudah menjadi tugas KPI sebagai pengawas dari penyiaran dan
menindaklanjuti apa yang dilaporkan olehmasyarakat. Wewenang KPI adalah
memberikan teguran administratif dengan teguran tertulis. Langkah pertama yang
KPI lakukan apabila ada masalah seperti itu adalah memberikan himbauan kepada
stasiun televisi untuk mengedit,apabila dalam waktu yang telah ditentukan iklan
tersebut tidak diedit maka akan jatuh sanksi. Sanksi diberikan tentunya merujuk
pada peraturan yang ada danberlaku, salah satunya merujuk pada peraturan
Permenkes 1787 tahun 2010, pasal 5 ayat M dan N, tidak boleh melibatkan promosi
dalam bentuk apapun dalamtestimoni. KPI juga merujuk pada etika pariwara
Indonesia, Badan Pengawasan Periklanan (BPP) Persatuan Perusahaan Periklanan
Indonesia (P3I) yangmemang dinyatakan dalam peraturan KPI sebagai pedoman
standar penyiaran, setiap iklan harus menghargai etika pariwara Indonesia[5]
Dalam
menegakkan etika media penyiaran di Indonesia tentunya diperlukan stakeholder
untuk mengontrol dan memutuskan kebijakan media penyiaran. Stakeholder
merupakan individu, sekelompok manusia, komunitas atau masyarakat baik secara
keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan
terhadap perusahaan. Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat
dikatakan sebagai stakeholder jika memiliki karakteristik yaitu mempunyai
kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan terhadap perusahaan.
Dalam
buku Cultivating Peace, Ramizes mengidentifikasi berbagai pendapat mengenai
stakeholder ini. Beberapa defenisi yang penting dikemukakan seperti Freeman
(1984) yang mendefenisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu
yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan
tertentu. Sedangkan Biset (1998) secara
singkat mendefenisikan stekeholder
merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada
permasalahan. Stakeholder ini sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu
sebagaimana dikemukakan Freeman (1984),
yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan
relatif stakeholder terhadap issu,
Grimble and Wellard (1996), dari segi
posisi penting dan pengaruh yang
dimiliki mereka.
Dalam
dunia penyiaran, stakeholder orang
yang memiliki peran dan pengaruh terhadap keputusan kebijakan. Dapat dikatakan stakeholder media penyiaran adalah
mereka yang memiliki peran, tanggung jawab, dan wewenang dalam pengambilan
ketuptusan. Stakeholder adalah pemangku kepentingan, jadi stakeholder adalah
mereka yang memiliki kepentingan dalam dunia lembaga media penyiaran.
Stakeholder dalam dunia penyairan antara lain adalah KPI, Pemerintah,
Menkominfo, Dewan Pers, LSF, dan publik (masyarakat). Selain itu juga terdapat
LSM-LSM yang peduli terhadap media dan literasi media. Contohnya saja Remotivi,
Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP), Pemantau Regulasi dan Regulator
Media (PR2MEDIA), Yayasan Tifa, dan LSM-LSM lainnya yang bergerak khususnya di
lembaga media penyiaran.
Untuk
mampu menjadikan dunia penyiaran sebagai agen perubahan sosial, pengembangan
kebudayaan berbasis kearifan lokal dan pembangunan bangsa, harus ada regulation
of fairness yang memuat prinsip objektivitas, imparsialitas, dan akuntabilitas
agar tercipta dunia penyiaran yang sehat dan hubungan yang seimbang dan dinamis
antar-stakeholders (pemangku
kepentingan) yakni KPI, pengelola industri penyiaran, pemerintah, dan
publik/masyarakat.[6]
Harus terdapat hubungan yang harmonis diantara KPI dan Pemerintah (Khususnya
Menkominfo), KPI dengan Dewan Pers, KPI dengan LSF, serta KPI dan Publik.
Kesemuanya harus saling berelasi untuk menyamakan kepentingan dan mengambil
keputusan yang tepat mengenai etika-etika dalam media penyiaran.
Etika
Penyiaran memang sudah disusun sebagai landasan moralitas dalam program siaran
lembaga penyiaran. Namun, sampai saat
ini praktik etika penyiaran masih belum sempurna. Pelanggaran kode etik terus
saja terjadi dan hanya mendapat sanksi berupa teguran. Tentunya hal tersebut
membuat kalangan pegiat lembaga penyiaran tetap bandel dalam proses siaran.
Sehingga, banyak sekali kasus-kasus pelanggaran etika penyiaran yang terulang
kembali karena sanksi masih minim.
Beberapa
hal terkait pelanggaran etika penyiaran adalah sebagai berikut, yaitu
pelanggaran informasi, pelanggaran (penyalahgunaan) frekuensi publik, pelanggaran konten (isi) dan lain hal
sebagainya. Media penyiaran menjadi salah satu sumber informasi utama bagi masyarakat
Indonesia. Sayangnya, tujuan yang terdengar sangat berharga itu tidak dibarengi
dengan rasa tanggung jawab dari pemilik media. Para penguasa frekuensi
melakukan berbagai cara supaya televisi dan radio yang dimiliki juga memberikan
manfaat bagi kalangan terbatas. Salah satu caranya adalah melakukan berbagai
modifikasi informasi yang akan disampaikan.
TRans TV Menyiarkan acara pernikahan Raffi ahmad dan Nagita |
Selain
itu, terjadi juga monopoli informasi yang menampilkan satu bahasan secara
berlebihan sehingga bisa dianggap telah melanggar hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang beragam. Salah satu contoh yang belum lama terjadi adalah prosesi
pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita yang pertama kali dipelopori oleh Trans TV
pada 16 dan 17 Oktober 2014 kemudian RCTI mengikutinya untuk bagian resepsi.
Sebelum prosesi dilaksanakan, stasiun TV tersebut telah memberikan porsi lebih untuk menayangkan pra acara pernikahan Raffi dan Gigi. Namun parahnya, pada 17 Oktober 2014 Trans TV menyiarkan prosesi secara live dengan durasi sekitar 17 jam. Atas perbuatan ini, KPI kemudian melayangkan surat teguran tertulis dikarenakan pemakaian durasi acara tidak wajar dan tidak memberikan manfaat kepada publik sebagai pemilik frekuensi. Sanksi yangdijatuhkan adalah tidak boleh menayangkan re-run serta tidak diperkenankan untukmengulang praktik semacam itu lagi.
Selanjutnya pada tanggal 12 Desember 2014, pasangan Anang-Ashanty juga melakukan hal yang serupa. Namun, dalam hal ini konteks yang disiarkan adalah proses persalinan Ashanty secara live. Fenomena ini kontan saja mendapat berbagai macam reaksi yang keras. Beberapa orang bahkan menyatakan ketidaksetujuannya melalui media online. Tanggal 16 Desember 2014, KPI akhirnya menegur Anang-Ashanty.
Sebelum prosesi dilaksanakan, stasiun TV tersebut telah memberikan porsi lebih untuk menayangkan pra acara pernikahan Raffi dan Gigi. Namun parahnya, pada 17 Oktober 2014 Trans TV menyiarkan prosesi secara live dengan durasi sekitar 17 jam. Atas perbuatan ini, KPI kemudian melayangkan surat teguran tertulis dikarenakan pemakaian durasi acara tidak wajar dan tidak memberikan manfaat kepada publik sebagai pemilik frekuensi. Sanksi yangdijatuhkan adalah tidak boleh menayangkan re-run serta tidak diperkenankan untukmengulang praktik semacam itu lagi.
Selanjutnya pada tanggal 12 Desember 2014, pasangan Anang-Ashanty juga melakukan hal yang serupa. Namun, dalam hal ini konteks yang disiarkan adalah proses persalinan Ashanty secara live. Fenomena ini kontan saja mendapat berbagai macam reaksi yang keras. Beberapa orang bahkan menyatakan ketidaksetujuannya melalui media online. Tanggal 16 Desember 2014, KPI akhirnya menegur Anang-Ashanty.
KPI seharusnya bersama Pemerintah menyelaraskan konten siaran berdasarkan pada etika sehingga memberikan manfaat kepada publik sebagai pemilik sah frekuensi siaran seolah masih sangat mudah dihiraukan. Selain itu, hak masyarakat atas informasi yang benar dan bermanfaat telah banyak terampas di level ini. Kepemilikan Frekuensi – sekali lagi harus kembali dikukuhkan sebagai milik publik.
Berbicara
mengenai persoalan frekuensi, salah satu kasus yang menjadi sorotan publik
adalah terganggunya pilot pesawat dengan musik-musik dangdut yang bocor dari
frekuensi radio komunitas. Tentu saja hal ini dapat mengancam keselamatan
penumpang dan awak pesawat. Keberadaan radio komunitas yang kurang diperhatikan
membuat radio tersebut tidak memiliki alat yang memenuhi standar. Beberapa
radio komunitas menggunakan alat rakitan yang tidak memenuhi syarat keamanan.
Akibatnya frekuensi radio komunitas sering berubah-ubah dan bocor ke frekuensi penerbangan.
Permasalahan bocornya frekuensi ini dipicu oleh munculnya beragam radio
komunitas yang tidak mengantongi izin. Munculnya radio komunitas yang tidak
berizin ini didukung oleh faktor sulitnya mendapatkan izin dari pemerintah
untuk mengudara. Jika ditarik lebih jauh lagi, kesulitan mendapatkan izin
disebabkan oleh keterbatasan ruang atau frekuensi untuk radio komunitas. Karena
keterbatasan kanal itu, masyarakat menjadi tidak memiliki tempat untuk mengembangkan
kreativitasnya. Padahal dikatakan sebelumnya bahwa radio komunitas memegang
peranan yang begitu penting bagi perkembangan masyarakat.
Terkait
persoalan diversitas media penyiaran baik nilai, kepemilikan, maupun konten
masih jauh dari yang diharapkan. Dominasi televisi swasta mampu mematikan
televisi lokal. Ada begitu banyak pelanggaran terkait keberagaman kepemilikan
media. Pada kenyataannya, pembatasan lembaga swasta pun tidak menghalangi ruang
gerak mereka. Acuan pembatasan lembaga swasta yang diatur dalam pasal 18 ayat 1
yang mengatakan “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta
oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di
beberapa wilayah siaran, dibatasi,” seolah diabaikan oleh pihak lembaga
penyiaran swasta itu sendiri. [7]
Konten-konten
yang terdapat dalam media penyiaran sangat homogen dan tidak mendidik. Publik
sebagai pemegang kuasa penuh atas frekuensi rasa-rasanya dibodohi dengan
tayangan-tayangan tidak penting. Padahal sebagai institusi yang melayani publik,
konten siaran yang ditayangkan adalah yang substansial dengan kepentingan
publik. Keberagaman isi siaran seharusnya dibuat selaras dengan semangat dan
eksistensi kultur bangsa Indonesia yang heterogen dan pluralis. Dengan kata
lain faktor-faktor yang ada dalam budaya dan SARA (suku, agama dan ras)
memiliki peluang yang sama atau memiliki derajat yang sama untuk mengembangkan
diri melalui media penyiaran. Pengembangan ini tentunya didukung dengan
konten-konten dalam penyiaran yang beragam dan sesuai dengan asas, tujuan,
fungsi dan arah siaran yang ada dalam UU no. 32 Tahun 2002. Namun, pada
kenyataannya masih banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
lembaga penyiaran – khususnya swasta.
Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran padadasarnya dirancang berdasarkan amanat
yang diberikan Undang-undang Republik IndonesiaNo. 32/2002 tentang Penyiaran
kepada Komisi Penyiaran Indonesia. Dalam Pasal 8 UU dinyatakan bahwa Komisi
Penyiaran Indonesia memiliki wewenang menetapkan Standar Program Siaran dan Pedoman
Perilaku Penyiaran, serta memberikan sanksi terhadap pelanggaran Standar dan
Pedoman tersebut. Namun pelanggaran penyiaran itu sampai sekarang masih saja
terjadi dengan cara terang-terangan dan dapat dikatakan dengan suatu kesalahan
yang fatal. Biasanya terjadi dalam masalah kesopanan, kepantasan, dan
kesusilaan merupakan suatu hal yang umum dan biasa terjadi di dalam
program-program televisi atau lainnya
Masalah lainnya tentang
pelecehan kelompok masyrakat tertentu, kata-kata kasar, makian, narkotika,
alkohol, rokok, suku yang dipermainkan, ras yang diejek atau diolok-olok, agama,
judi, tayangan supranatural korupsi, dan lain sebagainya. Segala pelanggaran
media berupa apa pun itu sebenarnya dapat diatasi namun tidak dengan cara yang
gampang tentunya. Salah satu jalan keluarnya adalah si penulis berita sudah
seharusnya memperhatikan prinsip-prinsip kode etikjurnalistik, yakni
menampilkan berita yang akurat, adil dan tidak berpihak pada bagian manapun dan
bersifat netral. Tanpa dapat ditawar, lembaga penyiaran harus menyajikan
informasi dalam program faktual dengan senantiasa mengindahkan prinsip akurasi,
keadilan, dan ketidakberpihakan (imparsialitas) Begitu juga perlakuan terhadap
nara sumber.
Dalam setiap program yang melibatkan
narasumber, lembaga-lembaga penyiaran harus menjelaskan secara terus-terang,
jujur, dan terbuka tentang sifat, bentuk, dan tujuan dari acara. Harus dipastikan
narasumber sudah benar-benar mengerti semua hal tentang acara di mana mereka akan
berpartisipasi. Pihak yang harus bertanggungjawab dalam hal terjadinya
pelanggaran adalah lembaga penyiaran yang menyiarkan program yang mengandung pelanggaran
tersebut. Dalam hal ini, walaupun lembaga penyiaran memperoleh atau membeli
program dari pihak lain (misalnya Rumah Produksi), tanggung jawab tetap berada
di tangan lembaga penyiaran. Demikian pula, kendati pun sebuah program yang
mengandung pelanggaran sebenarnya adalah program yang disponsori pihak
tertentu, tanggungjawab tetap berada di tangan lembaga penyiaran. Dalam hal
program bermasalah yang disiarkan secara bersama oleh sejumlah lembaga
penyiaran yang bergabung dalam jaringan lembaga penyiaran, tanggungjawab harus
diemban bersama oleh seluruh lembaga penyiaran yang menyiarkan program bermasalah
tersebut.
KPI meminta agar publik
tidak bias terhadap keberadaan mediaa yang saat ini salah menyiarkan maupun
menayangkan informasi ke publik. Sebaiknya para penonton ataupun publik dapat
menyaring dengan benar, mana yang baik dan mana yang kurang baik atau dapat
kita katakan dapat menyaring informasi yang ada. Sebab kebijakan publik
terhadap perkembangan media saat ini sangat lah diharapkan.
Begitu juga tindakan
lembaga penyiaran yang harus diperhatikan, yakni lembaga penyiaran dilarang
menyiarkan secara langsung peristiwa kerusuhan atau perkelahian fisik yang
melibatkan berbagai kelompok masyarakat. Begitu juga dalam meliput dan
menyajikan laporan tentan konflik antar kelompok masyarakat, lembaga penyiaran
dilarang berpihak pada salah satu kelompok atau dengan sengaja menyajikan
informasi yang dipercaya mampu menyulut kemarahan salah satu kelompok.[8]
Sebetulnya prinsip etika
penyiaran yang tercantum dalam media penyiaran sudah memenuhi standar dalam
mengatur laju penyiaran. Namun, sayangnya hal tersebut tidak ditunjang dengan
badan regulasi indepen yang mumpuni. Maksudnya, di sini adalah regulator media
penyiaran masih mengalami dualitas. Artinya, belum jelas siapa yang sepenuhnya
memiliki wewenang dalam menegur pelanggaran kode etik media penyiaran. Selain
itu, perlu dirumuskan sanksi tegas untuk lembaga media penyiaran. Dalam hal
ini, masih banyak kasus pelanggaran etika penyiaran yang berulang. Dapat
disimpulkan lembaga penyiaran lain tidak belajar dari teguran tersebut. KPI
bersama pemerintah seharusnya lebih tegas dalam kontrol dan pengawasan
penyiaran. Jangan sampai lembaga penyiaran yang seharusnya melayani masyarakat,
malah menjadikan publik sebagai omset iklan mereka. Selain itu, KPI dan
pemerintah harus berani menunjukkan eksistensi pribadi mereka dengan sebagai
salah satu badan yang lebih tinggi daripada lembaga penyiaran swasta. Sehingga,
KPI dan pemerintah tidak lagi diremehkan.
Adapun permasalah
kekuatan lembaga penyiaran yang sulit ditundukkan adalah adanya dominasi
kepemilikan. Sialnya, beberapa pemilik lembaga penyiaran adalah mereka
yang memiliki kuasa di tangan
pemerintah. Untuk memperbarui konsep etika penyiaran memang perlu diperlakukan
pembenahan yang intensif. Kalau perlu UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 harus
direvisi setiap tahun agar relevan dengan konteks budaya populer yang
berkembang setiap saat. Selain itu, aturan pelaksanaa yang dibuat berdasarkan
UU Penyiaran harus sinkron dan tidak tumpang tindih. Jangan sampai persoalan
etika penyiaran serupa dengan digitalisasi televisi yang masih belum jelas
regulasinya.
[1]Ashadi Siregar. Etika Siaran Televisi. http://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/etika-siaran-televisi.pdf,
diakses pada tanggal 24 Desember 2014
[3]Sumber: www.kpi.go.id
[4]Laporan Hasil Konvensi Nasional Media Massa se-Indonesia dalam Rangka
Hari Pers Nasional 2006, hlm. 99.
[7] www.kpi.go.id
[8] Chiara dkk. Etika Media Penyiaran. Presentasi Kelas.
Sumber Foto:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxxpXiix6nRJbDKgNQcx-jnYoeivu4a-zRhTXEqxBEFhE3GOF9WTBCEaAMifoj1G2rXCP2jrqsOz3Hv9eghb550Gp5ADB5b9d0Md-FFr__qDRxD9Xda-1xVdr4zT6_4VBkStxTMsTaW1U/s1600/whitespace_broadband-1.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3Y42sddInTK4n4jRBta_IrCnGU5FF4IfVnPY5yqgMG9wy23bHNohFs-sZuTGt-35kcDLliLPjq8pkYcXSOOq13A6iSIOSKhZyeaWBzxpi2Sj-l9unO4snDd_T-4Oh387zkLcTUV_OzV4/s1600/p1.jpg
http://img2.bisnis.com/bandung/posts/2014/03/26/505155/wartawan_inmagine_bisnisjabar2.jpg
http://daulatrakyat.co/wp-content/uploads/2014/08/TV-Digital.jpg
https://aws-dist.brta.in/2013-07/05ba8f04e79f0a9d26080f1af1ebe8bb.jpg
https://img.okezone.com//content/2014/10/17/33/1053471/LR9xbiR8ZP.jpg
http://assets.kompas.com/data/photo/2014/10/17/2234046rafi780x390.JPG
http://remotivi.or.id/sites/default/files/Frekuensi%20Milik%20Publik%20(yang%20bener).jpg
Sumber Foto:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxxpXiix6nRJbDKgNQcx-jnYoeivu4a-zRhTXEqxBEFhE3GOF9WTBCEaAMifoj1G2rXCP2jrqsOz3Hv9eghb550Gp5ADB5b9d0Md-FFr__qDRxD9Xda-1xVdr4zT6_4VBkStxTMsTaW1U/s1600/whitespace_broadband-1.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3Y42sddInTK4n4jRBta_IrCnGU5FF4IfVnPY5yqgMG9wy23bHNohFs-sZuTGt-35kcDLliLPjq8pkYcXSOOq13A6iSIOSKhZyeaWBzxpi2Sj-l9unO4snDd_T-4Oh387zkLcTUV_OzV4/s1600/p1.jpg
http://img2.bisnis.com/bandung/posts/2014/03/26/505155/wartawan_inmagine_bisnisjabar2.jpg
http://daulatrakyat.co/wp-content/uploads/2014/08/TV-Digital.jpg
https://aws-dist.brta.in/2013-07/05ba8f04e79f0a9d26080f1af1ebe8bb.jpg
https://img.okezone.com//content/2014/10/17/33/1053471/LR9xbiR8ZP.jpg
http://assets.kompas.com/data/photo/2014/10/17/2234046rafi780x390.JPG
http://remotivi.or.id/sites/default/files/Frekuensi%20Milik%20Publik%20(yang%20bener).jpg
Comments
Post a Comment