Persiapan Indonesia dalam Menghadapi Tuntutan dan Persoalan Digitalisasi Penyiaran
Tuntutan perkembangan teknologi adalah sebuah
keniscayaan yang tidak dapat terhindarkan. Hampir semua aspek mengalami
implikasi dari peradaban teknologi yang semakin canggih. Termasuk media penyiaran,
teknologi yang berkembang juga
berimplikasi pada substansi dan instrumentasi media penyiaran.
Perkembangan
teknologi dalam bidang media penyiaran yang saat ini santer dibicarakan adalah
proses digitalisasi, yaitu pemindahan dari sistem analog ke sistem digital.
Dalam hal ini, melihat efektivitas program digitalisasi, bukan hal yang tidak
mungkin jika media penyiaran di Indonesia menerapkannya. Apalagi saat ini,
berbagai negara di belahan dunia telah turut serta dalam digitalisasi
penyiaran. Semenjak ditetapkannya batas akhir TV analog secara internasional
pada tahun 2015 oleh International
Telecommunicatin Union (ITU), negara-negara global telah beralih pada
digitalisasi penyiaran. Telah tercatat 85% wilayah dunia telah
mengimplementasikan digitalisasi penyiaran. USA misalnya telah menghentikan
penggunaan TV analog pada tahun 2009, Jepang tahun 2011, Korea Cina & UK
pada tahun 2012, Brunei menyusul di tahun 2014, Singapura, Malaysia, Thailand
& Filipina pada berencana mematikan TV Analog pada tahun 2015. Situasi di
mana dunia global mulai beradaptasi dengan sistem digital, diperkirakan akan
menyebabkan siaran televisi analog tidak akan lagi beroperasi. Peralatan
analognya pun akan jarang diproduksi lagi, termasuk suku cadangnya.[1]
Melihat
situasi global yang beradaptasi dengan perkembangan teknologi, Indonesia
tentunya tidak bisa tinggal diam. Era
digitalisasi penyiaran memang hal yang tidak bisa terelakkan. Digitalisasi
penyiaran berkaitan dengan kemajuan teknologi, tuntutan kebutuhan masyarakat hingga
tuntutan green economy. Hal itu
merupakan peluang untuk menciptakan penyiaran yang berkualitas, baik gambar
maupun suara, dengan peluang pemaksimalan penggunaan frekuensi penyiaran. Digitalisasi
penyiaran dinilai mampu membantu penataan kembali anatomi sistem penyiaran yang
lebih demokratis, seperti penguatan lembaga penyiaran publik serta penataan
lembaga penyiaran swasta yang menjamin diversity
of ownership dan diversity of content.
Digitalisasi akan mengubah total industri televisi dan konten.
Indonesia
sendiri berencana menghentikan siaran TV analog dan memulai digitalisasi TV di
tahun 2018. Hal tersebut telah termaktub
di dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air). Permerintah melalui
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) mengeluarkan Permen
tersebut antara lain untuk mengatur penataan dan persiapan awal migrasi dari
sistem penyiaran analog ke sistem penyiaran digital. Permen tersebut membuat
kategori baru berupa Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing
(LPPPM) dan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS).
Dalam
hal ini, Permen No. 22 tahun 2011 memiliki implikasi serius dalam penyelenggaraan
televisi digital di Indonesia.[2]
Permen ini mengatur hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang penyiaran
sehingga memunculkan dualitas regulasi, yakni regulasi penyiaran analog
sebagaimana diatur dalam undang-undang penyiaran No. 32 tahun 2002 dan
penyiaran digital melalui Permen ini.
Terlepas
dari ketimpangan perundang-undangan yang ada, digitalisasi sebetulnya menjadi
solusi untuk mengatasi keterbatasan dan ketidakefisienan pada penyiaran analog
– khususnya dalam penggunaan frekuensi. Proses teknologi dilakukan untuk
mendapatkan efisiensi dan optimalisasi dalam berbagai hal, termasuk dalam
teknologi penyiaran. Efisiensi dan optimalisasi yang paling nyata dalam
penyiaran di antaranya adalah kanal siaran dan infrastruktur penyiaran, seperti
menara pemancar, antena, dan saluran transmisi.[3]
Akan
tetapi, pemindahan sistem penyiaran dari analog ke digital tidak hanya
persoalan teknologi semata, tetapi juga aspek ekonomi, sosial, hukum, dan juga
politik, sehingga persoalan digitalisasi penyiaran di Indonesia perlu dilihat
secara komprehensif. Di sana ada persoalan state
interests, corporation interests,
consumers interests, juga public interests yang saling
berinteraksi.
Iwan
Awaludin Yusuf[4] dalam tulisannya yang
berjudul “Memaknai Digitalisasi (Penyiaran) Tak Sekadar Migrasi Teknologi”
menjelaskan bahwa digitalisasi penyiaran merupakan terminologi untuk
menjelaskan proses alih format media dari bentuk analog menjadi bentuk digital.
Secara teknologis (teknis), digitalisasi adalah proses perubahan segala bentuk
informasi (angka, kata, gambar, suara, data, dan gerak) dikodekan ke dalam
bentuk bit (binary digit) sehingga
dimungkinkan adanya manipulasi dan transformasi data (bitstreaming), termasuk penggandaan, pengurangan, maupun
penambahan. Semua jenis informasi diperlakukan bukan dalam bentuk asli, tetapi
bentuk digital yang sama (byte/bit).
Bit ini berupa karakter dengan dua pilihan: 0 dan 1, on dan off, yes dan no, ada informasi atau tidak. Penyederhanaan ini pada akhirnya
dapat merangkum aneka bentuk informasi: huruf, suara, gambar, warna, gerak, dan
sebagainya sekaligus ke dalam satu format sehingga dapat memproses informasi
untuk berbagai keperluan: pengolahan, pengiriman, penyimpanan, penyajian,
sekaligus dalam satu perangkat.[5]
Perbedaan
pokok teknologi penyiaran digital dan penyiaran analog adalah adanya peralatan multiplexer (mux). Multiplexer merupakan
suatu sistem perangkat untuk menyalurkan beberapa program siaran dari para
Penyelenggara Program Siaran yang kemudian dipancarkan kepada masyarakat/pemirsa
melalui suatu perangkat transmisi. Sistem penyiaran digital berjalan melalui mux/multiplexing dan kompresi yang
menggabungkan sejumlah audio/data stream
ke dalam satu kanal penyiaran. Setiap stasiun menempati slot di multiplex dengan bit rate yang sama atau berbeda sesuai kebutuhan. Teknologi multiplexing ini sendiri memungkinkan
dilakukannya pelebaran kanal frekuensi.[6] Dalam
sistem analog, satu kanal hanya bisa diisi satu frekuensi, sedangkan dalam
sistem digital satu kanal bisa diisi dengan lebih dari enam frekuensi
sekaligus. Bahkan penyiaran digital mengandaikan satu frekuensi yang digunakan
oleh satu stasiun televisi saat ini dapat menawarkan 12 slot siaran. Kondisi
ini dimungkinkan karena dalam sistem digital pelebaran frekuensi bisa dilakukan.
Berbeda dengan teknologi analog yang memungkinkan hanya satu frekuensi untuk
satu slot siaran.
Selain
itu, dalam konteks penyiaran televisi, format digital kaya akan transformasi
data dalam waktu bersamaan sehingga digitalisasi dapat meningkatkan resolusi
gambar dan suara yang lebih stabil, sehingga tampilan gambar lebih bersih dan
suara yang lebih jernih. Sedangkan pada konteks penyiaran radio, digitalisasi
radio berarti menerapkan teknologi radio yang membawa informasi dalam sinyal digital
dengan metode modulasi digital. Dalam hal ini umumnya disebut dengan teknologi
penyiaran digital audio. Sistem penyiaran radio digital berjalan melalui multiplexing dan kompresi yang
menggabungkan sejumlah audio/data stream ke dalam satu kanal penyiaran. Setiap
stasiun radio menempati slot di multiplex
dengan bit rate yang sama atau
berbeda sesuai kebutuhan. Sama dengan televisi, teknologi penyiaran radio
berbasis digital menjanjikan suara yang lebih jernih.[7] Selain
itu, teknologi penyiaran digital memungkinkan penggunaan menara pemancar
bersama untuk menyalurkan semua program siaran pada suatu wilayah layanan.
Sehingga akan tercapai suatu efisiensi infrastruktur yang sangat baik dan
penerimaan siaran yang sampai di masyarakat pun akan merata.[8]
Dalam
proses migrasi digitalisasi penyiaran itu sendiri meliputi beberapa aspek,
yakni (1) kebijakan simulcast dan switch
off (atau alternatifnya: tidak harus total switch off), (2) mekanisme sosialisasi, (3) pengadaan set-top-box, (4) ketersediaan pusat
layanan informasi, dan (5) kejelasan regulasi sebagai aturan main bila terjadi
pelanggaran selama proses migrasi.[9]
Sebagai
bentuk pengimplementasian tersebut, pemerintah Indonesia, melalui Menteri Menkominfo
mencanangkan program atau konsep peta jalan yang disebut roadmap. Roadmap adalah
sebuah perencanaan konsep yang diusung pemerintah untuk menjalankan
digitalisasi penyiaran dengan berbagai tahap. Roadmap infrastruktur TV digital
disusun sebagai peta jalan bagi implementasi migrasi dari sistem penyiaran televisi
analog ke digital di Indonesia. Peta jalan ini dimulai sejak awal tahun 2009
sampai dengan akhir tahun 2018.
Secara garis besar, tahapan atau roadmap digitalisasi penyiaran di
Indonesia sudah dimulai pada tahun 2003 dengan melakukan berbagai kajian. Pada
tanggal 21 Maret 2007, Menkominfo menerbitkan Peraturan Menteri No. 07 Tahun 2007
tentang Standar Penyiaran Digital Terestrial untuk Televisi Tidak Bergerak.
Keputusan itu menetapkan standar DVB-T sebagai standar penyiaran televisi
digital teresterial tidak bergerak di Indonesia. Selanjutnya pemerintah
membentuk tiga kelompok kerja untuk menyiapkan pilot project televisi digital,
yang terdiri dari (1) Working Group
Regulasi Sistem Penyiaran Digital, (2) Working
Group Master Plan Frekuensi Digital dan (3) Working Group Teknologi Peralatan[10].
Salah
satu kajian penting dilakukan oleh Working
Group Master Plan Frekuensi Penyiaran digital 2008. Rekomendasi Working Group tersebut berupa
rekomendasi model-model usaha.[11] Rangkaian
kegiatan yang telah dilaksanakan dalam rangka migrasi siaran analog ke digital
diantaranya: soft launching uji coba siaran TV digital di wilayah Jabodetabek
oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada tanggal 13 Agustus 2008 di TVRI. Kemudian
secara resmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan Grand Launching uji
coba siaran TV digital pada tanggal 20 Mei 2009 bertepatan dengan Hari
Kebangkitan Nasional yang pelaksanaannya dipusatkan di Studio SCTV Jakarta.[12]
Sebagai
dukungan regulasi terhadap implementasi penyiaran TV digital, pada tahun 2009
pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 39 tahun
2009 tentang Kerangka Dasar Penyelenggaraan Penyiaran TV Digital Terestrial
Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free to air).
Peraturan ini merupakan kerangka dasar atau kerangka pemikiran awal bagaimana
melaksanakan implementasi penyiaran TV digital.
Pada bulan November 2011, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika No. 22 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran
Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free to air) sebagai pengganti Permen
Kominfo No. 39/2009. Peraturan ini mengatur tentang model bisnis
penyelenggaraan penyiaran TV digital, zona layanan penyiaran multipleksing,
TKDN set top box dan pelaksanaan penyiaran
TV digital.[13]
Dalam Permen Kominfo Nomor 22 Tahun 2011
tersebut, diperkenalkan serta dikukuhkan dua jenis lembaga penyelenggara
penyiran televisi baru. Yakni Lembaga
Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS), yang mengelola program siaran
untuk dipancarluaskan kepada masyarakat di suatu wilayah layanan siaran melalui
saluran siaran atau slot dalam kanal frekuensi radio. Satunya lagi, Lembaga
Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM), yang menyalurkan
beberapa program siaran melalui suatu perangkat multipleks dan perangkat
transmisi kepada masyarakat si suatu zona layanan. Keduanya merupakan konsep
baru yang diusung pemerintah dalam pelaksanaan digitalisasi penyiaran.[14]
Dalam
siaran digital, akan ada dua bentuk usaha, yakni penyelenggara penyiaran dan penyelenggara multiplekser.
Untuk itu, demi menjamin ketersediaan
kanal bagi lembaga penyiaran publik dan swasta, perlu dibedakan dua bentuk multiplekser, yakni
multiplekser publik dan komunitas dan multiplekser komersial. Lembaga penyiaran
publik seyogianya bisa secara otomatis menjadi penyelenggara multiplekser
publik dan komunitas. Masalah utama adalah dasar hukum Permen Kominfo Nomor 22
Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial. Juga
arah kebijakan yang dinilai sejumlah pihak sebagai tidak adil, tidak
transparan, cenderung otoriter, dan manipulatif.[15]
TV
digital memisahkan antara, Perusahaan Pemancar (tower atau Mux) dengan
Perusahaan yang produksi Isi Siaran. Kalau sistem analog jadi satu. Maka model
bisnisnya sudah beda, tidak seperti sekarang, nanti ada perusahaan khusus di
bisnis pemancar (LP3M), dan perusahaan isi siaran (LP3S) , jadi bisnisnya terpisah, perusahaannya terpisah. Akan ada
segera aturan spin off bagi persuahaan yang menguasai mux (LP3M) sekaligus
berbisnis di isi siaran (LP3S).
Komisi
I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan meminta
Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mencabut Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor
22 tahun 2011. Peraturan yang mengatur migrasi TV analog ke TV digital dianggap lebih
mengutamakan kepentingan konglomerasi
media daripada publik.[16]
Penyiaran
televisi analog saat ini memainkan peran baik itu sebagai Content Provider (Penyedia Konten), Content Aggregator (Pengumpul dan Pendistribusi Konten), Multiplexer (Penyelenggara
Multipleksing) dan Network/Transmission
Provider (Penyedia Jaringan/Transmisi). Namun, dengan sistem penyiaran televisi digital,
fungsi-fungsi tersebut dapat dipisahkan. Sebuah entitas hukum dapat mengambil
salah satu atau beberapa fungsi sebagai kegiatan bisnis atau usahanya. Lembaga Penyiaran
Swasta (LPS) sendiri memiliki peluang menjadi LPPPM, padahal menurut Pasal 16
ayat (1) UU Penyiaran, menegaskan bahwa bidang usaha LPS hanya menyelenggarakan
jasa penyiaran radio atau televisi, dalam hal ini adalah sebagai LPPPS.
Penyebutan
dua jenis lembaga penyiaran baru dalam Permen itu, tidak sesuai dengan
Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam UU Penyiaran, Pasal 13
ayat (2) UU Penyiaran hanya memuat 4 jenis lembaga penyiaran. Pertama, Lembaga
Penyiaran Publik (LPP), yakni lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang
didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan
berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Kedua, Lembaga
Penyiaran Swasta (LPS), yakni lembaga penyiaran yang bersifat komersial
berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa
penyiaran radio atau televisi. Ketiga, Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK), yakni
lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh
komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya
pancar rendah, luas jangkauan terbatas, serta untuk melayani kepentingan
komunitasnya.
Yang
keempat, Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), yakni lembaga penyiaran
berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan
jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin
penyelenggaraan penyiaran berlangganan.
Di
masa mendatang, digitalisasi penyiaran terhadap keempat jasa penyiaran di atas
nampaknya bukan sesuatu yang mustahil. Cepat atau lambat, konvergensi media
yang mewajah dalam televisi digital akan melibas teknologi penyiaran
konvensional. Dari kacamata teknologi boleh jadi konvergensi merupakan sesuatu
yang imperatif, keberadaannya sekadar satu tahap dari evolusi teknologi belaka.
Sekalipun demikian, implementasinya senantiasa melahirkan beragam konsekuensi
sebagai akibat perubahan gaya hidup pengguna teknologi. Persoalannya adalah,
sejauh mana penyedia jasa penyiaran dan masyarakat kita betul-betul siap untuk
menerima digitalisasi televisi? Di samping itu, digitalisasi menyisakan satu pertanyaan
penting berkaitan dengan eksistensi televisi komunitas yang ada di Indonesia
sekarang ini.
Dalam
konteks sekarang, satu frekuensi bisa
diisi oleh 12 saluran siaran. Suatu saat mungkin akan lebih banyak. Namun, pelipatgandaan ini tidak
secara otomatis menciptakan keberagaman
isi dan kepemilikan. Ini karena digitalisasi versi pemerintah bias swasta. Dalam pengertian, swasta diberikan
jatah frekuensi yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan lembaga penyiaran publik. Saat ini, menurut Permen 22 yang sudah dibatalkan MA, dibuka
6 kanal dalam satu zona layanan, dan
setiap kanal akan diisi 12 saluran siaran. Artinya, setiap zona layanan akan ada 72 saluran siaran.
Masalahnya, Lembaga Penyiaran Publik (LPP) mendapatkan 14 satu kanal untuk
siaran televisi yang berarti hanya akan mempunyai 12 saluran siaran. Angka ini
jauh di bawah LPS yang mencapai 60 saluran siaran. Kondisi ini akan membuat
siaran nasional Indonesia didominasi oleh kepentingan pasar atau semata
komersial.
Oleh
karena itu, LPP harus benar-benar mendapatkan jaminan ketersediaan frekuensi
yang memadai sehingga ada kesempatan yang berimbang antara lembaga penyiaran swasta
dan lembaga penyiaran publik.[17]
Jika ditinjau ulang peraturan baru penyiaran
mengenai digitalisasi berpotensi menimbulkan penyimpangan berupa penguasaan frekuensi
siaran yang merupakan aset publik, oleh kelompok pemilik media yang terpusat hanya pada orang-orang
tertentu saja. Sistem digital dikritik karena lebih menguntungkan stasiun
televisi swasta karena sebagai pemegang
hak penggunaan frekuensi siaran multipleks dapat menguasai semua spektrum kanal yang terdapat di dalamnya. Proses
tender dari adanya dua konsep lembaga penyiaran baru akan membuka ruang untuk
monopoli frekuensi karena tidak ada batasan zona.
Peraturan
digitalisasi terkait pelaksanaan program digitalisasi ternyata juga menimbulkan
kekhawatiran sejumlah pihak yakni televisi lokal. Pasalnya, tidak semua
televisi lokal bisa ikut dalam peralihan teknologi dari analog ke digital
tersebut. Ini akan menyebabkan banyak dari televisi lokal tersebut berhenti di
tengah jalan. Pelaksanaan digitalisasi akan mengubah tatatan penyiaran
Indonesia. Perubahan itulah yang diprediksi menyulitkan televisi-televisi lokal
yang notabane tidak siap sepenuhnya di segala aspek. Ketua Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) Pusat, Mochamad Riyanto mengatakan pelaksanaan digitalisasi
dalam kontek kepentingan daerah belum dapat dilihat secara jelas terutama untuk
televisi-televisi lokalnya. Menurutnya, ini akibat kesalahan dari terlalu
terburu-burunya pemerintah mempersiapkan aturan digital.
Apa
yang disampaikan Riyanto sejalan dengan Ketua KPID Jatim, Fajar Arifianto.
Dalam wawacara dengan salah satu media, Fajar mengatakan akan ada 50 stasiun
televisi lokal di Jawa Timur terancam mati[18]
karena Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Digitalisasi
Penyiaran. Dalam peraturan tersebut, semua lembaga penyiaran diwajibkan untuk
mengubah analog ke digital pada 2018 nanti.[19]
Secara
implementasi, kebijakan ini menguntungkan lembaga penyiaran besar yang termasuk
dalam grup-grup besar. Contohnya pemenang multipleks jaringan provider yang
dikuasai lima media besar, yaitu SCTV, Trans TV, Metro TV, ANTV, dan Global TV.
Sedangkan stasiun televisi lokal tidak diberi kesempatan untuk memiliki
multipleks. Pada akhirnya kekuasaan media-media besar itu akan kembali
memunculkan oligopoli.[20]
Selain
itu, implementasi proses migrasi televisi analog menuju digital hanya diatur
dalam Permen No. 22, bukan aturan yang lebih tinggi seperti Undang-Undang
Penyiaran. Amir Effendi Siregar berpendapat, permasalahan digitalisasi harus
ditarik ke konteks kondisi media kita saat ini, di mana konsentrasi kepemilikan
media masih berada pada segelintir orang. Menurut Amir, sistem digitalisasi ini
tidak menjamin memecahnya konsentrasi tersebut, karena pengelolaan penyiaran
tetap diserahkan pada pengelola yang sudah eksis, seperti kesepuluh stasiun
televisi “nasional” kita. Efek dari hal tersebut tentu saja tidak akan
terpenuhinya keberagaman suara (diversity
of voices), keberagaman isi (diversity
of content), dan keberagaman kepemilikan (diversity of ownership), yang semestinya dijamin oleh negara.[21]
Dalam
hal ini memang masih banyak ketimpangan-ketimpangan yang akan terjadi dalam
pelaksanaan digitalisasi penyiaran. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri karena
pada dasarnya undang-undang penyiaran di Indonesia masih banyak
ketidaksinkronan. Untuk itu sebelum digitalisasi penyiaran di Indonesia diterapakan
harus ada pembenahan sistem dan regulasi penyiaran. Kemenkominfo sudah semestinya tidak memaksakan
implementasi peraturan menteri tentang digitalisasi penyiaran untuk siaran
terestrial sebelum revisi UU Penyiaran tuntas.[22]
Hal-hal
seperti penjaminan keberagaman dan kemajemukan, serta pindah tangan dan
jual-beli frekuensi harus diperjelas. Proses digitalisasi tidak akan berjalan
lancar jika semua prasyarat yang sifat substansial belum terpenuhi. Staf ahli revisi UU Penyiaran 2012 Paulus
Widiyanto berpendapat, hal yang lebih mendesak adalah memperjelas sistem
penyiaran dengan merampungkan terlebih dahulu UU Penyiaran.[23]
Sependapat dengan yang diekemukakan Paulus, Rahayu, Dosen Ilmu Komunikasi UGM
memaparkan studi komparasi penerapan digitalisasi media di beberapa negara.
Kenyataan yang ia temui adalah proses digitalisasi tidak terjadi begitu saja.
Amerika dan beberapa negara di Eropa misalnya, membuat sistem penyiaran
terlebih dahulu, baru kemudian menjadikan sistem itu sebagai pedoman dalam
penerapan digitalisasi.[24]
Selain
itu, dari segi regulator, KPI hanya dianggap sebagai pengawas dan tidak
dilibatkan secara aktif dalam proses migrasi televisi digital tersebut. Kebijakan
pemerintah yang memisah lembaga penyiaran penyelenggara penyiaran multipleksing
(LPPPM) dengan lembaga penyiaran penyelenggara program siaran (LPPPS) dapat
memicu ketimpangan lantaran banyak pemilik IPP (izin penyelenggara penyiaran)
yang belum BEP (break event point) dalam bisnisnya.[25] Sewa
ke LPPPM tarifnya sampai Rp80 juta sampai Rp120 juta per bulan. Jumlah sebanyak
itu tentunya dipertanyakan apakah televisi lokal sanggup membiayainya. Dia
menambahkan hal itu juga akan memicu kecenderungan lembaga penyiaran swasta untuk
menjadi LPPPM lantaran lebih menguntungkan. Kalau itu terjadi media akhirnya
akan terpusat karena hanya mereka yang memiliki modal besar yang sanggup. Menurutnya
kondisi tersebut akan lebih rumit saat dilakukan perpanjangan izin lantaran
sesuai konsep pemerintah setiap LPPPM akan menaungi stasiun televisi lain.
Ketua
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Judhariksawan mengatakan, Permen Kominfo No. 22
tahun 2011 mengenai Digitalisasi yang mengatas namakan rakyat, bertentangan
dengan UU Penyiaran dan semangat bahwa frekuensi itu adalah ranah terbatas
milik rakyat, yang penggunaannya harus untuk rakyat semaksimum mungkin.[26]
Tiga
hal terkait penyiaran sedang terjadi saat ini. DPR membahas Rancangan
Undang-Undang Penyiaran yang baru, Koalisi Independen untuk Demokratisasi
Penyiaran mengajukan uji materi tentang pemusatan kepemilikan ke Mahkamah
Konstitusi, dan pemerintah mengeluarkan PP No 22/2011 tentang Penyelenggaraan
Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar.
Dengan
upaya pengembangan desentralisasi melalui otonomi daerah dan jaminan terhadap
hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat, Republik Indonesia seharusnya
bergerak dari sistem otoriter yang sentralistis ke demokratis yang
desentralistis. Maka, untuk Indonesia, sistem yang tepat adalah sistem
penyiaran dengan stasiun televisi berjaringan dan stasiun lokal.
Permen
Nomor 22 Tahun 2011 dinilai mengkhawatirkan karena memunculkan model baru
lembaga penyiaran yang tak terdapat dalam Undang-Undang Penyiaran, yaitu
Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS) dan Lembaga Penyiaran
Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM).
Apalagi
yang bisa mendirikan LPPM adalah lembaga yang sudah mempunyai izin penggunaan
spektrum frekuensi radio dan izin penyelenggaraan penyiaran. Itu adalah lembaga
penyiaran yang kini eksis. Kemudian LPPM dapat melayani lebih dari 1 zona,
padahal terdapat 15 zona di seluruh Indonesia. Setiap zona melayani beberapa
wilayah, seluruh Indonesia ada 216 wilayah.
Kita
juga harus mempersoalkan mengapa Lembaga Penyiaran Publik TVRI hanya
diperkenankan jadi LPPM pada 1 dari 6 kanal yang ada, sementara 5 kanal lain
diberikan kepada pihak swasta. Semua memperlihatkan, permen berpeluang
melanggengkan pemusatan kepemilikan yang berlebihan dan oligarki yang terjadi
pada industri penyiaran saat ini. Juga menyulitkan munculnya pemain alternatif
atau pemain baru yang bukan kelompoknya.[27]
Karut-marutnya
regulasi yang melandasi migrasi digitalisi penyiaran ini tidak serta merta
terjadi begitu saja. Absurditas dalam regulasi ini disebabkan adanya kesalahan dalam pengambil keputusan.
Pengambilan keputusan dilakukan oleh Menteri. Seharusnya, jika mentaati
peraturan undang-undang yang ada, keputusan ini seharusnya diambil oleh
Parlemen karena menyangkut kepentingan rakyat – yaitu penggunaan frekuensi.
Selain itu, perumusan peraturan menteri mengenai digitalisasi tersebut juga
tidak melibatkan KPI sebagai salah satu lembaga independen yang ditetapkan
sebagai regulator penyiaran.[28] Penetapan
kebijakan digitalisasi di Indonesia telah melangkahi supremasi kedaulatan
rakyat karena dibuat oleh menteri.
Perundang-undangan
tentang penyiaran di Indonesia telah menetapkan bahwa frekuensi adalah hak
publik. Artinya, siaran televisi dan radio di Indonesia harus memperhatikan
kemajemukan isi dan kepemilikan. Nyatanya, kebijakan baru dalam Permen belum
menjamin pluralisme. Di Indonesia, ada pemisahan antara lembaga penyelenggara
penyiaran dan lembaga penyelenggara multipleks. Namun, yang berhak jadi
penyelenggara multipleks adalah penyelenggara penyiaran yang saat ini eksis.
Kebijakan ini berpotensi melanggengkan konsentrasi kepemilikan yang sudah ada.
Distribusi isi siaran di dalam multipleks pun belum diatur. Dalam hal ini,
harus ada peninjauan ulang terhadap dua lembaga penyiaran yang baru tersebut.
Regulasi
atau undang-undang mengenai digitalisasi penyiaran juga harus memperhatikan LPP
dan LPK. Peraturan yang sekaran cenderung mengalokasikan multipleks untuk lembaga
penyiaran komersial (menguasai lima dari enam multipleks yang tersedia).
Lembaga penyiaran publik yang hanya memiliki jatah satu multipleks harus
berbagi dengan lembaga penyiaran publik lokal dan komunitas. Toleransi waktu
untuk beralih teknologi bagi penyiaran lokal dan komunitas sangat minim.
Lembaga penyelenggara penyiaran pun belum jelas pengaturannya.
Peraturan
Menteri selain harus berbenah ternyata juga mesti ditinjau ulang legitimasinya
terhadap dunia penyiaran. Sebab, selain Permen tersebut melangkahi supremasi
kedaultan rakyat, masih banyak ketimpangan-ketimpangan yang harus diperbaiki di
dalamnya. Pemerintah Indonesia terlalu terburu-buru dalam implementasi
digitalisasi penyiaran. Seharusnya, sebelum dilakukan perumusan regulasi harus
ada kajian-kajian komprehensif terhadap proses digitalisasi di Indonesia
Selain
itu dalam regulasi atau undang-undang yang baru, independent regulatoru body harus memiliki posisi penting dengan
kewenangan yang semakin kompleks. Dalam hal ini, di Indonesia, KPI harus
meneguhkan legitimasinya sebagai badan regulasi yang independen di Indonesia.
Kasus seperti rancangan Permen No. 22 tahun 2011 yang tidak melibatkan KPI
jangan sampai kembali terjadi. Di Indonesia, berdasarkan permen di atas,
pemerintah memegang kendali terhadap izin penyelenggaraan penyiaran digital,
penetapan penyelenggara multipleks, evaluasi dan pengawasan, serta pemberian
sanksi tanpa menyinggung posisi Komisi Penyiaran Indonesia. Sayangnya, dualitas
regulasi penyiaran tidak hanya mengalami ambiguitas di Permen No 22. Tahun
2011. UU Penyiaran No 32 tahun 2002 sebagai landasan peraturan pelaksana
lainnya – semenjak dulu telah menimbulkan dualitas regulasi, yakni KPI dan
Menkominfo.
Selain itu, untuk mempermudah
jalannya implementasi digitalisasi penyiaran, tentunya harus ada sosialisasi
kepada masyarakat yang komprehensif. Lembaga Penyiaran di Indonesia merupakan
salah satu sumber informasi, edukasi, dan hiburan yang murah bagi masyarakat.
Tentunya, migrasi teknologi yang mendadak akan memicu polemik sosial ekonomi
dan politik di masyarakat. Impelemtasi tidak akan berjalan lancar jika di dalam
regulasinya, masyarakat tidak ditempatkan di prioritas tertinggi sebagai publik
yang berhak atas pelayanan media penyiaran di Indonesia.
Melihat karut-marutnya Permen, UU,
dan Regulasi media penyiaran di Indonesia. Sebaiknya digitalisasi televisi
dijalankan setelah semua persoalan di atas dibahas dan dimasukkan ke dalam UU
Penyiaran yang baru. Dengan begitu, proses digitalisasi dapat memecah
konsentrasi, menciptakan keanekaragaman, partisipasi terjadi, dan demokrasi
berjalan sehat serta masyarakat menjadi sejahtera. Jika tidak, negara ini
sebenarnya memberikan legitimasi untuk dikuasai oleh kapital. Jadi, dapat
ditarik kesimpulan, sebelum memenuhi kriteria dalam UU Penyiaran ke dalam
regulasi digitalisasi, diperlukan pembenahan dan revisi ulang terhadap UU
sebelumnya. Undang-undang merupakan peraturan tertinggi yang menjadi landasan
serta dasar dari pelaksana peraturan selanjutnya. Untuk itu, peraturan mengenai
digitalisasi seharusnya berdasarkan dair UU Penyiaran No. 32 tahun 2002. Namun,
yang terjadi saat ini terjadi tumpang tindih peraturan. Apa yang tidak ada
dalam UU Penyiaran tiba-tiba muncul dalam Permen Digitalitasi. Hal-hal seperti
inilah yang mesti dibenahi dan direvisi. Selain meneguhkan legitimasi bentuk UU
sebagai peraturan tertinggi dan dasar peraturan pelaksana, UU Penyiaran yang
sejak dibuatnya sudah cacat logika mesti diperbaiki dengan matang.
[1] Iwan
Awaluddi Yusuf, PROBLEMATIKA INFRASTRUKTUR DAN TEKNOLOGI DALAM TRANSISI DARI SISTEM PENYIARAN ANALOG MENUJU DIGITAL dalam http://balitbang.kominfo.go.id/balitbang/bppki-yogyakarta/files/2013/01/05_Artikel-Iwan_Final_177-190.pdf,
diakses pada tanggal 23 Desember 2014.
[2] Puji
Rianto dkk. 2012. Digitalisasi Televisi
di Indonesia. Yogyakarta: PR2Media-Yayasan Tifa. Hlmn. 36
[3] Iwan Awaludin
Yusuf, Ibid.PROBLEMATIKA INFRASTRUKTUR DAN TEKNOLOGI DALAM TRANSISI DARI SISTEM PENYIARAN ANALOG MENUJU
DIGITAL dalam http://balitbang.kominfo.go.id/balitbang/bppki-yogyakarta/files/2013/01/05_Artikel-Iwan_Final_177-190.pdf,
diakses pada tanggal 23 Desember 2014.
[4] Dosen
Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media
& Budaya Populer (PKMBP) Yogyakarta, dan aktivis Pemantau Regulasi dan
Regulator media (PR2MEDIA), Yogyakarta.
[5] Lih.
Iwan Awaludin Yusuf. dalam
http://balitbang.kominfo.go.id/balitbang/bppki-yogyakarta/files/2013/01/05_Artikel-Iwan_Final_177-190.pdf, diakses pada tanggal 23 Desember 2014.
[6] Iwan,
Lih. http://balitbang.kominfo.go.id/balitbang/bppki-yogyakarta/files/2013/01/05_Artikel-Iwan_Final_177-190.pdf,
diakses pada tanggal 23 Desember.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Abu
Navis. Konvergensi Media Televisi Digital dan Masa Depan Televisi. https://abunavis.wordpress.com/2009/01/31/konvergensi-media-televisi-digital-dan-masa-depan-televisi-komunitas/,
diakses pada tanggal 23 Desember 2014
[11].Puji
Rianto dkk. 2012. Digitalisasi Televisi
di Indonesia. Yogyakarta: PR2Media-Yayasan Tifa. Hlmn. 36
[12] Lih. https://tvdigital.kominfo.go.id/?page_id=17
, diakses pada tanggal 24 Desember 2014
[13] Lih. https://tvdigital.kominfo.go.id/?page_id=17
, diakses pada tanggal 24 Desember 2014
[14] Abu
Navis. Konvergensi Media Televisi Digital dan Masa Depan Televisi.
https://abunavis.wordpress.com/2009/01/31/konvergensi-media-televisi-digital-dan-masa-depan-televisi-komunitas/,
diakses pada tanggal 23 Desember 2014
[15] Rahayu,
Digitalisasi Televisi, Sebuah Perbandingan, Kompas cetak, 22 April 2013
[16] Lih. http://penyiaranpublik.org/wp-content/uploads/2014/01/POSITION-PAPER-Hasil-Lokakarya-Jkt.pdf,
diakses pada tanggal 23 Desember 2014
[17] Lih. http://penyiaranpublik.org/wp-content/uploads/2014/01/POSITION-PAPER-Hasil-Lokakarya-Jkt.pdf
[18] http://www.tempo.co/read/news/2013/01/17/058455136/Digitalisasi-Penyiaran-50-Televisi-Lokal-Terancam,
diakses pada tanggal 23 Desember 2014
[19] Ibid.
[20] http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/31178-digitalisasi-jangan-sampai-mematikan-tv-lokal,
diakses pata tanggal 23 Desember 2014
[21] Ardi
Wilda, Digitalisasi Televisi Bukan Sekedar Alih Teknologi dalam http://remotivi.or.id/kabar-tv/digitalisasi-televisi-bukan-sekadar-alih-teknologi,
diakses tanggal 25 Desember 2014.
[22] Tantowi
Yahya, Digitalisasi Televisi, dalam http://www.beritasatu.com/nasional/33727-digitalisasi-televisi-untungkan-konglomerasi-media.html
[23] Ardi
Wilda,
http://remotivi.or.id/kabar-tv/digitalisasi-televisi-bukan-sekadar-alih-teknologi
[24] Rahayu
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada
(Kompas cetak, 22 April 2013)
[25]
Politicindonesia.com
[26] Jay
Waluyo dalam http://www.tvdigitaljogja.tv/2013/09/migrasi-tv-digital-masih-banyak-ganjalan.html,
diakses tanggal 25 Desember 2014.
[27] Amir
Effendi Siregar. Digitalisasi Televisi dalam http://tekno.kompas.com/read/2012/02/20/11115031/Digitalisasi.Televisi,
diakses pada tanggal 24 Desember 2014.
Comments
Post a Comment