(Mungkin) Doa yang Salah
“Kapan aku pernah memimpikan menjadi manusia
dewasa?” dalam cermin berdimensi masa, aku bertanya, seolah-olah memecah
kerangka waktu yang mengekang antara
diriku dan seuntai masa lalu. Cermin itu bergoyang-goyang, memendarkan galaksi
masa lalu yang tengah dipelintir untuk diledakkan. Di sana, di dalam cemin itu,
aku melihat dengan jelas sesosok gadis kecil yang tidak pernah pandai menyisir
rambutnya. Rambutnya panjang gimbal sampai ke pinggang. Ia lebih sering
menguncir rambut tersebut ke belakang. Terkadang ia menggerai rambutnya. Namun,
ia lebih memilih mengikatnya ke belakang karena akan sangat mereporkan jika ia
harus menggerai rambut panjangnya. Gadis itu selalu memakai celana selutut.
Tidak pernah mau menggunakan rok. Satu-satunya rok yang ia kenakan adalah
seragam sekolah. Ia tidak suka bermain boneka. Boneka satu-satunya yang ia
miliki telah rusak wajahnya karena diinjak-injak.
“Wajahnya
menakutkan,” ujarnya kala itu saat berada di rumah dan hanya berdua dengan
bonekanya. Ia memilih menunggu di luar rumah. Menopang dagunya sambil
mengumpati boneka perempuan berwajah menakutkan yang memakai topi. Sampai
menjelang sore hari, ketika Ibunya pulang dengan sekantong tas kresek berisi
makanan, ia baru berani masuk ke dalam rumah. Ia melirik-lirik takut pada
boneka yang sudah ia injak-injak. Kepalanya miring ke kanan, matanya tampak
redup. Seolah-olah, boneka tersebut marah kepadanya. Ia kemudian menendang
boneka itu jauh-jauh dan lari terbirit-birit menghampiri ibunya dan dengan serta
merta mengobrak-abrik tas kresek berwarna hitam yang penuh dengan jajanan.
Sore
hari adalah waktu di mana Ibunya selalu mengejar-ngejarnya untuk mandi dan
menyisir rambut. Namun, ia malah berlari ke rumah tetangga sebelah, mengajak
seorang bocah laki-laki bermain sepak bola. Beberapa kali, ketika gadis kecil
itu pulang ke rumah, sang Ibu menyodorkan boneka miliknya (yang baginya
menakutkan). “Bermainlah dengan teman perempuan. Bawa boneka ini, dan ajak
mereka. Jangan terlalu sering bermain dengan anak laki-laki tetangga sebelah.
Kamu seorang perempuan,” Gadis kecil itu mengangguk-angguk seolah menuruti dan
mengerti. Namun, kenyataannya ia mengiyakan nasihat itu hanya untuk membuat
ibunya berhenti berbicara dan ia bisa lari ke luar rumah – kembali bermain
dengan bocah laki-laki tetangga sebelah yang selalu mengajaknya berpetualang.
Ia sudah lupa kalau seharusnya sore itu ia mandi dan menyisir ramburnya yang
semakin lama semakin kusut.
“Kapan aku pernah memimpikan menjadi manusia
dewasa?” cermin itu memutar lensanya, menggerakkan satu masa yang selalu ia
rindukan. Kali ini ia melihat seorang gadis kecil yang merengut ketika
rambutnya yang gimbal akhirnya dipotong pendek sebatok kelapa. Orang-orang,
khususnya orang dewasa selalu mengomentari rambutnya yang tidak pernah tersisir
rapi. Rambutnya gimbal dan sulit sekali disisir. “Rambutnya panjang tapi kusut
sekali. Lebih baik dipotong,” cetus seorang perempuan paruh baya yang
menurutnya menyebalkan. Memang, rambutnya kusut sekali. Setiap orang dewasa
yang mencoba menyisir rambutnya selalu mengeluh. Pada akhirnya, sang Ibu
memutuskan untuk memangkas rambut gadis itu. Setelahnya, ibunya menyuruhnya
memakai sebuah rok terusan berwarna merah muda. Ia menolak dan lebih memilih
memakai kaus biru dan celana kotak-kotak merah selutut. Ia suka sekali mengenakan
pakaian itu. Sebab, bocah laki-laki tetatangga sebelah juga memilih celana
dengan model yang sama. Hanya saja, warnanya berbeda, hijau biru kotak-kotak.
Lagi-lagi, gadis kecil itu dan teman sepermainannya – bocah lelaki tetangga
sebelah bertemu di halaman belakang rumah. Kedua ibu mereka meneriaki untuk
segera mandi. Namun, mereka malah berlari mengambil sepedanya, berputar
mengelilingi kampung yang tidak seberapa. Bagi keduanya, rutinitas mandi adalah
urutan kedua setelah permainan-permainan yang mengasyikkan selesai di ujung
senja.
Saat
itu, ketika gadis kecil seusianya bermain boneka. Ia memilih bermain sepak bola
dengan beberapa bocah laki-laki. Ia menghabiskan setiap sore untuk bermain dan
berkelana. Sampai kulitnya gosong terpapar cahaya senja. Tapi ia tidak pernah
mempermasalahkannya. Dulu, sewaktu masih bocah, ia tidak pernah memandang apa
itu hitam dan putihnya. Baginya semua saja. Selagi orang-orang itu baik
kepadanya, semuanya akan terlihat baik-baik saja. Dalam pandangannya hanya ada
dua tipe manusia di dunia ini. Sekelompok orang berperilaku baik dan sebagian
lagi, orang-orang yang lupa berbuat baik. Jika teman-temannya berbuat baik, ia
akan dengan senang hati menirunya. Namun, jika beberapa temannya lupa berbuat
baik, dia akan berusaha mengingatkannya dan bersama-bersama berbuat baik.
Baginya, waktu itu, asalkan ia senang dan semua orang senang – semua sudah
cukup. Ia sama sekali tidak mengkotak-kotakkan teman-temannya baik dari segi
fisik, keyakinan, maupun latar belakang. Semua sama, dan akan selalu sama.
Selagi baik, selagi tetap ingat berbuat baik kepada sesama.
Namun
suatu ketika, seorang pria dewasa mengatakan bahwa kulitnya hitam dan kusam.
Kemudian beberapa yang lain menjuluki hal yang sama. Seolah-olah hal itu
mempermalukan dirinya. Saat itu – dan mungkin sampai detik ini, ia tidak pernah
mempermasalahkannya. Hanya saja manusia-manusia dewasa di sekitarnya dengan
tiba-tiba menodongnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah memiliki
ujung penjelasan. “Kulitmu jelek sekali. Hitam legam seperti arang. Perempuan
tidak pantas memiliki kulit seperti itu,” kakek tua sebelah rumah bersuara.
Terdengar sangat menyebalkan sekali di telinga gadis itu. Hal itu membuatnya
bertanya-tanya, sebetulnya apa yang pantas dan tidak pantas. Bukankah, ia sudah
berbuat baik? Apa kebaikan; suatu hal pantas dan tidak pantas ukurannya hanya
dari segi visual? Apakah kulit hitam dan putih patut dipersoalkan dalam segi
pantas dan tidak pantas? Ia tidak tahu apa itu hitam dan putih. Gadis kecil itu
hanya tahu siapa orang yang berbuat baik dan yang lupa berbuat baik. Tapi
manusia-manusia di sekitarnya tak membuatnya berpikir demikian.
Sekarang,
gadis kecil itu mendapatkan masalah lagi. Ia dihadapkan persoalan apa yang pantas dan tidak pantas dilakukan dan dimiliki
oleh seorang perempuan. Padahal baginya, kala itu, yang hanya seorang gadis
kecil – iya sudah merasa cukup menjadi manusia; bukan menjadi laki-laki atau
menjadi perempuan. Namun, lagi-lagi – orang-orang dewasa bertabuh kencang.
Mulut mereka seolah tertempel di dinding kamarnya, di atap kamarnya, di kamar
mandi, di taman belakang, di piring kesukaannya, di gelas kesayangannya, dan
kadang-kadang berpindah tempat ke baju-bajunya. Sejak itu, gadis kecil itu jadi
mengerti kata cerewet. Jika orang-orang dewasa mengomentarinya, gadist itu akan
bersungut-sungut, dan berkata, “Huh, cerewet!”
“Kapan aku pernah memimpikan menjadi manusia
dewasa?” cermin itu kembali berputar. Kali ini menampakkan hamparan rumput
yang luas. Tiga orang anak kecil tampak berlari-larian menendang bola. Mereka
hanya bertiga dan sesekali tertawa kegirangan. Di saat-saat yang menyenangkan
itu; seorang kakek tua keluar sembari membawa gulungan koran. Kakek tua itu
menyuruh seorang anak perempuan di antara ketiganya untuk segera pulang. Wajah
kakek tua itu terkesan tampak masam. Sembari menuntun anak perempuan yang
kelihatannya masih ingin bermain, si kakek berbisik, “jangan bermain bersama
mereka,” kaket itu melirik ke arah bocah laki-laki kumal dan gadis kecil
berambut batok kelapa. “Lebih baik kamu membaca saja.” Setelah anak perempuan itu masuk ke dalam,
dengan wajah masam kakek tua itu berteriak lantang, “Kalian jangan bermain di
sini! Bikin rusak pekarangan saja. Lihat, rumput jepangnya jadi rusak,” ujarnya.
Waktu
itu, si gadis batok kelapa dengan bocah laki-laki kumal itu hanya melongo.
Mereka berpandangan sebentar terheran-heran. Sampai akhirnya kakek tua itu
mengacungkan gulungan koran, keduanya lari tebirit-birit. “Huh, dasar pelit!”
maki kedua anak kecil itu. “Padahal kan, pekarangan milik bersama. Masak kita
tidak boleh bermain di sini?”
Orang
dewasa memang semena-mena. Mereka melakukan segala hal sesuai dengan yang
mereka inginkan. Mereka selalu datang di saat-saat menyenangkan bagi anak-anak
dan mengacaukan segalanya. Mereka berlaku seolah “Dewa” – berbicara benar dan
salah serta pantas dan tidak pantas sesuai aturan mereka. Seperti kakek tua itu
– yang kemudian melarang bocah laki-laki dan gadis berambut batok kelapa
bermain di pekarangan belakang rumah. Padahal, pekarangan itu adalah milik
bersama – milik tiga kepala keluarga. Namun, si kakek tua dengan angkuhnya
hanya mengijinkan cucu perempuannya yang tempo hari bergabung bermain dengan si
gadis kecil berambut batok kelapa dan bocah laki-laki kumal. “Huu... orang
dewasa seenaknya. Pilih kasih!” kala itu cibiran ala anak-anak terdengar.
Mereka tampak berdua tampak kesal dan mengutuki si kakek tua yang menyebalkan
itu.
“Kapan aku pernah memimpikan menjadi manusia
dewasa,” – surau dekat rumah terlihat. Waktu itu bulan puasa, semua
anak-anak kecil tampak mengitari surau dengan gembira. Anak-anak kecil melihat
surau – selain sebagai tempat beribadah – juga tempat bertemu teman dan
bermain. Mereka akan melonjak-lonjak girang jika melihat teman seumuran mereka.
Tanpa sungkan dan prasangka buruk bermain dengan bahagia.
Waktu
itu sedang dilaksanakan salat tarawih – sebagai anak kecil yang awam perihal
dosa dan pahala, mereka malah berguling-gulingan di atas karpet sajadah; tidak
terkecuali si gadis kecil berambut batok kelapa. Tawa mereka begitu beras;
melebih suara imam dan lantuna ‘aamiin’ para makmum. Saat itu, si gadis
berambut batok kelapa bergulingan cepat sambil tertawa-tawa bersama temannya.
Tak berapa lama setelah salam diucapkan; seorang perempuan parub baya
menghampiri; Plak! Suara pukulan terdengar sekali. Plak! Plak! Plak! Kemudian
terdengar berkali-kali. Wajah perempuan paruh baya itu dengan bengis
mengacungkan kepalan tangannya. “Awas kalau sampai kalian ramai lagi. Saya
cubit satu per satu!” anak-anak kecil terdiam sambil meringis, mereka beringsut
ke pojok surau sambil berbisik-bisik kesal. Anak-anak kecil itu tidak sekali
dua kali mendapat teguran dan ancaman serupa. Mereka berkali-kali
mendapatkannya; karena ramai; membuat gaduh; membuat ulah di Surau.
“Kalian
tahu surau tempat beribadah? Bukan tempat bermain!” hardiknya. Kali ini membawa
sapu ijuk membuat anak-anak itu ketakutan. Sejak saat itu; karena takut dengan
orang-orang dewasa yang semakin lama semakin galak di surau – mereka pun
memilih pergi. Anak-anak kecil itu memilih menyingkir. Mereka lebih memilih
bermain petasan di malam hari dan menyeleweng dari jadwal mengaji yang rutin
diadakan tiap sore. Mereka semua jadi malas mengenal surau. Surau bagi mereka
menjadi tempat yang menakutkan karena banyak orang tua yang marah oleh
kegaduhan yang mereka buat. Orang-orang tua itu bilang, “Kekhusyukan kami
terganggu oleh suara ribut kalian! Kalau kalian hanya membuat kegaduhan, lebih
baik pergi saja dari Surau! Mengganggu!” Lama kelamaan, surau semakin sepi.
Anak-anak kecil yang ramai berkunjung di sana mulai menghilang satu persatu.
Tinggal; orang-orang dewasa lang sudah sepuh – yang mencari ketentraman dalam
beribadah. Mereka kini mendapatkan itu. Tidak ada lagi yang mengganggu
kekhusyukan mereka beribadah. Namun, mereka tidak menyadari hal yang lebih
menyedihkan daripada terganggu ritual peridabatannya. Mereka telah kehilangan
sekaligus menghilangkan semangat anak-anak kecil yang ingin pergi ke surau.
Saat itu; banyak yang jadi malas mengaji; ketakutan. Sudah tidak ada lagi yang
menginginkan surau. Gadis kecil berambut batok kelapa itu pun enggan mengaji di
sana. Selama berbulan-bulan ia tidak pergi ke surau; sampai akhirnya memilih
surau lain yang orang-orang dewasanya jauh lebih ramai. Saat ini, setelah
belasan tahun berlalu – semenjak anak-anak kecil itu ‘diusir’ dari surau, -- surau kian hari kian
sepi. Orang-orang tua yang dulu mengagungkan kekhusyukan beribadah telah
berpulang. Tinggal beberapa yang masih hidup dan rutin pergi ke surau.
Sedangkan anak-anak kecil yang kini jadi pemuda-pemudi; tidak lagi mengenal
surau. Orang-orang tua itu memang mendapatkan kekhusyukan beribadah tapi mereka
kehilangan pemuda-pemudi yang seharusnya kini mengganti pemuda-pemudi sebelumnya
menjadi pengurus surau. Alih-alih mementingkan ego mereka dengan Tuhan, dengan
lalim mereka menyingkirkan anak-anak kecil yang masih awam soal peridabatan –
dan secara tidak langsung membuat mereka merasa asing dengan surau dan
kegiatannya. Kini, surau itu begitu sepi – orang-orang tua yang dulu hobi
menghardik satu per satu berpulang. Sedang pemuda-pemudinya sudah trauma
mengenal surau – melilih jalan lain di persimpangan yang penuh jurang.
Ah,
kapan aku memimpikan menjadi manusia dewasa?
Kala
itu, gadis kecil berkepala batok sangat kesal dengan perlakuan-perlakuan
orang-orang dewasa di sekitarnya. Mereka begitu menyebalkan. Mengatur segala
sesuatu hal berdasarkan asumsi mereka. Membuat konsep benar dan salah menurut
mereka. Menyerukan pantas dan tidak pantas menurut ajaran mereka. Orang dewasa –
bagi gadis kecil berambut batok kelapa itu sangat menyebalkan. Baginya, orang
dewasa adalah musuh. Api yang membakar sekam jadi abu. Baginya, orang dewasa
adalah lawan; yang mesti dibasmi. Orang-orang dewasalah yang membuatnya harus
kehilangan rambut panjangnya. Merekalah yang memisahkan pertemanan tulus.
Merekalah yang membuat imaji-imaji mereka berantakan. Orang dewasa benar-benar
menyebalkan. Mereka musuh, mereka adalah monster yang tinggal di
selokan-selokan – bersama tikus-tikus got. Bagi gadis itu, orang dewasa ialah
musuh. Tapi, toh, gadis kecil tidak bisa melakukan apapun. Sampai akhirnya –
ketika ia terus mendapat perlakuan buruk dari orang-orang dewasa – dia selalu
berdoa dalam hati. Merapal mantra-mantra suci. Ia ingin cepat dewasa – ia ingin
segera dewasa; biar orang-orang dewasa di sekitarnya tidak seenaknya mengatur
dan menentukan hidupnya. Biar orang-orang dewasa di sekitarnya tidak menganggu
saat-saat menyenangkan dalam hidupnya.
Dan
kini, setelah belasan tahun, doa itu dirapalkan, gadis itu telah menjadi
dewasa.
*
kapan aku memimpikan menjadi manusia dewasa?
Dulu saat aku masih seorang gadis kecil yang tidak pandai menyisir rambut yang
panjang dan gimbal. Aku selalu berpikir bahwa hidupku selalu di diatur oleh
orang-orang dewasa. Dulu ketika aku masih seorang gadis kecil yang rambut
panjangnya dipaksa dipotong sebatok kelapa sekalipun aku menyukainya sekalipun rambutku
menggimbal, hidupku selalu penuh dengan batas-batas moral orang dewasa. Hidupku
diatur oleh apa yang menurut mereka baik dan buruk. Bukan menurutku – sebagai orang
yang memiliki hidup atas diriku sendiri.
Dulu
saat aku masih seorang gadis kecil aku sangat tidak menyukai orang dewasa.
Mereka tidak pernah memberikan kebebasan. Selalu muncul di saat-saat paling
menyenangkan. Bagiku, saat itu, saat aku masih seorang gadis kecil; orang
dewasa adalah hal paling tidak menyenangkan. Aku tidak menyukai mereka. Aku membenci
mereka. Mereka adalah musuhku. Dan, ketika aku tahu bahwa aku tak menyukai
mereka, aku memutuskan agar cepat dewasa. Dan pada saat itu – ketika aku telah
dewasa setidak-tidaknya aku punya keputusanku sendiri dan menolak untuk dijerat
oleh aturan mereka.
Namun,
saat aku menyadari bahwa doaku saat ini telah terkabul. Aku menyesal. Aku
menyesali saat-saat di mana aku sadar bahwa dengan tidak perlu berdoa dan
memimpikan menjadi tua dan dewasa pun aku akan menjalaninya. Saat aku telah
masuk pada jelang usia dewasa dan bertanya-tanya kapan aku memimpikan jadi
dewasa dan terus merapal dalam doa. Aku semakin menyadari bahwa aku benar-benar
membenci orang dewasa,
termasuk diriku sendiri.
Kapan
aku pernah memimpikan jadi manusia dewasa?
Aku
harap tidak pernah. Namun sayangnya, ketika aku membenci orang dewasa, aku
selalu berdoa agar cepat menjadi dewasa. Paradoks, bukan?
Dan
aku menyesal.
Saat ini, aku hanya membayangkan
bahwa aku akan selalu berpikiran seperti anak kecil. Aku akan terus menyematkan
logika anak kecil. Dengan begitu – sekalipun aku membenci orang dewasa –
sekalipun aku telah dewasa – aku tidak menjadi orang dewasa yang dibenci
anak-anak. Aku bisa membenci diri sendiri – tapi tak akan membiarkan anak-anak
kecil membenciku. Sebab, aku adalah orang
dewasa.
Mungkin ini doa yang yang salah. Seharusnya aku berdoa untuk tetap menjadi anak
kecil – dan membangun duniaku sendiri dengan anak-anak yang lain. Seperti Peter
Pan.
sumber foto:
http://the-marketeers.com/wp-content/uploads/2011/09/paradoks.jpg
sumber foto:
http://the-marketeers.com/wp-content/uploads/2011/09/paradoks.jpg
Comments
Post a Comment