Asap dan Sepi
![]() |
via http://img14.deviantart.net/ |
Aku tidak tahu sudah berapa lama
aku mengisap rokok. Aku juga tidak tahu sejak kapan aku mulai merokok. Hanya
saja, setiap kali menatap langit-langit kamar yang temaram sembari
menghembuskan asap rokok ke udara, aku selalu melihat sesuatu hal. Asap tipis yang mengaburkan pandanganku tetapi melegakan dan melenakan. Aku suka menjumput asap itu dengan tanganku. Menepis kekosongan udara. Mungkin, kami – aku dan
asap bisa berbincang-bincang perihal sepatu yang belum disemir selama sebulan
dan mulai kusam. Atau kami bisa berbicara tentang tumpukan piring kotor yang
sudah berlalat.
Menghisap rokok dalam-dalam. Mendesah.
Lalu kemudian menghela napas. Aku menikmati saat-saat aku mendesah – seolah ada
beban berat yang terhempas. Mereka lenyap begitu saja seolah tahu satu-satunya
tujuanku merokok adalah untuk itu. Tetapi, aku tidak pernah merokok di luar.
Aku selalu merokok di dalam kamar. Di ruangan tempat aku duduk saat ini,
berkardus-kardus rokok teronggok di sudut ruangan. Puntung rokok bertebaran di
asbak-asbak yang mulai mengabu-abu.
Aku tak pernah membuangnya –
semenjak aku merokok – yang aku tak pernah ingat kapan kali pertama aku
mengisapnya. Tetapi aku selalu ingat pertama kali aku menghisap rokok. Dulu,
aku diajak teman-temanku mengendap-endap menuju gedung belakang sekolah. Mereka
pergi ke warung kecil yang sering disambangi para sopir angkot. Di tempat itu
mereka membeli sebungkus rokok djarum atau gudang garam – bagi mereka yang mana
saja sama (saja). Sebungkus rokok yang mereka beli itu dibagi-bagi. Aku
mendapat satu batang. Tetapi aku menolaknya. Aku merasa aneh saat mereka
menyodorkan rokok itu kepadaku. Tetapi, aku merasa tertarik ketika mereka mulai
menghisapnya dengan penuh penghayatan. Seperti sebuah seni. Mereka merokok
seperti memainkan estetika.
Semua itu sebenarnya hanya alasan
saja untukku mengumpulkan uang dan membeli tiga batang rokok djarum. Aku mulai
memberanikan diri untuk mengikuti teman-temanku merokok. Aku duduk bersila di
kamar dan menyalakan rokok itu. Eksperimen pertama terbakar sampai gosong dan
aku tak berhasil meniupnya. Eksperimen kedua membuatku hampir mati kehabisan
napas karena aku tidak terbiasa dengan menghisap-menghembus bersama dengan
asap. Sampai pada eksperimen ketiga, aku mulai menemukan estetika itu – sebuah
penghayatan. Dan di sana, aku mulai berani mendesah. Saat aku merokok aku bebas
menghela napas. Orang-orang tidak tahu bahwa aku sedang lelah. Mereka hanya
tahu aku sedang bermain napas.
Ada satu hal yang begitu aku
membuatku menikmati sebatang rokok: kesendirian. Semenjak melakukannya di
kamar; aku mulai kecanduan. Tidak hanya sekadar mengisap rokok. Aku juga
kecanduan menghabiskan waktu berjam-jam di kamar sendirian sembari mengisap
rokok. Aku menyukainya. Aku menikmati sepi yang tertahan mengerang di balik
bibirku yang sibuk mengisap dan menghembuskan asap. Aku hanya merasakan sesuatu
hal yang lain – sesuatu yang kuinginkan – yang tak pernah bisa aku ungkapkan kepada
siapapun ketika aku merokok pertama kali di kamar sendirian.
Sampai sekarang, aku masih tetap
menikmati rokok sendirian. Aku tak pernah merokok di tempat lain selain kamarku
di sini. Aku sungguh-sungguh menikmatinya. Aku menikmati situasi yang begitu
sepi sampai aku tak bisa merasakan keberadaan diriku sendiri. Hanya ketika aku
mengembuskan asap ke udara; aku seolah melihat teman. Sesosok kabur yang bisa
diajak berbicara dengan bahasa sepi. Disitulah Aku menikmati sepi dan asap. Sebuah perpaduan
yang aneh. Kolaborasi yang menyesakkan. Bagaimana jika akau mati kehabisan
oksigen dan tidak ada orang yang tahu? Mungkin aku memang menginginkannya. Bisa
jadi aku hanya menyukai sepi dan menjadikan asap sebagai teman bicaraku. “Halo
asap, bagaimana kabarmu? Biarkan aku mendesah. Biarkan aku menghela napas,”
Tetapi akhir-akhir ini – entah kenapa
rasa sepi dan asap yang menjadi perpaduan nikmat dalam hidupku perlahan
mengikis. Semua gara-gara minimarket terdekat tidak menjual rokok kesukaanku
yang sudah kuhisap sejak lama. Rasanya jadi aneh. Sesekali ngilu. Mengganggu
pergulatan sepi dan asap yang selalu kunikmati. Ada yang ganjal sekarang ketika
menikmati perpaduan sepi dan asap yang begitu nikmat. Sebuah rasa sepat. Sepat.
Sepat.
Sungguh Sepat.
Sepat. Sepat Sekali
Aku pun meludah. Benar-benar.
Sepertinya besok aku harus memborong rokok yang sama walaupun harus berkendara
berkilo-kilo meter. Aku benci rasa sepat. Walaupun begitu, aku tetap mengisapnya.
Agar temanku – si asap muncul. Kemudian dengan bahasa sepi aku ucapkan
kepadanya: “Eh, halo asap. Sepat ini mengganggu kemesraan kita, bukan?”
Asap tidak menjawab.
Jangan-jangan yang terjadi adalah sebaliknya? Tiba-tiba rahangku mengeras.
Bukan karena asap tak menjawab. Tetapi ngilu di gigi-gigiku mendadak timbul. Dinding
mulutku rasanya kejang. Ah, sepat! Sepat!
Comments
Post a Comment