Monolog Malam Hari di Balik Jendela
via https://morfis.files.wordpress.com/ |
Ini pertama kalinya aku melihatmu bertingkah aneh. Dengan wajah lesu kamu berbicara sendiri – bermonolog pada angin. Tetapi, seolah-olah kamu berbicara padaku.
“Dia sudah punya cewek! Huh!” aku
mendengarmu mengeluh. Kamu melipat kakimu sampai ke dada dan menaruh dagumu di
sana. Jendela pintu kamarmu terbuka lebar. Angin berdesir – menyelinap – dan bersemayam
di antara tengkuk dan udara kosong lainnya. Tetapi, kamu tidak menghiraukan hal
itu.
“Dia sudah punya cewek. Cewek itu
teman dekatku. Cantik dan menawan. Dia juga pintar. Cewek itu... huh! Aku bahkan
ndak nemu cela apapun!” kamu mendengus, mengusap hidungmu yang tidak terlalu
bangir. Tiba-tiba saja kamu menoleh ke arah cermin. Di sana, mimik wajahmu
terlihat tidak puas sama sekali. “Bajingan! Kenapa Tuhan kasih aku wajah
seperti ini?”
“Tetapi perempuan itu jalang eh!
Cewek itu... mantan kimcil! Tapi, eh, sepertinya lelaki itu enggak peduli. Yang
penting, cewek itu cantik, bisa dia pamerkan kepada keluarganya. Bisa dia
tunjukkan kepada teman-teman lelakinya. Kalau... kalau... kalau dia bisa dapat
perempuan yang cantik!” sekarang ucapanmu menjadi lirih. “Kampret! Padahal aku
yang mengenalkan cewek itu kepada dia. Padahal aku yang kenal lebih dulu. Kenapa cewek itu yang dapat. Padahal aku sudah cerita, aku naksir lelaki itu sedari dulu. Cewek itu... Huh! Kampreeet!”
“Sial! Sial! Sial!” kamu merutuk.
Kakimu kau hentak-hentakkan ke dinding. “Mereka kenal dua bulan, eh! Tiga bulan
lagi sudah mau menikah. Aku menunggu bertahun-tahun. Bertahun-tahuuuuun!
Huuuuuuuuuuu... Kampret!” ujarmu berkali-kali. Kamu mengumpat. Kamu menyumpahi
apapun. Bahkan Tuhan. “Gila! Apa bagusnya kimcil, eeeeeeeeh? Huuuh!”
“Aku pikir aku lebih baik
daripada cewek itu. Dia cuman serupa kimcil. Lonte yang bisa dibayar sepuluh
ribu. Kenapa pula lelaki beriman seperti dia mau? Ah!”
Aku sebenarnya ingin menjawab
ujaranmu. Tetapi, sepertinya, kamu tidak akan mendengarnya.
“Mau kimcil atau lonte – yang
penting menawan. Kalau begini, aku jadi lonte pun – tak akan ada yang sudi
untuk membayar,” kamu mengusap hidungmu lagi. Kini hidungmu terlihat merah.
Bukan karena kamu usap berkali-kali. Aku tahu... kamu mulai menangis. Menangisi
lelaki itu.
“Cewek itu... si kimcil sialan...
jalang keparat... lonte biadab... aku kenal dia seperti apa. Kami berteman
sejak sekolah dasar. Dia itu jalang dan suka mempermainkan laki-laki.” Kamu terlihat
ngos-ngosan ketika bermonolog seperti itu. Mungkin karena ini pertama kalinya
kamu mengumpat. Setiap umpatanmu terdengar tersendat-sendat. Entah karena kamu
menangis atau karena kamu memang tidak ingin mengatakannya. “Dia tidur dengan
banyak laki-laki. Tampangnya saja, mukanya itu lho... cantik dan tidak berdosa!
Semua laki-laki hanya tahu dia itu sesosok bidadari. Mereka tidak tahu yang
sebenarnya... Dan... dan... Ah! Jika mengingatnya aku ingin kejang-kejang!”
“Cewek itu... perempuan jalang
yang serupa demit... selalu saja selalu saja selalu saja....” tiba-tiba kamu
terdiam.... Tapi aku tahu kamu sedang mencoba menghela napas. “Selaluuu....
Hu...Hu... Hu.... Selalu... Cewek itu... Hu... Hu... Hu...” kamu berhenti
bermonolog. Kini, yang kudengar dari bibirmu hanya isakan tangis. Tidak jelas kamu
mengatakan apa. Kamu hanya menangis. Meraung-raung sambil mengumpat dengan
tersendat-sendat. “Huhuhuhu.... Huuuuuuuuu..........” tangismu menjerit. Aku
sampai ingin membungkammu mulutmu agar kamu berhenti bertindak konyol seperti
ini. Padahal, sesungguhnya, aku ingin mendengar kelanjutanmu berkramagung. Aku
ingin dengar – sebenarnya apa yang telah dilakukan “cewek itu” kepadamu “sedari
dulu”, hingga kau menjadi seperti ini.
Jika saja aku mampu. Aku ingin
mengujarkan perkataan-perkataan yang menenangkan. Jika saja, aku bisa
melakukannya. Aku ingin kau mendengarkan apa yang ingin kusampaikan kepadamu.
Tetapi aku bukan siapa-siapa. Kau pun mungkin tidak pernah melihatku selama
ini. Lagipula, aku bisa apa? Aku hanyalah bayanganmu... yang akan hilang jika
gelap menyergap.
“Huhuhu... Cewek itu... Cewek itu... Selalu... Selalu saja... Selalu
begitu sedari duluu.... Selalu... Hu... hu... hu...”
Halo? Halo? Jangan matikan lampu
dulu... Aku mau bicara. Tunggu...Tunggu... Hei. Ceritakan dulu. Ceritakan
kepadaku, apa yang telah “Cewek itu” lakukan “sedari dulu”. Kamu diam. Kini tangisanmu mulai berhenti. Pandanganmu kosong. Sudah kuduga, kau
tak akan mendengarnya. Kau beranjak dari tempat tidur... dan pet! Mematikan lampu.
salep kutil kelamin
ReplyDeletesalep kutil kelamin
obat kutil kelamin
obat kutil kelamin jawa
ReplyDeleteobat penyakit kutil
obat kutil kelamin de nature
obat kutil kelamin di tokopedia
obat kutil kelamin di bukalapak
obat kutil kelamin
ReplyDeleteobat penyakit kutil kelamin
obat kutil kelamin de nature
paket obat kutil kelamin de nature
obat kutil kelamin