Problematika Ruang Publik; Disfungsi Etika dalam Penerapan Komunikasi Massa
Dalam melibatkan
masyarakat warga dalam sebuah sistem, tentunya ruang publik adalah salah satu
komponen yang harus ada dalam masyarakat warga. Apalagi dengan sistem
pemerintahan demokrasi yang diterapkan oleh suatu negara. Dalam hal ini
masyarakat warga atau publik berhak memiliki ruang untuk berekspresi,
menyampaikan pendapat, dan berserikat. Sebetulnya, ketika kita menyoal tentang
ruang publik, ada banyak konsep yang perlu ditinjau untuk memahaminya. Dalam
hal ini, ruang publik yang akan dibahas di sini adalah ruang publik dalam
konteks media massa.
Sebelum membahas keterkaitan antara
ruang publik dan media massa, kita perlu memahami beberapa konsep tentang ruang
publik yang digagas oleh para filsuf. Konsep yang ruang publik yang akan
dibahas di sini adalah konsep yang diutarakan oleh seorang filsuf Jerman, yaitu
Jurgen Habermas. Mengutip apa yang telah
dimaklumatkan oleh Habermas, ruang publik adalah sebagai berikut: a domain of our social life where such a
thing as public opinion can be formed (where) citizens…deal with matters of
general interest without being subject to coercion…(to express and publicize
their views)[1]
Jürgen Habermas menjelaskan
konsep ‘ruang publik’ sebagai ruang yang mandiri dan terpisah dari negara (state) dan pasar (market). Ruang publik memastikan bahwa setiap warga negara memilik
akses untuk menjadi pengusung opini publik. Opini publik ini berperan untuk
memengaruhi, termasuk secara informal, perilaku-perilaku yang ada dalam ‘ruang’
negara dan pasar. Konsep ruang publik diambil dari sejarah ruang publik kaum
borjuis di Jerman pada abad delapan belas.[2]
Ketika berbicara mengenai ruang
publik dalam konteks media massa akan berbeda dengan konteks yang lain. Dalam
hal ini, ada perbedaan yang signifikan antara public space dan public
sphere. Ashadi Siregar[3]
menjelaskan konsep “public sphere/ruang
publik pada dasarnya suatu kondisi/situasi bertemu dan berinteraksinya publik
dengan negara, berlangsung dalam ruang fisik (public space) dan ruang non fisik/sistem kepublikan (public system)”. Berdasarkan penjelasan
tersebut, ruang publik dalam konteks media massa adalah media massa itu
sendiri. Sedangkan public space
berupa ruang fisik yang meliputi jalan, jembatan, halte, dan lain sebagainya.
Dalam memahami media massa
sebagai ruang publik maka kita dapat menyimpulkan bahwa ruang tersebut adalah
tempat untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Agar lebih mudah memahami konsepsi
media dan ruang publik, Dennis McQuail secara singkat menjelaskan bahwa ruang
publik yang berkaitan dengan media akan mengakibatkan opini publik.
The
conceptual “space” that exist in a society outside the immediate circle of
private life and the walls of enclosed institutions and organizations pursuing
their own (albeit sometimes public) goals. In this space, the possibility
exists for public association and debate leading to the formation of public
opinion and political movements and parties that can hold private interests
accountable. The media are now probably the key institution of the public
sphere, and its “quality” will depend on the quality of media. Taken to
extremes, certain structural tendencies of media, including concentration,
commercialization, and globalization, are harmful to the public sphere.[4]
Ashadi Siregar, dalam Konsep
Etika Publik[5], memaparkan
bahwa media massa berfungsi sebagai penghubung antara fakta sosial dan ruang
publik. Fakta publik, yang bersifat benar dan objektif, menjadi dasar penilaian
opini publik oleh warga secara rasional. Media massa, dalam konteks ini,
menangkap realitas dalam masyarakat, menyaring, dan menyebarluaskannya melalui
pemberitaan. Ia membangun makna publik – sebagian fakta publik yang terdistorsi
sesuai pembingkaian redaksi.
Namun begitu, realitas yang
terjadi saat ini berbeda dengan idealitas yang dipaparkan melalui konsepsi
ruang publik dan media massa. Habermas, sang filsuf yang mengemukakan ide
tentang ruang publik pun meratapi adanya transisi kapitalisme liberal ke
kapitalsime monopoli. Transisi tersebut, menurut Habermas, adalah pemicu
matinya ruang publik yang terjadi saat ini.
Secara sederhana, apa yang dimaksud Habermas saat ini adalah adanya
komersialisasi yang terus-menerus dilakukan oleh media massa dalam medistorsi
ruang publik. Ruang publik yang seharusnya digunakan untuk melanggengkan kesejahteraan
masyarakat warga malah dimanfaatkan sebagai nilai tukar ekonomi yang hanya
dikuasai segelintir orang.
Komersialisasi adalah salah satu
problematika ruang publik yang hingga kini belum dapat diatasi. Selain
komersialisasi, terdapat empat persoalan lagi yang dikemukakan oleh Alan
McKee. McKee[6]
mengidentifikasi permasalahan ruang publik ke dalam lima bagian; trivialisasi (trivialization), komersialisasi (commercialization), tontonan publik (spectacle), fragmentasi publik (fragmentation), dan menyebabkan warga
menjadi apatis (apathy) terhadap
isu-isu publik. Trivialisasi dan komersialisasi menjadi ciri isu yang diangkat
dalam ruang publik, sedangkan tontonan, fragmentasi, dan apatis adalah karakter
publik di abad ke-21. Permasalahan ini, menurut McKee, telah dirasakan oleh
praktisi serta akademisi di bidang jurnalisme. Fenomena ruang publik tersebut
berkaitan erat dengan media massa, dan karenanya berdampak semakin masif
seiring dengan perkembangan media.
Kembali pada persoalan pertama,
yang juga diratapi oleh Habermas, komersialisasi memang menjadi salah satu
problematika ruang publik yang masif tetapi dilakukan dengan bergerilya. Di
Indonesia sendiri, kasus-kasus komersialisasi terjadi begitu saja tanpa ada
kebijakan regulasi yang jelas. Kita dapat menengok beberapa komersialisasi di
ruang publik yang dilakukan oleh beberapa artis dan stasiun televisi swasta. Di
antaranya adalah pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang menyita belasan
jam untuk tayangang live.
Jika menilik dari sejarah,
frekuensi telah dikembalikan kepada publik setelah runtuhnya rezim orde baru. [7]
Dengan semangat demokratisasi, frekuensi yang awalnya dimonopoli oleh negara –
perlahan-lahan dikembalikan kepada publik. Semenjak itu, frekuensi telah
dilegitimasi oleh publik dalam UU. No 32 tahun 2002. Artinya, segala sesuatu
hal yang memanfaatkan frekuensi artinya mempergunakan ruang publik. Dalam hal
ini, pemanfaatan frekuensi tersebut harus berdasarkan kepentingan publik.
Namun, lagi-lagi, apa yang seharusnya terjadi belum benar-benar terjadi.
Menyikapi apa yang terjadi saat ini, komersialisasi oleh berbagai stasiun televisi
tetap gencar dilakukan. Frekuensi memang tidak lagi dikuasai oleh negara. Lebih
dari itu, frekuensi dimonopoli sebagai pangsa pasar yang empuk bagi segelintir
pemilik modal.
Secara tidak sadar,
komersialisasi yang dilakukan oleh media massa saat ini adalah menjual
“ruang-ruang privat” selebriti yang sebetulnya tidak memiliki urgensitas
terhadap kepentingan publik. Dengan dalih jurnalisme infotainment, para pekerja
media mengklaim bahwa pemberitaan mengenai ruang-ruang privat selebritis adalah
salah satu bentuk kegiatan jurnalisme. Padahal jika mengacu pada apa yang
dikatakan oleh Bill Kovach[8],
unsur-unsur jurnalisme meliputi kedekatan, signifikansi, urgensi dan aktual.
Media, dalam hal ini media yang
berorientasi pasar menganggap bahwa khalayak adalah konsumen. Model media pasar
seperti ini melihat keberagaman khalayak sebagai strategi untuk menyasar ceruk
pasar secara demografis. Sebaliknya, model media public sphere melihat khalayak sebagai warga negara yang harus
ditransformasi, diberikan informasi, diberikan pendidikan, dan dihibur. Dapat
dikatakan, khalayak sebagai warga negara harus dilayani agar mampu menjalani
hak-hak dan kewajiban demokratisnya. Namun, adanya komersialisasi – di mana
khalayak adalah konsumen – segmentasi pasar empuk bagi media telah malalaikan
hal tersebut. Dalam hal ini, media pun beranggapan bahwa apa yang diinginkan
oleh khalayak adalah hal-hal yang sebetulnya tidak penting. Misalnya saja infotainment yang terus mengisi
slot-slot jam tayang di stasiun televisi tertentu. Media menganggap bahwa “apa
yang diinginkan oleh publik” adalah sesuatu yang harus mereka penuhi daripada
apa yang mereka butuhkan. Tidak hanya itu, media pun mengkonsepsikan selera
publik – dalam hal ini infotainment.
Pada awalnya, ide dasar
infotainment tidak seperti yang kita temui saat ini. Kita melihat ragam
infotainment di televisi selalu berkaitan dengan pernikahan, perceraian,
perselingkuhan, dan lain sebagainya.
Iswandi Syahputra dalam Jurnalisme Infotainment menjelakan bahwa ide
dasar konsep infotainment berawal dari asumsi informasi kendatai dibuthkan oleh
masyarakat namun tidak dapat diterima begitu saja. Apalagi untuk kepentingan
mengubah sikap negatid menjadi sikap ositif. Karena itu diperlukan secama
pancingan khusus untuk mengambil perhatian masyarakat. Pilihannya adalah dengan
menyusupkan entertainment (hiburan) yang menarik perhatian masyarakat di
tengah-tengah penyampaian information (informasi). Dar sini kemudian muncul
istilahi nfotainment , yaitu kemasan acara yang bersifat informatif namun
dibungkus dan disisipi dengan entertainment untuk menarik perhatian khalayak
sehingga informasi sebagai pesan utamanya dapat diterima.[9]
Namun infotainment hari ini
telah mengalami distorsi makna yang sangat berbeda. Ide ini kemudian digunakan
untuk mengemas skandal para selebritis. Menurut Iswandi, infotainment adalah
salah satu acara televisi yang mampu membuat para penonton betah berlama-lama
untuk menyaksikannya. Dalam hal ini, infotainment disebut-sebut memiliki rating
yang cukup tinggi. Oleh karena itu, beberapa stasiun televisi menempatkan
infotainment dalam banyak slot di prime
time. Sebab, infotainment sebagai salah satu fenomena komersialisasi ruang
publik diduga menarik pengiklan lebih banyak daripada acara yang lain.
Komersialisasi tidak hanya
terjadi pada kegiatan “jurnalisme” infotainment semata. Namun pada beberapa
kegiatan jurnalisme “sungguhan”, komersialisasi juga masih sering terjadi.
Misalnya saja obyektifikasi dan komodifikasi korban-korban tindak asusila yang
diberitakan oleh beberapa media massa.
Pada awal tahun 2015, Yogyakarta digemparkan dengan adanya pemberitaan
mengenai Eka Mayasari yang dibunuh sekaligus diperkosa oleh seorang pengamen.
Berita mengejutkan ini sontak
memenuhi beberapa kolom koran lokal Yogyakarta dan menjadi viral di beberapa
linimasa sosial media. Akan tetapi pemberitaan tentang Eka Mayasari tidak
dilakukan dengan profesional. Apa yang dilakukan oleh para wartawan dalam
memberitakan Eka adalah mengobyektifikasi dirinya sebagai komoditas media.
Foto-foto Eka Mayasari dimuat dan dijadikan bahan berita. Padahal, jika kita
berbicara mengenai profesionalisme, tentunya pembingkaian berita Eka Mayasari
tidak hanya tentang “obyektifikasi” semata. Selain melanggar kode etik
jurnalistik, pemberitaan tentang Eka Mayasari telah menyakiti keluarga korban. Lebih
dari itu, media seharusnya mampu mengkritisi sekaligus mengadvokasi kasus-kasus
tindakan asusila. Namun bukannya demikian, media malah menjadikan Eka Mayasari
sebagai komoditas. Informasi tentang perempuan yang telah meninggal beberapa
bulan lalu hanya dianggap sebagai nilai tukar ekonomi.
Berbicara soal komersialisasi
yang terjadi di media massa, khususnya jurnalisme berarti juga menyinggung
ihwal remeh-temeh yang sering diberitakan. Ketika kita menyoal infotainment,
sebetulnya kita sedang membahas mengenai informasi tidak penting yang
disuguhkan untuk masyarakat. Hal ini terkait dengan trivialisasi di ranah
publik. Melihat dua persoalan yang telah dipaparkan sebelumnya, komersialisasi
dan trivialisasi memiliki kaitan yang erat. Dalam pemberitaan selebritis,
ruang-ruang privat dijual demi meraup keuntungan. Padahal, ruang privat adalah
satu hal yang berbeda dari kepentingan publik. Oleh karena itu, dapat
dikonklusikan bahwa ruang privat yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan
publik tersebut merupakan trivialisasi.
Tidak hanya itu, jika mengacu
pada kasus obyektifikasi Eka Mayasari sebagai komoditas media, pemberitaan
mengenai Eka juga termasuk trivialisasi. Sebab media bukannya mengawal kasus
ini dengan mengadvokasi kasus-kasus tindakan asusila malah memberitakan
foto-foto Eka yang diunggah di media sosial. Tentunya, hal tersebut merupakan
trivialisasi karena tidak ada sangkut pautnya dengan pengawalan isu kasus
kekerasan seksual. Hal ini bersifat remeh-temeh dan media massa terkesan tidak
serius dalam menggapai isu kekerasan seksual. Padahal isu ini sendiri masih
dianggap sensitif oleh masyarakat. Namun, media sebagai ruang publik malah
mempermainkan isu ini dengan menjadikan korban sebagai obyek komoditas (komersialisasi).
Dalam hal ini, ketika informasi
publik hanya bersifat “sepele” dan dijadikan nilai tukar rupiah semata,
masyarakat pada akhirnya akan buta terhadap isu-isu yang sedang berkembang. Sebab media yang harusnya
memenuhi kepentingan publik malah hanya mengejar kegiatan ekonominya semata.
Ruang publik yang seharusnya menjadi wadah untuk berkomunikasi, berekspresi,
dan berinteraksi hanya ditonton oleh publik saja. Publik tidak tergerak untuk
mewujudkan informasi yang lebih riil. Sebab, dengan banyaknya problem ruang
publik, ruang itu sudah bukan lagi menjadi milik publik.
Problematika ruang publik yang
terus terjadi saat ini dikarenakan profesionalisme pekerja media yang menurun.
Dari kedua kasus yang telah dipaparkan sebelumnya, jelas bahwa jurnalis tidak
mematuhi kode etik jurnalistik. Selain itu, jurnalis sendiri mendapatkan
tekanan dari pemilik media yang ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
Masih berbicara tentang komersialisasi yang tidak ada habisnya, contoh paling
nyata dapat kita lihat dalam Pemili Presiden tahun 2014 lalu. Informasi yang
disajikan tidak hanya ditukar dengan nilai ekonomi. Lebih dari itu, pemberitaan
yang dilakukan oleh dua stasiun televisi swasta, TV One dan Metro TV adalah
sebuah strategi ekonomi politik.
Pemberitaa mengenei Pilpres
tidak hanya diganjar dengan antusiasme pengiklan. Lebih dari itu, informasi
dikomersialisasikan untuk mendapatkan kekuasaan. Jika kekuasaan telah
didapatkan maka keuntungan ekonomi dari media yang bersangkutan akn lebih
meningkat. Tidak cukup pada problem komersialisasi, pemberitaan mengenai
Pilpres juga menyinggung problem fragmentasi, trivialisasi, spectacle, dan
apati. Dalam hal ini publik terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok pro
Jokowi, pro Prabowo, dan kelompok netral. Dalam hal ini kelompok netral
berperan sebagai pengamat (spectacle) saja. Tidak ada gairah bagi mereka untuk
berkontribusi dan berpartisipasi dalam ruang publik tersebut. Selanjutnya,
sikap publik akan semakin menurun dan acuh terhadap isu-isu yang tengah berkembang
dalam masyarakat. Pada Pilpres tahun lalu, trivialisasi juga seringkali terjadi
dengan adanya pemberitaan “sepele” terkait dengan masing-masing capres dan
cawapres.
Dalam hal ini, kelima problem
yang telah dijabarkan dalam beberapa kasus tersebut terjadi karena kurangnya
profesionalisme kerja. Jika seseorang luput dalam menaati etika profesi yang
dipegangnya, sudah dapat dipastikan profesionalitas yang dimilikinya berkurang.
Kesadaran akan pentingnya informasi bagi publik lenyap begitu saja dikalahkan
oleh kepentingan ekonomi dan politik. Padahal, berdasarkan penjelasan
sebelumnya, jurnalisme berbicara tentang fakta sosial. Jurnalis dan pemilik
media yang bersangkutan seharusnya tahu mengenai hal ini. Akan tetapi jika kita
berbicara mengenai kepatuhan instansi media kepada publi, hasilnya adalah
nihilisme. Apalagi jika menyangkut komersialisme. Sebab, media sebagai instansi
yang juga bergerak dalam bidang bisnis memerlukan sumber penghidupan untuk
melangsungkan “kehidupannya”.
Kelima
problem ruang publik yang masih sering terjadi adalah bentuk pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM). Mengapa begitu? Sebab, apa yang dilakukan media berkaitan
erat dengan kepentingan publik. Jika dibandingkan kepentingan media itu
sendiri, tentu kepentingan publik harus lebih diprioritaskan. Adapun
profesionalitas kerja para pegiat media dipertanggungjawabkan kepada publik.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, media massa adalah miliki publik.
Media penyiaran menggunakan frekuensi milik publik. Profesi jurnalis adalah pekerjaan
yang mengabdikan diri untuk layanan (informasi) masyarakat. Artinya ada
tanggung jawab besar dalam mengemban pengelolaan dan pemanfaatan ruang publik.
Jika kemudian kelima problem ini masih terjadi, sudah dapat dipastikan hal
tersebut merupakan pelanggaran HAM.
Sebab, ketika kita berbicara
mengenai etika profesi media massa dan ruang publik, maka kita akan menyinggung
hak-hak atas informasi dan komunikasi yang seharusnya diberikan kepada publik.
Berdasarkan UUD tahun 19945 pasal 28, masyarakat berhak mendapatkan dan
menyebarkan informasi, bebas berpendapat dan berekspresi, serta berkomunikasi.
Hal-hal tersebut tentunya dilakukan oleh masyarakat di ruang publik, terutama
dalam hak mendapatkan dan menyebarkan informasi. Ketika ruang publik malah lalai
mengakomodasi hak-hak tersebut, media massa dan para pekerja media telah
melanggar HAM. Misalnya saja ketika berbicara mengenai komersialisme.
Media seringkali memandang apa
yang diinginkan oleh masyarakat sebagai komoditas. Mereka melihat bahwa apa yang
diinginkan oleh masyarakat adalah informasi sepele seperti kehidupan artis yang
“skandalnya” selalu dijual kepada pengiklan. Media lebih memprioritaskan
memberikan informasi mengenai kehidupan artis dibandingkan isu yang genting –
isu yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, jelaslah
bahwa media yang melakukan komersialisasi tidak mengedepankan kepentingan
publik dan malah mengeksploitasi publik. Sama juga dengan problem-problem yang
lain: trivialisasi, fragmentasi, apatis, dan spectacle. Problem-problem ini –
jika masih berlangsung di media massa – maka dengan serta-merta akan mencabut
hak-hak masyarakat dalam ihwal komunikasi dan informasi.
DAFTAR PUSTAKA:
Berry, David.
2000. Ethic and Media Culture, Oxford: Focal Press
Fraser, Nancy. 1990. “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of
Actually Existing Democracy” dalam Social Text, No. 25. London: Duke
University Press
Habermas, Jürgen, et. al. 1974. “The Public Sphere: An Encyclopedia Article (1964)” dalam New German
Critique. No. 3. German: New German Critique.
Kovach, Bill dan Tom Rosentiel. 2001. The Elements of
Journalism. New York: Crown Publishing.
Masduki. 2007. Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke
Liberal. Yogyakarta: LkiS
McQuail, Denis. 2010. McQuail’s Mass Communication Theory. Sixth Edition. London: Sage.
McKee, Alan. 2005. The Public Sphere: An Introduction.
Cambridge: Cambridge University Press.
Mulyana, Deddy. 2011.
Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung Rosda.
Syahputra, Iswandi. 2006. Jurnalistik Infotainment:
Kancah Baru Jurnalistik dalam Industri Televisi. Yogyakarta: Nuansa Aksara
Jurnal dan Daring:
Ashadi Siregar. 2008. Konsep Etika Publik. Terarsip pada https://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/10/3_konsep_etikapublik.pdf
. Diakses tanggal 21 Oktober 2015.
Rahayu Ginintasasi. Teori-Teori Komunikasi (Skripsi) terarsip pada
ile.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/195009011981032RAHAYU_GININTASASI/Komunikasi.pdf.
Diakses tanggal 20 Oktober 2015.
Ashadi Siregar. Konsep Public Sphere. Terarsip pada https://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/10/2_konsep_publicsphere.pdf.
Diakses tanggal 24 Oktober 2015.
Stefan Gammel. Ethics and Morality. Terarsip pada http://www.philosophie.tu-darmstadt.de/media/philosophie_nanobuero/pdf_2/ethicsportfolio/ethics_moralitybwnewfont.pdf,
diakses tanggal 20 Oktober 2015
[1] Alan
McKee (2005). The Public Sphere: An
Introduction. Cambridge: Cambridge University Press. Hlm. 4
[2] Habermas, J.
‘The Public Sphere: An Encyclopedia Article (1964)’, New German Critique 3 (Autumn/1974): 49
[3] Ashadi
Siregar. Konsep Public Sphere.
Terarsip pada https://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/10/2_konsep_publicsphere.pdf.
Diakses tanggal 24 Oktober 2015.
[4] Dennis
McQuail. 2010. McQuail’s Mass Communication Theory. Sixth Edition. London:
Sage. Hlm. 569.
[5] Ashadi
Siregar. 2008. Konsep Etika Publik. Terarsip pada https://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/10/3_konsep_etikapublik.pdf.
Diakses tanggal 21 Oktober 2015. Hlm. 2
[6] Alan
McKee (2005). The Public Sphere: An Introduction. Cambridge: Cambridge
University Press. Hlm. 2
[7] Masduki,
Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal (Yogyakarta: Lkis), hlm. 14
[8] Bill
Kovach & Tom dan Tom Rosentiel. 2001. The Elements of Journalism. New York:
Crown Publishing. Hlm 9
[9] Iswandi
Syahputra. 2006. Jurnalistik Infotainment: Kancah Baru Jurnalistik dalam
Industri Televisi. Yogyakarta: Nuansa Aksara: hlm. 69.
Ijin dijadikan referensi untuk tugas kuliah, ya. Terima kasih.
ReplyDeleteIjin untuk dijadikan referensi kak, trimakasih
ReplyDelete