Jalan Padat di Dalam Kepala
“Kok, kamu rumit?” begitu
kira-kira jawabannya atas perbincangan kami yang cukup panjang. Itu adalah
pertama kalinya aku mencurahkan semua isi hatiku. Semua hal yang membuatku muak
dan ingin memuntahkannya – memuntahkan tepat di wajah-wajah orang yang membuatku
terbakar seperti sekam yang terjulur api.
Ia menggeleng-gelengkan
kepalanya. Sekilas menatapku tajam. Ada keraguan yang sama di matanya – sama seperti
laki-laki sebelumnya. “Kamu terlalu rumit,” ujarnya sekali lagi. Kini, dia
menyeruput kopi yang sudah sejak lama dipesan dan hanya nganggur pada sebuah
meja bundar. Semenjak kopi hitam itu hadir di meja itu, ia memang tidak
menyentuhnya sama sekali. Ada lebih dari satu jam dan uap kopi itu menghilang. Sudah
tidak panas. Bahkan, ketika mendengarkanku bercerita, lelaki itu tidak
menyentuh kopinya.
Wajahnya mengernyit. Mungkin
kopinya sudah asam. Mungkin juga dia mulai memandangku dengan jijik. Memandang
pikiranku dengan jijik. Memandang benakku dengan risih. Melihat segala hal
tentangku dengan pandangan jijik. Sebab, katanya, aku terlalu rumit. Seperti
lelaki lainnya, mungkin dia tidak akan pernah bisa memahami hal ini. Tidak akan
pernah bisa.
“Kamu harus berpikir dengan lebih
sederhana,” ujarnya sembari meletakkan kopi pahit itu di atas meja. Ah, aku
benci bagaimana dia menuturkan kata “harus” kepadaku. Seolah-olah ia tahu benar
apa yang harus aku lakukan. Apa yang harus aku lakukan dengan segala kerumitan –
dan juga keharusan yang aku miliki.
“Aku rasa, aku tidak harus. Aku
hanya mengikuti apa yang aku pikirkan,”
“Kamu terlalu rumit,” ia
menegakkan tubuhnya. Menyejajarkan kedua matanya tepat di kepalaku. “Di dalam
sana ada banyak hal yang tidak bisa aku mengerti,”
Aku terkekeh mendengarnya dan ia
terlihat kaget. “Aku pun,” ujarku tersenyum kecil. “Aku pun juga tidak pernah
tahu apa yang ada di dalam kepalaku. Jika kamu berkata aku adalah perempuan
yang rumit, mungkin kamu benar. Dan mungkin kamu akan merasa jijik dengan
seketika. Semua laki-laki juga begitu. Awalnya mereka tersenyum manis. Tetapi,
ketika mendengar semua isi kepalaku. Mereka perlahan pergi,”
“Mungkin kamu benar. Aku rumit.
Kamu pun, dan lelaki-lelaki lainnya juga perempuan – atau siapapun tidak pernah
tahu apa yang berada di dalam sini,” aku menunjuk kepalaku. “Dan... semua
orang, pergi meninggalkanku karena kerumitan yang kumiliki. Merela lantas
pergi, meninggalkanku dengan segala kerumitan ini,”
Lelaki itu tidak berbicara sama
sekali. Sementara aku masih berbicara. “Jika kamu ingin pergi setelah mendengar semua kerumitan yang aku
miliki, aku mempersilakannya. Aku tahu, kamu sudah jijik sejak awal. Sejak aku
bercerita tentang semuanya,”
Lelaki itu masih diam. Sementara
aku berusaha menikmati kopi yang sudah dingin – dan asam. Sungguh, aku menanti
kepergiannya. Aku benar-benar terbiasa sendiri.
“Mungkin aku beruntung,” lelaki
itu akhirnya bersuara. “Sebab, aku tidak akan pergi setelah mendengar
semuanya. Bagaimana jika...” aku melihat
tanganmnya tiba-tiba bergerak – menuju ke atas kepalaku – jari-jemarinya menari
di atasnya. “Mengurainya satu per satu,” ujarnya, seolah-olah baru saja
melepaskan benang kusut yang berhamburan di atas kepalaku.
“Jangan sampai kau menyesal,” dan
aku masih berusaha mengingatkan.
Comments
Post a Comment