Menjadikan Ilmu Pengetahuan sebagai Alat Kekuasaan
via http://cache2.asset-cache.net |
Permasalahan sengketa kepemilikan tanah di Indonesia adalah hal yang sensitif karena menyangkut kepentingan dua belah pihak atau lebih. Biasanya, sengketa kepemilikan tersebut terjadi antara rakyat dan pemerintah atau pemilik modal. Namun jika berkaca pada kasus Parangkusumo, sengketa tanah seolah-olah terjadi di antara rakyat dan akademisi.
Sengketa tanah yang terjadi di Yogyakarta sendiri disebut-sebut berkaitan dengan Sultan Ground (SG) dan Paku Alam Ground (PAG) yang diklaim sebagai salah satu keistimewaan Yogyakarta. Padahal, jika ditilik dari sejarahnya, tanah SG/PAG sudah tidak ada lagi semenjak ditetapkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. Melalui undang-undang ini semua tanah dinasionalisasi menjadi milik negara serta menghapuskan tanah kolonial dan juga tanah feodal.
Puluhan tahun berlalu setelah disahkannya UUPA – pengklaiman hak atas tanah kembali muncul atas dasar SG/PAG. Salah satu kasus klaim kepemilikan tanah yang saat ini terjadi adalah penggusuran warga Parangkusumo untuk revitalisasi gumuk pasir. Peristiwa sengketa tanah ini unik karena secara “kasat mata” yang dilibatkan adalah rakyat dan akademisi.
Akan tetapi, melihat desain futuristik dari revitalisasi gumuk pasir itu, tentu tidak hanya melibatkan akademisi saja. Ada berbagai kepentingan yang menjadikan revitalisasi ini hanya sebagai dalih semata. Revitalisasi gumuk pasir yang ditujukan untuk dunia ilmu pengetahuan adalah dalih penguasaan atas tanah. Sebab, desain revitalisasi yang akan diimplementasikan berbasis pariwisata edukasi. Jika melihat dari sisi ekonomis, jelas bahwa nantinya investor akan berdatangan “meminjam” tanah Sultan untuk menanamkan modal.
Jika memang bertujuan untuk ilmu pengetahuan, seharusnya pemerintah bersama-sama dengan warga melakukan revitalisasi bersama. Sebab, warga lebih memiliki pengalaman sehari-hari dengan fenomena gumuk pasir yang dinamis. Selama puluhan tahun warga menyaksikan sendiri pergerakan aktif gumuk pasir sehingga dengan pengalaman itu mereka mampu memberikan informasi faktual terkait apa saja yang harus dilakukan oleh para ilmuwan. Namun, warga yang telah tinggal bertahun-tahun di tempat tersebut malah diniatkan untuk segera diberangus. Padahal, berdasarkan UUPA, tanah yang telah ditempati secara turun-temurun dapat diklaim sebagai hak milik. Namun, lagi-lagi Pemerintah DIY mengklaim SG/PAG sebagai basis peraturan pertanahan di sana
.
Yogyakarta seolah-olah menjadi negara yang berdiri sendiri dan terpisah dari Indonesia. Sebab, Sultan HB X pernah menyatakan dengan lantang bahwa tidak ada tanah negara di DIY. Dengan dalih perjanjian Giyanti, UUPA diabaikan begitu saja. Padahal alasan pengklaiman tanah atas dasar perjanjian Giyanti sangat tidak masuk akal.
Saat kerajaan Mataram menandatangani perjanjian Giyanti yang membagi Mataram menjadi dua bagian, Belanda meminjamkan hak atas tanah kepada Kesultanan. Jadi, sejak awal berdirinya Kesultanan sebenarnya tidak memiliki hak atas tanah. Ketika Yogyakarta bergabung dengan Republik Indonesia sendiri, Sultan HB IX menginginkan nasionalisasi tanah.
Selain itu, dalam konteks kasus ini, merujuk pada Michel Foucault tentang relasi kekuasaan dan ilmu pengetahuan; “pengetahuan dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik”. Penyelenggaraan kekuasaan secara terus-menerus akan menciptakan entitas pengetahuan. Sebaliknya, penyelenggaraan pengetahuan juga akan menimbulkan efek kekuasaan.
Melihat kasus di Parangkusumo, kita tahu bahwa sebenarnya ilmu pengetahuan mampu untuk membenahi kehidupan masyarakat. Namun, mengutip apa yang dikatakan Rendra, alih-alih menjadi alat pembebasan, ilmu justru menjadi alat penindasan. Seperti pengklaiman tanah yang dilakukan oleh Kesultanan dengan dalih untuk ilmu pengetahuan. Apakah ilmu pengetahuan dan rakyat memang tidak bisa berjalan sinergis?
*] Ditulis sebagai tugas kuliah Produksi Media Cetak untuk rubrik opini buletin Advokasi Agraria, Akar Rumput.
Comments
Post a Comment