Diskusi Pagi Hari
Pagi tadi, sehabis menjadi gelandangan Jakarta, saya mesti kembali dengan rutinitas sehari-hari. Terutama pekerjaan yang telah tersendat-sendat selama berminggu-minggu karena satu dan lain hal. Demi melengkapi pekerjaan itu dan juga menuntaskannya saya kembali mewawancara salah seorang akademisi yang menurut saya mampu memberikan pencerahan dan membuka mata dan telinga saya lebar-lebae. Bagi saya pribadi sih, saya tidak hanya mendapatkan informasi tetapi juga banyak sekali mendapatkan pelajaran. Dibandingkan mewawancara, saya lebih suka menyebutnya sebagai diskusi walau saya lebih banyak diam dan berdialektika sepertinya.
Obrolan kami sangat panjang: kami berdiskusi mulai dari moratorium yang sifatnya hanya politis sampai pada keprihatinan terhadap aktivisme mahasiswa yang mulai surut. Jika menyangkut aktivisme mahasiswa, saya akui bahwa saat ini mahasiswa memang telah terjebak dalam ruang-ruang elit. Entitas mahasiswa menjadi hilang ketika kelompok terpelajar tersebut berjuang dalam ruang-ruang terpisah yang malah menyebabkan kelompok-kelompok elitis. Hal-hal seperti itu kemudian menimbulkan suatu tanda tanya besar; apa yang kini diperjuangkan oleh mahasiswa? Alih-alih melawan, gerakan politik mahasiswa pun lebih cenderung mengarah pada pencitraan, eksistensi, dan berusaha menyedot perhatian massa dengan retorika yang begitu rupawan.
Jika sudah membicarakan soal mahasiswa, saya pribadi berada dalam posisi abu-anu. Sebab, aktivisme pun kini dipahami secara berbeda. Jika dulu berorientasi pada ideologi, kini lebih berorientasi pada intensitas gerakan perlawanan yang dilakukan. Dengan bermodalkan pernyataan di sosial media yang seketika itu juga viral, Mahasiswa-mahasiswa itu langsung disebut sebagai aktivis. Padahal gerakan aktivisme mereka masih tergolong semua karena hanya berada dalam ruang virtual. Sedangkan aksi nyata tidak dilakukan sama sekali. Menanggapi, fenomena seperti ini, yang menjadi guyonan saya adalah; semestinya harus muncul konsep aktivisme baru, yaitu aktivisme digital.
Melihat lesunya aktivisme mahasiswa yang begitu-begitu saja, saya mulai bertanya-tanya, apa gerangan yang menyebabkan hal tersebut? Saya masih berpikiran bahwa mahasiswa lah yang terlalu malas untuk melihat realitas sosial. Mereka lebih memilih belajar di kafe-kafe atau melakukan hal-hal elitis lain daripada membaur dengan realitas. Satu hal yang kemudian memampar saya adalah bahwa kebobrokan aktivisme sekarang dilatarbelakangi oleh kampus. Sistem di Universitas lah yang kemudian menciptakan satu kondisi di mana fokus utama dalam memenuhi entitas sebagai mahasiswa segera teralihkan.
Bicara soal sistem pendidikan, saya pasti langsung sakit hati. Di kampus, obrolan-obrolan renyah dan diskusi semacam ini sangat sulit saya temui. Dengan dalih wawancara, saya bisa mengakses beberapa akademisi yang memiliki perspektif yang begitu cemerlang. Benar-benar berbeda daripada di kelas yang hanya mampu manggut-manggut. Obrolan-obrolan seperti ini memang sangat menyenangkan.
Kalau saya berusaha mengulas ulang kembali perbincangan pagi tadi, rasanya akan ada banyak hal yang harus ditulis. Saya menyebabkan pembicaraan yang begitu mendasar dalam entitas kehidupan manusia. Seperti krisis air akibat pembangunan hotel dan apartemen, pembangunan bandara yang sarat akan kepentingan pribadi, dan lain sebagainya.
Diskusi-diskusi seperti ini harus dilanggengkan agar nalar dan hati kita tidak tumpul. Jika otak digunakan untuk mengkritisi berbagai fenomena, maka hati memiliki fungsi untuk menyentil berbagai krisis dan konflik dengan orang moral dan hati nurani.
Ngomong-ngomong, Perjalanan Jakarta-Yogyakarta yang melelahkan itu terbayar sudah dengan diskusi Pagi tadi. Selama lima hari di Jakarta, sebetulnya obrolan-obrolan seperti yang benar-benar saya rindukan.
Comments
Post a Comment