Kesederhanaan Jalan Buntu

Aku sudah menduganya sejak awal, lelaki itu tak akan bertahan. Sama seperti yang lain, lelaki itu pasti akan pergi, membawa sekotak penyesalan. Aku kira, dia tidak hanya memanggul satu koper penuh penyesalan. Di belakangnya berdiri sebuah truk raksasa yang membawa syair penyesalan itu.

Waktu itu, dia mengatakan bahwa aku adalah seorang yang rumit tetapi dia mengaminkan untuk tetap berada di sampingku. Ia berkata dengan lantang bahwa ia beruntung karena tidak lantas pergi. Berada tepat di sisiku, katanya, ia akan mengurai kerumitan-kerumitan yang serupa benang kusut di atas kepalaku.

“Aku tidak tahan,” katanya. “Kamu benar-benar rumit,” lelaki itu kemudian mengemasi harga dirinya yang telah tercerai berai – tercecer di berbagai sudut ruangan. Beberapa harga diri telah berupa kepingan bahkan serpihan. Namun, ia masih tetap berusaha memungutinya dengan hati-hati dan mengantonginya dalam kantong plastik. Ia masukkan sekumpulan harga diri yang telah retak itu ke dalam kopernya.

“Aku harus pergi,” katanya, tetapi aku tidak berusaha mencegah apalagi meraih kembali tangannya -- agar masuk kembali ke dalam hidupku. Aku sudah cukup senang bahwa ia memutuskan untuk pergi secepat ini. Sebelum semuanya keburu semakin jauh -- semakin rumit. Aku sudah memperingatinya berkali-kali bahwa ia pasti akan menyesal. Nyatanya, hal tersebut benar-benar terjadi. Ia tidak benar-benar mampu bertahan. Ia pasti pergi dan mencari perempuan lain yang penuh dengan kesederhanaan. Aku yakin, sepenuhnya, sebentar lagi ia akan menggandeng seorang perempuan polos dan lugu – yang pandai memasak, juga pandai mengurus perkara rumah.

Kamu tahu? Tidak banyak laki-laki yang mampu mencintai perempuan yang rumit. Kamu tahu? Sedikit sekali dari kaum mereka yang mau memahami perempuan yang rumit. Yang mereka inginkan adalah perempuan sederhana, dengan tabiat dan mimpi yang sederhana. Sungguh, sedikit sekali dari mereka yang mampu mencintai perempuan yang rumit. Sedikit sekali.

Padahal, jika kamu ingin lebih tahu lagi, tidak ada perempuan yang benar-benar sederhana. Mereka semua rumit. Hanya sekadar berpura-pura terlihat sederhana.

Jadi, jangan tanyakan mengapa aku masih sendiri. Bukankah sudah kubilang – dan kamu pun juga mengaminkan bahwa aku adalah seorang yang rumit. Sebelum menyesal dan lantas pergi, tak usahlah menjadi pahlawan – yang mengatakan mampu membantuku mengurai segala kerumitan ini. Tidak perlu tiba-tiba menawarkan diri untuk menjadi pendengar namun lantas nyaris muntah setelah menyimak semua kisah yang rumit. Tidak usah tiba-tiba datang namun kemudian pergi.

Bagiku, toh, semua laki-laki sama saja. Jalan buntu, toh, semua saja, begitu sederhana. Tidak seperti jalan padat yang bercabang-cabang. Jalan buntu, toh, hanya itu saja -- dan mandeg pula.


Untung saja, sama seperti biasanya, aku tetap tidak mempercayai mereka. Syukurlah!

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan