Antitesis Feodalisme

via http://thecripplegate.com



Sewaktu masih kanak-kanak – entah mengapa saya tidak pernah bisa menyukai film dongeng-dongeng kerajaan yang bercerita tentang Raja, Ratu, Putri, Pangeran, dan kisah-kisah sejelmaan lainnya. Mungkin waktu itu saya masih duduk di taman kanak-kanak atau sekolah dasar, tetapi setiap kali disodori film dongeng kerajaan; saya menolak menonton. Terkadang, jika terpaksa, saya akan lebih banyak melakukan kegiatan lain daripada terpana menontonnya. Saya tidak tahu, mengapa saya begitu tak menyukai cerita fairy tale. Dibandingkan teman perempuan saya yang lainnya, mereka begitu menggemari cerita tentang kehidupan princess yang perfect dan selalu protagonis.

Saya malah menyuarakan antitesis terhadap cerita-cerita itu. Saya ndak suka cerita princess-princess terutama jika ada bagian sistem kerajaannya. Film-film seperti itu tidak membuat saya senang dan terpana. Film itu malah membaut saya muak. Dan ketika sudah dewasa, saya menemukan alasan yang tepat mengapa saya tidak menyukai film-film seperti itu bahkan ketika saya masih sangat kecil dan tidak tahu apa-apa.

Pertama adalah kontruksi tentang perempuan. Saya jelas tidak suka penggambaran perempuan di cerita-cerita tersebut. Saya juga tidak suka bagaimana kemudian perempuan digambarkan begitu “kuat” atas dorongan cinta kepada laki-laki. Dan laki-laki terlihat begitu menye-menye. Atau bahwa nasib perempuan terletak pada tangan laki-laki seperti cerita Putri Salju maupun Sleeping Beauty.

Persoalan kedua adalah; ternyata sedari dalam pikiran saya sudah sangat membenci feodalisme (sistem pemerintahan kerajaan). Entah mengapa saya tidak suka dengan sistem pemerintahan yang menganut paham feodalisme di mana kekuasaan ditumpukan pada satu keluarga; satu keturunanan pada seorang keluarga bangsawan. Mereka memiliki hak atas tanah yang luasnya berhektar-hektar tanah dan selalu meminta upeti di atas keserakahan yang tidak terkendali. Selain itu, perebutan kekuasaan antara saudara adalah satu hal yang membuat saya miris. Ada banyak kemunafikan yang akan memunculkan pertumpahan darah saudara kandungnya sendiri.

Satu hal yang membuat saya tambah menyuarakan antitesis terhadap feodalisme karena tiga unsur penting yang melekat di dalamya.

           Unsur Penting dari sistem feodal ialah lord, vassal, dan fief. Vassal adalah bawahan terdekat dari lord , dengan pernyataan kesetiaan dan memberikan penghormatan (hotnage). Mungkin ia mendapat atau tidak mendapat suatu fief, yaitu penggunaan suatu barang berharga, biasanya tanah beserta petani-petaninya. Pada umumnya vassal menyatakan janji kesetiaan dengan berlutut di hadapan Lord meletakkan tangan pada kedua tangan lord, dan memberikan penghormatan dengan upeti bahan makanan atau pakaian. Hubungan antara lord dan vassal ini membentuk dasar struktur politik di Eropa Barat pada Zaman Pertengahan. (Kuntowijoyo dalam dalam Peran Borjuasi dalam Transformasi Eropa hal. 32)


Penghormatan, penghambaan yang terlalu berlebihan kepada manusia adalah suatu hal konyol yang dilakukan oleh seseorang. Beruntung, saya tidak hidup di zaman feodal (walaupun mesti mampir ke kota feodal untuk nguliyah). Jika dan hanya jika saya hidup di zaman seperti itu, mungkin saya adalah salah satu dari sekian banyak pemberontak yang menginginkan reformasi dan pencopotan sistem pemerintahan serta jabatan. Tidak peduli apa itu darah biru yang dielu-elukan sebagai julukan para bangsawan. Yang jelas, yang memiliki darah biru (secara harafiah) hanya serangga semata. 

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan