Dalam Perjalanan
via http://10-themes.com |
Dalam perjalanan lusa kemarin,
aku memikirkan banyak hal. Aku berkendara di jalan tetapi pikiranku juga
menjelajah ke tempat-tempat lain. Ada banyak sekali yang aku pikirkan. Salah
satunya adalah rencana-rencana selepas kuliah. Maklum saja, tahun ini, dengan
sangat percaya diri, aku mendeklarasikan bahwa tahun ini adalah tahun
terakhirku kuliah. Yap, semoga saja. Aku tidak ingin terlalu lama kuliah dan
menghabiskan banyak uang hanya untuk menyetor besaran nominal yang selalu
mencengangkan teller bank.
Aku ingin sekali cepat lulus –
tetapi aku sendiri masih bingung tentang rencana sehabis kuliah. Semestinya ada
banyak hal yang bisa aku lakukan. Tetapi, aku berusaha mencari satu tujuan dan
benar-benar fokus di dalamnya. Aku sendiri – tiap kali ditanya mau kemana
setelah kuliah hanya bisa cengengas-cengeges tidak jelas. Entahlah, aku muak
dengan kampus tetapi kadang aku menyadari bahwa dunia kampus adalah
dunia-yang-enak bagi orang sepertiku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana
nanti jika aku mesti terjun ke dalam dunia kerja dengan rutinitas yang begitu
tetap dan sangat-teramat membosankan. Aku menjerit pilu menginginkan kebebasan.
Tetapi, aku sadar bahwa aku tak mungkin bebas. Selama aku masih menjejakkan
kaki di bumi, kebeasan adalah semu. Dan selama takdirku adalah manusia – bukan Tuhan,
maka aku memang tak memiliki kebebasan absolut di dunia ini.
Jika aku sudah berada pada tahap
kebingungan seperti ini aku pasti bertanya kepada salah seorang teman yang juga
mengambil jurusan yang sama denganku. Sebut saja namanya Mas Ipin. Setiap kali
aku bertanya kepadanya mau ngapain habis lulus. Bliyo dengan mantap menjawab, “Rabi
lah!”. Aku bengong sebentar sembari memikirkan ucapan Mas Ipin. Buatku –
menikah adalah urusan yang begitu panjang. Ada berbagai hal yang mesti dilalui
untuk berada dalam tahap menikah. Dan menikah – jujur saja – bukan salah satu
rencanaku selepas kuliah.
Dalam perjalanan kemarin aku
berpikir dengan keras. Apa yang mesti aku lakukan setelah lulus? Aku tidak
ingin menjadi kosong ketika lulus. Aku harus memiliki sesuatu agar mampu
bersaing dengan yang lain. Aku harus menunjukkan bahwa aku memiliki nilai yang
berharga dalam kehidupan. Tetapi, sayangnya, portofolio yang kumiliki adalah
kosong. Ini tahun terakhir kuliah. Artinya, ini kesempatan terakhirku untuk
menghimpun keterampilan agar bisa memiliki nilai lebih selepaas kuliah nanti.
Entahlah, perjalanan pulang menuju Magelang kemarin membuatku berpikir keras
tentang apa yang tengah aku lakukan saat ini. Mungkin didasari sakit hati
karena sering ditolak oleh para intelektual kampus, aku jadi merasa semakin
minder.
Dalam perjalanan kemarin aku
berpikir dengan keras. Apa yang mesti aku lakukan setelah lulus? Sementara,
selama dua setengah tahun terakhir kuliah – aku merasa kosong. Benar-benar
kosong. Kuliah-kampus-tugas adalah rutinitas yang membuatku memutar bola mata
berkali-kali. Sebuah kebosanan yang tiada hentinya. Seolah-olah ada hal yang
semestinya bisa aku lakukan selain berangkat ke kampus, mendengarkan kuliah
dosen, dan mengerjakan tugas-tugas kampus yang kadang tidak pernah ada
habisnya. Aku yakin bekerja akan jauh lebih membosankan. Tetapi, setidaknya aku
akan mendapatkan uang. Walaupun, yah, semua hal itu terdengar sangat
membosankan.
Selama dua setengah tahun ini –
aku berusaha mencari penyebab kekosongan itu. Oh, ada satu hal yang aku sadari.
Selama duabelas tahun sekolah dan juga dua setengah tahun kuliah aku tidak
mendapatkan pelajaran yang menurutku penting. Pelajaran itu adalah pelajaran
menjadi manusia. Selama ini, baik di ruang kelas maupun di sudut-sudut sekolah
dan kampus aku tidak pernah mendapatkannya. Aku hanya diajarkan bagaimana
menjadi orang – menjadi orang cerdas, orang kaya, orang sukses, dan
orang-orangan yang lain. Aku tidak pernah diajari bagaimana menjadi manusia –
ya, manusia yang sesungguhnya. Semua itu benar-benar membuatku merasa sakit
hati dengan institusi bernama sekolah dan universitas. Apa yang aku cari selama
belasan tahun ternyata tidak kutemukan di kedua tempat itu. Mereka semua
berhasil membuatku lupa menjadi manusia. Ah! Dan, dua tempat itu benar-benar
membuatku sakit hati selama belasan tahun. Semua orang di sana serupa produk
yang diproduksi setiap tahun berdasarkan kriteria pasar.
Dalam perjalanan kemarin, mencoba
memutar ulang semua hal yang pernah aku lakukan. Sistem pendidikan di negara
ini membuatku menjadi sekadar komoditas yang mesti bersaing dengan komoditas
yang lain. Aku sempat berpikir tentang dunia kerja dan bagaimana bertahan di dalamnya. Apa yang aku pikirkan dalam
setengah perjalanan pulang ke Magelang kemarin adalah tentang apa yang aku
miliki. Aku mencoba mengorek-orek porto folio yang aku miliki. Dan, ya, dapat
dikatakan aku bukan siapa-siapa.
Tetapi kemudian, di tigaperempat
perjalanan aku menyadari satu hal penting. Tujuanku menempuh pendidikan adalah
agar aku menjadi seorang manusia yang utuh. Bukan sekadar menjadi orang – orang
kaya, orang sukses, orang pintar, dan orang-orangan yang lain. Entitas penting
yang harus aku temukan dalam hidup ini adalah menjadi manuisa. Ya, menjadi
manusia yang utuh dan sebenar-benarnya. Tahun 2016 ini adalah tahun terakhirku
kuliah. Aku hanya berharap, aku tidak benar-benar lupa menjadi manusia. Ngomong-ngomong
kerisauan soal dunia-selepas-kuliah jadi hilang. Lenyap begitu saja. Kerisauan
berganti – bagaimana menjadi manusia; padahal selama ini tidak pernah ada yang
mengajariku?
Comments
Post a Comment