Teman Dekat
via http://www.khalsacounselingvirginia.com/ |
“Ibuk punya teman dekat?” tanyaku
tiba-tiba ketika kami berdua sedang makan malam. Ibu masih hikmat mengunyah.
Sedangkan aku sendiri tidak mengerti kenapa pertanyaan seperti itu tiba-tiba
terlontar. Mungkin aku hanya berusaha mengenali Ibu setelah selama duapuluh
tahun lebih Ibu mengenalku dengan baik tetapi tidak dengan sebaliknya. Aku jadi
penasaran dengan teman-teman dekat Ibu. Tetapi, aku juga menyadari bahwa
pertanyaan ini keluar begitu saja karena
akhir-akhir ini aku merasa tidak terlalu membutuhkan teman dekat. Bisa
dikatakan juga, aku sedang kehilangan teman-teman dekatku. Entah karena ruang,
jarak, waktu, dan berbagai hal lainnya. Aku merasa bahwa “teman” menjadi
sesuatu hal yang semu.
“Buk, Ibu punya teman dekat?” aku
bertanya sekali lagi.
“Tidak.” Jawab Ibuk singkat. “Lho,
kok begitu?” protesku. Aku merasa bahwa Ibu seharusnya menceritakan teman-teman
dekatnya. Ibu seharusnya memiliki teman dekat. Tetapi Ibu menjawab dengan
singkat bahwa Ibu tidak memilikinya. Bagaimana bisa? Bukankah Ibu sudah hidup
lama dan bertemu dengan banyak orang? Aku yakin Ibu juga menjalani hidup sama
sepertiku. Berteman dengan siapapun. Berteman dengan orang-orang yang berbeda
setiap fasenya.
“Ya, ada… tetapi sudah meninggal.
Satunya lagi di Kalimantan,”
“Ibu tidak pernah bertemu mereka
lagi? Maksudku yang di Kalimatan itu?”
“Tidak.”
“Ibu tidak pernah reuni?”
Tidak,”
“Ibu tidak kangen?”
Dan untuk kesekian kalinya Ibu
tetap menjawab dengan hal yang sama. Aku hendak protes karena kupikir
sebenarnya Ibu seharusnya memiliki seorang teman dekat. Tetapi, aku baru sadar –
di usia Ibu yang mencapai kepala enam – tentu Ibu bertemu dengan banyak orang.
Aku yakin Ibu pasti memiliki seorang atau dua orang teman dekat. Tetapi, jarak,
ruang, dan waktu serta keluarga masing-masing telah memberikan sekat yang tebal
untuk sebait pertemuan.
Selama ini, aku tidak pernah
melihat Ibu bermain dengan teman-temannya. Ibu hanya srawung dengan para tetangga dan bercanda dengan teman-teman
kerjanya. Tetapi Ibu tidak pernah memiliki teman dekat yang sudah lama sekali
berteman dengannya – yang ia kenalkan padaku, dan ia kenalkan pada anak-anaknya
yang lain. Aku sungguh penasaran bagaimana pola pertemanan Ibu. Tetapi, Ibu,
dengan semua hal sederhana sekaligus rumit yang disimpannya tidak pernah
mengatakan apapun tentang teman-temannya. Hanya teman-teman kerja. Selebihnya,
aku tidak tahu.
Ibu hanya pernah sekali bercerita
tentang masa kecilnya bersama anak-anak lain di desa Ngabean, Wonosobo. Waktu
itu, satu-satunya hiburan di pedesaan adalah pementasan wayang orang. Ibu dan
teman-temannya yang lain mengendap-endap kabur dari rumah untuk menonton
pertunjukkan itu. Mereka melewati sebuah jalan setapak yang begitu gelap di
sebelah pekuburan. Hanya itu satu-satunya jalan yang bisa lewati agar bisa
menghindari orang tua mereka. Ibu menunjukkan jalan setapak itu ketika kami
berziarah ke makam Kakek yang belum pernah kutemui. Ibu memperlihatkan jalan
setapak itu yang katanya masih memiliki rupa yang sama. Kata Ibu, tempat itu
sangat gelap ketika malam hari. Ibu dan teman-temannya membawa obor untuk
penerangan. Dan Ibu bercerita mereka bergandengan tangan sewaktu menyusuri
jalan setapak itu agar tidak ada yang hilang. Cerita mistis tentu masih kekal
di zaman itu – juga sampai sekarang.
Hanya nukilan itu saja yang aku
tahu tentang kisah pertemanan Ibu. Selebihnya aku tidak tahu. Padahal aku
pernah membayangkan bahwa kelak aku dan teman-temanku akan saling berkunjung
sembari membawa anak-anak kami. Anak-anak kami juga akan berteman sama seperti
aku dan teman-temanku. Sayangnya, Ibu tidak begitu.
Mungkin karena setelah menikah
Ibu terlalu fokus bekerja dan mengurus anak-anaknya – teman Ibu hanyalah anak
dan suaminya alias Bapak. Aku pun jadi menyadari suatu hal – seawet apapun
suatu persahabatan toh mereka bukan sebuah relasi yang kekal. Terdapat kenangan
tetapi tidak ada tempat untuk menyentuh kembali kenangan-kenangan itu. Setiap
hari, setiap saat, aku bertemu dengan banyak orang. Di antara mereka aku
mencoba memahami lebih dekat. Di antara mereka pula kami menjalin relasi yang
begitu akrab. Pada akhirnya, seakrab apapun, yang namanya perpisahan adalah
epilog dari pertemuan. Dan perpisahan itu pun akan membentuk jarak yang terlalu
lapang. Hingga pada akhirnya, ketika semua orang telah sibuk dengan
kehidupannya masing-masing --- sudah tak ada lagi waktu untuk saling
mengunjungi.
Terkadang, aku pun membayangkan;
apakah suatu saat aku masih bisa bertemu dengan teman-teman dekatku lagi?
Satu hal yang kemudian mesti aku
pahami dengan baik adalah; aku harus memiliki seorang teman dekat yang tidak
akan pergi begitu saja. Aku harus memiliki seorang teman dekat walaupun hanya sekadar untuk membincangkan hal-hal remeh-temeh -- mengusir sepi dan sunyi. Aku harus memiliki seorang teman dekat yang di kala
senja bisa aku ajak berbincang-bincang; mungkin tentang secuil kue yang dimakan
semut-semut merah atau kucing yang mencuri ikan asing siang tadi. Mungkin teman-teman
dekat itu adalah anak-anakku kelak. Tetapi, tidak. Mereka pun tidak abadi. Pada
waktunya mereka akan pergi. Mereka akan memiliki kehidupan sendiri yang tak mungkin bisa mereka bagi padaku.
Dan pada akhirnya satu-satunya
teman dekat yang akan terus menemaniku adalah teman hidup bukan? Satu-satunya
teman yang selalu ada. Satu-satunya teman sejati. Satu-satunya teman yang tidak memiliki kehidupannya sendiri. Sebab, kehidupan kami akan selalu sama. Dan akan ada banyak hal dibagi di dalamnya. Aku jadi berpikir; kini
teman-teman dekatku – satu persatu telah beranjak. Mereka perlahan pergi dan
mungkin tak akan kembali. Mereka telah sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing.
Kelak, ketika mereka sudah berkeluarga – kehidupan akan lebih jauh berbeda
lagi. Pertemuan-pertemuan yang menyenangkan akan semakin jarang terjadi. Sebab,
mereka pun sudah memiliki teman dekat yang hakiki. Sebab, mereka telah sibuk
menjalani hari-hari sebagai sosok yang “berbeda” dengan kehidupan mereka.
Beberapa orang mungkin masih
saling berkunjung, tetapi tidak akan lebih sering daripada dulu. Kesibukan dan fokus
utama hidup menjadi salah satu penyebab. Terkadang dari hamparan usia yang kita
miliki, kita pun perlahan memberikan pola dan label. Ada teman SD, SMP, SMA,
teman dekat, sahabat, teman kerja, dan teman-teman yang lain. Tergantung fase,
tergantung tanggal bertemu. Tapi, tetap
saja teman menjadi satu hal yang tidak
bisa benar-benar abadi. Sebab, sebenar-benarnya teman adalah mereka yang menghidupi satu ruang yang sama dan berbagi banyak hal di dalamnya. Sedangkan teman-teman itu? Mereka memiliki kehidupan sendiri. Dan tidak selamanya semua hal dapat dibagi begitu saja. Ada batas. Ada sekat.
Sadarkah bahwa selama hidup kita
selalu berganti-ganti teman? Sesuai dengan posisi dan kondisi yang kita
miliki. Mereka pun kelak akan memiliki kehidupannya sendiri sehingga tidak akan
lebih sering berbagai banyak hal denganmu. Mungkin kita
harus memiliki seorang teman dekat yang membagi kehidupannya dengan kita. Satu
kehidupan dengan dua isi kepala dirinya. Sebidang tanah dengan dua pasang kaki
yang berpijak di atasnya. Seorang teman dekat yang berbagi banyak hal dalam
ruang kehidupan yang sama. Kehidupan yang sama. Satu kehidupan. Ruang hidup
yang sama – dan bukan kehidupan masing-masing. Tetapi, orang-orang itu – yang berteman
begitu dekat – memiliki satu kepala – satu ruang – yang diisi bersama-sama –
dibagi bersama. Sehingga, tak ada satu pun yang berkehendak saling
meninggalkan. Sebab, di sanalah
kehidupan itu terjadi. Tidak ada kehidupan masing-masing. Sehingga satu-satunya
kehidupan yang mesti dihidupi hanya satu ruang itu saja. Tidak seperti
pertemanan lain yang kemudian lupa untuk saling menatap karena kehidupan
masing-masing yang menyedot seluruh perhatian mereka.
Aku jadi berpikir; mungkin sudah
saatnya mencari teman dekat. Sebaik-baiknya teman dekat. Sebenar-benarnya teman
hidup. Seseorang yang mencintai dan dicintaimu olehmu. Apa saja! Teman dekatmu –
teman hidupmu – boleh apa saja!
Dan tiba-tiba aku menyadari... mungkin satu-satunya teman dekat Ibu adalah Bapak.
Dan tiba-tiba aku menyadari... mungkin satu-satunya teman dekat Ibu adalah Bapak.
Comments
Post a Comment