Ibuk,
Ibuk,
Siang itu aku pulang dengan wajah
merah dan mata sembab. Aku berlari menuju rumah sembari menyeka hidung dan
wajah. Sesampainya di rumah aku langsung menerjang Ibu dan bercerita kepadanya
bahwa seorang teman – anak tetangga sebelah mengejekku pongkreng. Pongkreng
adalah sebutan atau julukan untuk anak-anak yang berbadan kurus. Temanku itu
mendapat istilah dari ibunya. Ibunyalah yang menyarakan ejekan itu kepada
temanku.
Beberapa waktu yang lalu kami memang
bermain bersama. Seperti biasa, dia bermain curang dan senang merebut
mainan-mainan milikku. Aku kesal dan memarahinya. Aku juga mencoba merebut
kembali mainanku. Tetapi dengan berderai-derai air mata ia pulang ke rumah dan
mengadu pada Ibunya. Dua hari kemudian kami bermain seperti biasa. Dia curang
lagi dan membuatku kesal. Kemudian dia tiba-tiba mengejekku. “Dasar bocah pongkreng! Jarene Ibukku, kowe
pongkreng,” semua teman disitu jadi ikut-ikutan mengejekku Pongkreng karena
tubuhku memang kecil dan kurus.
Tidak tahan berada dalam situasi
riuh yang menjengkelkan aku pulang ke rumah dan bercerita pada Ibu. “Buk, aku
diejek Pongkreng sama (sembari menunjuk rumah sebelah). Ibunya yang nyuruh
temenku manggil aku begitu,” Ibu terdiam sebentar. Sebetulnya, apa yang aku
lakukan saat itu bukan hanya untuk mengadu pada Ibuk bahwa salah satu temanku
begitu nakal dan menjengkelkan. Lebih dari itu, aku sebenarnya ingin tahu
bagaimana reaksi Ibuk. Aku ingin tahu bagaimana tanggapan Ibu. Apakah Ibu juga
akan melakukan hal yang sama seperti Ibu temanku yang mengjengkelkan itu?
Temanku yang mengadu pada Ibunya itu kemudian disuruh sang Ibu untuk mengejekku
Pongkreng jika sewaktu-waktu kami bertengkar lagi. Ibu temanku menyarankan
julukan “Pongkreng” agar temanku bisa membalas mengejekku. Aku jadi penasaran,
ejekan atau julukan seperti apa yang akan Ibu berikan kepadaku.
“Kalian bertengkar?”
“Dia yang mulai duluan. Dia ambil
mainanku, Buk. Kalau aku ketemu dia, aku harus membalas ejekannya apa, Buk?”
Ibu menghela napas sebentar. Aku
lihat Ibu tampak berpikir keras.
“Ibu temanku menyuruhnya
mengejekku Pongkreng. Aku harus balas apa?” aku mulai mendesak karena aku tidak
sabar ingin membalas temanku. Aku juga ingin pamer bahwa Ibu akan selalu
membelaku dan memberikan berbagai saran untuk membalas kenakalannya. Aku ingin
menunjukkan kepadanya bahwa Ibu juga bisa memberi usul-usul humoris untuk
membalas berbagai ejekannya. Kalau Ibu temanku yang nakal itu bisa menyuruhnya
mengejekku Pongkreng, kenapa Ibuku tidak?
“Mia...” Ibuk berkata lirih. “Kalau
berteman yang baik-baik, ya. Jangan saling mengejek. Jangan saling bertengkar.
Kalau temanmu itu berbuat nakal sama kamu, tidak usah dibalas. Tetaplah berbuat
baik sama temanmu, ya,”
Aku diam. Ibu mengucapkan kalimat
itu mungkin belasan tahun yang lalu ketika aku masih kelas satu SD. Hingga kini,
ucapan Ibuk selalu terngiang di kepalaku. Salah satu hal yang membuatku sadar
bahwa aku tak akan pernah membiarkan orang lain membuatku berbuat tidak baik
atau jahat hanya untuk membalas perbuatan mereka.
Dan satu lagi, aku tahu bahwa Ibu
adalah yang terbaik. Aku menyadari bahwa Ibu bukan orang yang suka mencari
masalah. Aku tahu bahwa Ibu orang yang ikhlas. Dibandingkan Ibu temanku yang
malah mengajari anaknya berbuat tidak baik seperti balas mengejek, Ibu
mengajarkan aku tentang kebaikan. Ibu mengajarkan aku untuk tetap berbuat baik bagaimana pun kondisinya..
Ibu tidak seperti ibu temanku yang malah mengajarkan anaknya untuk membalas
dendam. Ibu bukan orang seperti itu. Aku tahu Ibu berbeda. Aku tahu reaksi Ibu
akan berbeda. Aku bersyukur memiliki Ibu seperti beliau. Aku senang bahwa reaksi Ibu tidak sama dengan Ibu temanku. Kini, aku mampu membanggakan hal lain. Aku mungkin tidak bisa membalas ejekan temanku. Tetapi, aku menuai kebaikan yang akan akan aku terapkan sepanjang hayat.
Ah, Ibuk,
Comments
Post a Comment