Perubahan Tatanan Sosial dalam Hunian Vertikal

via http://www.pakuwonindah.com


Salah satu solusi kepadatan penduduk yang saat ini dicanangkan oleh Pemerintah DIY adalah hunian vertikal. Ruang yang semakin padat dan sesak tidak memungkinkan lagi untuk membangun rumah-rumah baru dengan pola vertikal. Oleh sebab itu, untuk menghemat ruang yang semakin sempit, pembangunan hunian vertikal dianggap menjadi solusi.

Dalam hal ini, terdapat dua jenis hunian vertikal yang tengah marak dibangun di Yogyakarta, yaitu rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) dan apartemen. Kedua bangunan ini sama-sama hunian vertikal tetapi diperuntukkan untuk kelas yang berbeda. Rusunawa diperuntukkan bagi orang-orang kelas menengah ke bawah. Sedangkan apartemen diperuntukkan bagi mereka yang berada di kelas-kelas elite.

Perubahan pola pemukiman yang mulanya vertikal menjadi horisonal tentu mempengaruhi budaya masyarakat. Di Yogyakarta sendiri, masyarakatnya kental dengan budaya srawung (bertegur sapa). Ruang-ruang yang terpisah dan bersekat ini mengubah kultur tersebut karena penghuni bangunan vertikal lebih banyak berada didalam rumah daripada berinteraksi.

Selain itu, pola budaya pada rusunawa dan apartemen tentunya berbeda karena tergantung dengan konteks budaya sosial. Selain memisahkan ruang-ruang publik, rusunawa dan apartemen adalah salah satu contoh pemisahan kelas sosial berdasarkan ruang. Orang-orang dapat dengan mudah mengatakan bahwa penghuni apartemen adalah orang-orang kaya dan elite. Sedangkan mereka yang tinggal di rusunawa adalah orang-orang miskin.

Tatanan sosial ini membentuk gagasan tentang kelas atau elite yang digunakan untuk menunjuk mereka yang memiliki kemampuan melanggengkan hak-hak istimewa (hak-hak privilese). Seperti apa yang dikatakan oleh Weber (1966), antara status sebagai lawan dari kelas, untuk menunjukkan perhatian terhadap perbedaan sosial yang berasal dari cara penggunaan sumber daya ketimbang cara menghasilkannya. Selain itu, Karl Marx juga menyatakan bahwa perubahan social dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi (materialism). Dalam hal ini, produksi yang dimaksud adalah berbagai hunian vertikal terutama apartemen sebagai bisnis properti yang kini didapuk sebagai solusi kepadatan penduduk. Perubahan sosial dan budaya muncul ketika bisnis properti seperti apartemen muncul dengan dalih kepadatan penduduk yang lebih solutif.


Menyikapi adanya perbedaan kelas yang menyebabkan sekat ruang menjadi salah satu contoh social inequality (ketidaksetaraan sosial). Social inequality merupakan kons ep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Dalam hal ini, fenomena hunian vertikal baik rumah susun maupun apartemen mencakup ketiga hal tersebut , yaitu kelas, status, dan kekuasaan. 

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

Kode Etik Profesi dalam Bidang Komunikasi