Etika Komunikasi 2

Bencana dan Luputnya Etika Penyiaran dalam Televisi



Istilah “bad news is a good news” sepertinya ditasbihkan menjadi pedoman utama dalam pemberitaan-pemberitaan yang dipublikasikan oleh media, khususnya televisi. Dalam hal ini, perkembangan teknologi menjadikan televisi sebagai salah satu sumber informasi yang lebih dimanfaatkan oleh masyarakat dibandingkan media cetak. Selain gratis, televisi juga memberikan gambaran informasi yang lebih konkret karena disertai dengan audio visual. Tidak hanya itu, dari segi kecepatan dan aktualitas, televisi tentunya lebih mumpuni dan fleksibel dibandingkan media cetak. Sebab, media cetak harus menempuh berbagai tahap agar bisa sampai ke tangan masyarakatnya.
            Sebagai salah satu sumber informasi, media siaran atau televisi tentunya memiliki peran vital dalam menyediakan informasi bagi masyarakat. Apalagi di masa modern saat ini di mana masyarakat begitu haus akan informasi. Sebagai media siaran, berbagai hal pun tidak luput dari pemberitaan televisi, terutama pemberitaan mengenai bencana. Dalam satu dekade terakhir ini, berbagai peristiwa bencana, baik bencana alam maupun bencana yang diakibatkan oleh tangan-tangan manusia terus terjadi di Indonesia.


            Bencana dalam hal ini memiliki pemaknaan yang beragam bagi masyarakat. Ketika orang-orang mendengar kata “bencana” rasa ketakutan, kekhawatiran, dan kepanikan pun muncul dalam sekejap. Sekalipun bencana tersebut tidak terjadi di tempat tinggal mereka. Namun, hal tersebut tentunya memantik masyarakat untuk mencari tahu apa yang terjadi di luar sana.  Bagi media sendiri, bencana adalah suatu peristiwa besar yang wajib untuk diliput. Kita dapat melihat bahwa media televisi berupaya berlomba-lomba menyajikan informasi teraktual serta paling berbeda yang akan disuguhkan untuk masyarakat. Terkadang, pemberitaan dalam televisi pun merupakan keinginan masyarakat atau bahkan “pesanan” pihak-pihak tertentu.
            Namun, ada satu hal yang kemudian menjadi perhatian utama terhadap pewartaan berita bencana dalam media televisi. Selama satu dekade terakhir, selama itu pula bencana di Indonesia terus terjadi, televisi selalu menyorot tentang kesedihan, kesedihan, dan kesedihan. Apa yang disorot oleh televisi ini tidak hanya tentang isak tangis  dan ratapan para korban. Lebih dari itu, televisi juga memperlihatkan mayat-mayat yang bergelimpangan dan darah manusia tanpa sensor. Sepertinya yang terjadi sebelas tahun silam, pasca tsunami aceh terjadi, televisi menyorot mayat korban begitu saja.
            Tidak hanya itu, beberapa waktu lalu saat pesawat Air Asia jatuh, salah satu stasiun televisi di Indonesia menampilkan mayat korban yang tengah mengambang di laut. Korban yang sudah tidak berbusana lengkap itu ditampilkan dan disiarkan oleh televisi dan ditonton oleh jutaan masyarakat Indonesia. Pewartaan bencana yang dilakukan oleh televisi juga seringkali luput dari pemahaman jurnalisme empati.
            Luputnya pewartaan televisi dalam menyertakan jurnalisme empati terjadi pada pemberitaan Banjir di Jakarta pada Februari 2013 silam. Dalam pemberitaan tersebut, wartawan seringkali bertindak tanpa memahami kode etik yang telah ditetapkan. Seperti yang dilakukan oleh para wartawan Metro TV dalam mewartakan berita, mereka menyoroti kesedihan para korban dengan cara yang amat mendramatisasi. Selain itu, para wartawan juga bekerja dengan serampangan. Mungkin para wartawan tersebut memang membingkai berita bencana dengan terus mengekspos kesedihan. Sehingga peliputan yang mereka lakukan hanya sebatas menanyakan perasaan para korban yang ditimpa bencana. Padahal, hal-hal semacam itu sebetulnya memberikan efek trauma bencana yang lebih hebat. Sebab, para korban yang masih merasakan kesedihan atas bencana tersebut merasa semakin tersudutkan dengan pertanyaan-pertanyaan wartawan. Adapun pertanyaan yang dilontarkan oleh para wartawan pun terkesan asal-asalan tanpa memperhatikan aspek psikologis para korban bencana.
            Dalam hal ini, di Indonesia sendiri memiliki etika penyiaran yang harus ditaati. Adapun etika penyiaran tersebut dikolaborasikan dengan kode etik jurnalistik karena siaran yang dilakukan adalah siaran faktual (pemberitaan). Etika penyiaran yang termaktub dalam Undang-Undang Penyiaran No. 32 tahun 2002 adalah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Dalam P3SPS telah dijelaskan bagaimana harus menyiarkan bencana agar tidak menimbulkan ketakutan yang berlebihan dan rasa traumatis pada korban serta penonton.
            Sayangnya, apa yang terjadi saat ini di luar kendali P3SPS tersebut. Dalam pewartaan berita bencana alam banjir yang terjadi di Jakarta pada Februari 2013 terdapat berbagai pelanggaran kode etik penyiaran. Salah satunya adalah pemaksaan yang dilakukan oleh para jurnalis saat mewawancarai korban. Selain itu, beberapa jurnalis Metro TV juga melakukan wawancara dengan anak di bawah umur. Padahal, P3SPS telah merangkum bahwa wawancara terhadap anak di bawah umur, terutama pertanyaan yang di luar jangkauan anak-anak adalah hal yang terlarang. Melihat hal itu, kita tahu bahwa selama bertahun-tahun televisi tidak berkembang dalam mewartakan bencana. Jurnalisme empati yang seharusnya dapat dilakukan untuk mengadvokasi korban malah luput. Etika penyiaran yang menjadi landasan dalam pemberitaan pun seringkali dilakukan. Padahal, ada banyak hal yang dapat disorot oleh televisi (selain kesedihan dan ratapan tentunya). Salah satunya adalah menerapkan pewartaan bencana yang melingkupi advokasi, sebab-akibat, penanggulangan serta pencegahan bencana.

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

Berkunjung ke Rumah Teman