Percakapan Bapak dan Ibuk
Mulanya, dulu, aku memercayai
kebersamaan. Aku percaya bahwa segala sesuatu halnya akan terasa sama sekalipun
dunia telah berubah. Namun aku salah. Segalanya berubah dan aku tidak
menyadarinya. Tidak ada lagi yang sama bahkan tentang diriku sendiri. Ternyata,
semua itu hanya halusinasiku semata. Aku terlalu takut untuk melihat kenyataan
bahwa segalnya tidak sama dan berubah-ubah.
Pun juga tentang kebersamaan,
kesendirian, dan kesepian. Padahal aku sudah merasakannya semenjak menginjak
usia lima tahun. Aku pernah sesekali berpikir bahwa aku merasa sendiri. Tapi
aku hanya berpikir bahwa kesendirian itu akan cepat-cepat ditebus dengan
kehadiran-kehadiran. Walaupun hanya desiran angin yang hadir menemani kesunyian
yang tiada berjeda. Aku berpikir bahwa aku tidak akan lama jika harus merasa
sendiri dan sepi. Tetapi ternyata aku salah. Pada kenyataannya, sejak awal aku
selalu sendiri.
Percakapan Bapak dan Ibuk
beberapa waktu lalu pun menyadarkan aku bahwa hidup adalah fase yang memiliki
dinamika. Berotasi. Berevolusi. Berubah setiap saat dan tidak pernah sama.
Beberapa waktu lalu setelah mengantarkan adikku ke Semarang, Bapak dan Ibuk
yang berada di kursi depan mobil asyik berbincang sendiri tanpa mengindahkan
anak “calon ragilnya” yang duduk anteng di kursi belakang.
Mereka bercakap-cakap tentang
kehidupan, tentang puluhan tahun yang telah mereka alami bersama, dan tentang
anak-anak mereka yang satu per satu telah pergi. Aku pun menyadari bahwa
berbagai hal di dunia tidak pernah ada yang abadi. Juga keluarga, orang tua,
dan ketiga saudariku. Aku sadar bahwa mereka tidak pernah abadi. Pun juga aku.
Dan aku selalu mengelak bahwa keluarga bukanlah abadi. Aku selalu membuang
pikiran bahwa suatu saat satu per satu dari mereka akan menghilang.
Dan pada akhirnya, berkat
percakapan Bapak dan Ibuk waktu itu, aku pun menyadari bahwa hidup hanyalah
tentang fase siapa yang datang dan pergi. Seperti halnya Bapak dan Ibuk. Mereka
bertemu kemudian menikah, mendamba anak dan keturutan. Tetapi pada saatnya,
setelah membesarkan anak-anak mereka dengan susah payah. Mereka pun harus
menyadari bahwa suatu saat harus melepas mereka satu per satu. Sebab, setiap
anak memiliki jalan hidupnya masing-masing.
Tetapi aku sadar, hidup adalah
fase, semua tentang yang datang dan yang pergi. Aku pun memercayai jika tidak
ada keabadian. Mencari keabadian di dunia ini adalah sebuah kedunguan yang
sulit diobati. Dan pada hari itu, ketika Bapak dan Ibuk dan asyik
bercakap-cakap tentang kehidupan, aku pun melihat mereka sebagai manusia biasa.
Manusia biasa yang memaknai kesendirian dan kesepian dengan perspektif mereka
sendiri. Manusia biasa yang sama-sama takut untuk pergi dan ditinggalkan. Ya,
keduanya hanya manusia biasa. Tetapi aku tidak pernah melihat mereka demikian.
Dan rasanya aneh ketika aku menyadari bahwa mereka juga manusia biasa.
Aku selalu menganggap bahwa
Bapak dan Ibuk adalah pahlawan. Mereka kuat dan berani. Tetapi dalam fase
kehidupan mereka, mereka pernah menjadi kecil dan lemah. Mereka pernah
mengalami rasa takut dan menangis sejadi-jadinya. Aku selalu membayangkan
mereka seperti itu. Tetapi tidak pernah sempurna. Di dalam benakku, Bapak dan
Ibuk tetap dua sosok yang kuat.
Walaupun kini aku tengah
berpikir apakah mereka kuat setelah satu per satu anak-anaknya merantau ke kota
seberang. Aku tersenyum kecil ketika Bapak berbicara pada Ibuk bahwa ia tidak
menyangka akan hidup sejauh ini, membesarkan anak-anaknya sejauh ini, dan
kemudian menghadapi situasi ditinggal pergi anak-anaknya. Bapak juga
terus-menerus berbicara bahwa kini rumah hanya tinggal berdua. Rumah hanya
diisi dua kepala seperti saat pertama kali mereka menikah. Sementara keduanya
juga akan pensiun sebentar lagi.
Percakapan Bapak dan Ibuk hari
itu seolah-olah menamparku agar sering-sering pulang ke rumah. Di satu sisi,
aku malah berpikir harus membiarkan mereka berdua saja di rumah. Seolah-olah
memberikan waktu berdua bagi mereka setelah capek mengurus keempat anaknya.
Kembali seperti sedia dulu kala saat belum memiliki anak, mereka kembali
berdua. Hanya berdua.
Aku ingat guyonan Bapak tentang
menjual piring-piring di rumah karena yang menggunakannya hanya tinggal dua
orang. Ibuk hanya menimpali seadanya karena kini memang rumah menjadi sangat
sepi. Hal yang selalu aku ingat adalah ketika keduanya berbicara seolah-olah
hanya tinggal mereka berdua di rumah itu. Di rumah itu, Bapak tiba-tiba ngomong
kalau teman bicaranya hanya Ibuk. Begitu pun sebaliknya, teman bicara Ibuk
hanya Bapak.
Mereka akan bercakap-cakap
berdua di dalam rumah itu dan seterusnya. Pada waktu senja begitu, aku selalu
bertanya-tanya apa yang mereka perbincangkan. Kedua orang tua temanku mendadak
jadi picisan setelah ditinggal kedua anaknya pergi menimba ilmu dan bekerja.
Mereka menghabiskan waktu berdua dan pergi ke tempat yang jauh.
Aku tidak tahu dan belum pernah
merasakannya. Hanya saja, kemudian, aku bertanya-tanya.... Di waktu senja
nanti, siapa yang akan menemaniku bercakap-cakap?
Mungkin itu adalah hakikat
pernikahan. Tidak perlu komitmen muluk-muluk. Tidak perlu percintaan yang penuh
estetika. Mungkin pernikahan adalah perjalanan mencari teman. Rekan
bercakap-cakap di waktu senggang yang tidak lagi sesibuk sewaktu muda. Mungkin
menikah adalah hakikat mencari teman bicara. Dibandingkan harus bercerita pada
angin yang berlalu dan tak pernah terlihat, kenapat tidak bercerita pada orang
yang hidup denganmu selama puluhan tahun? Mungkin menikah adalah perkara
mencari teman untuk bercerita, bercerita tentang kesendirian dan kesepian yang
hanya dapat dirasakan setiap orang tanpa satupun dapat mengetahuinya. Kecuali
Tuhan pastinya. Mungkin begitu percakapan Bapak dan Ibuk. Aku tak akan pernah
tahu apa yang mereka bicarakan. Sebab, memang merekalah yang hanya
mengetahuinya.
Aku hanya dapat mengira-ira
saja. Mungkin mereka bernostalgia tentang masa-masa muda. Atau bisa jadi mereka
membicarakan anak mereka satu per satu dan menilainya. Mungkin sesekali
membicarakan masa-masa sulit yang sudah terlewatkan. Dan... banyak hal. Mereka
bersama selama puluhan tahun. Tentunya ada banyak hal yang mereka lalui
bersama. Senja yang jingga merona mungkin tidak akan memberikan waktu yang
cukup untuk menampung percakapan mereka. Setelah saling menyibukkan diri dengan
urusan masing-masing, mungkin Tuhan memang memberikan waktu pada tiap-tiap
sejoli untuk menjalin percakapan. Berbicara semau-maunya. Ngomong asal dan
tidak ada batas. Hanya mereka berdua. Hanya tentang keduanya.
Aku hanya perlu memastikan
apakah aku membutuhkan teman bicara. Aku hanya perlu bertanya-tanya, jika nanti
aku memiliki teman bicara, percakapan seperti apa yang akan kami lakukan?
Comments
Post a Comment