Percakapan Bapak dan Ibuk


                
http://www.macdonaldlaurier.ca

Mulanya, dulu, aku memercayai kebersamaan. Aku percaya bahwa segala sesuatu halnya akan terasa sama sekalipun dunia telah berubah. Namun aku salah. Segalanya berubah dan aku tidak menyadarinya. Tidak ada lagi yang sama bahkan tentang diriku sendiri. Ternyata, semua itu hanya halusinasiku semata. Aku terlalu takut untuk melihat kenyataan bahwa segalnya tidak sama dan berubah-ubah.

                Pun juga tentang kebersamaan, kesendirian, dan kesepian. Padahal aku sudah merasakannya semenjak menginjak usia lima tahun. Aku pernah sesekali berpikir bahwa aku merasa sendiri. Tapi aku hanya berpikir bahwa kesendirian itu akan cepat-cepat ditebus dengan kehadiran-kehadiran. Walaupun hanya desiran angin yang hadir menemani kesunyian yang tiada berjeda. Aku berpikir bahwa aku tidak akan lama jika harus merasa sendiri dan sepi. Tetapi ternyata aku salah. Pada kenyataannya, sejak awal aku selalu sendiri.


                Percakapan Bapak dan Ibuk beberapa waktu lalu pun menyadarkan aku bahwa hidup adalah fase yang memiliki dinamika. Berotasi. Berevolusi. Berubah setiap saat dan tidak pernah sama. Beberapa waktu lalu setelah mengantarkan adikku ke Semarang, Bapak dan Ibuk yang berada di kursi depan mobil asyik berbincang sendiri tanpa mengindahkan anak “calon ragilnya” yang duduk anteng di kursi belakang.

                Mereka bercakap-cakap tentang kehidupan, tentang puluhan tahun yang telah mereka alami bersama, dan tentang anak-anak mereka yang satu per satu telah pergi. Aku pun menyadari bahwa berbagai hal di dunia tidak pernah ada yang abadi. Juga keluarga, orang tua, dan ketiga saudariku. Aku sadar bahwa mereka tidak pernah abadi. Pun juga aku. Dan aku selalu mengelak bahwa keluarga bukanlah abadi. Aku selalu membuang pikiran bahwa suatu saat satu per satu dari mereka akan menghilang.

                Dan pada akhirnya, berkat percakapan Bapak dan Ibuk waktu itu, aku pun menyadari bahwa hidup hanyalah tentang fase siapa yang datang dan pergi. Seperti halnya Bapak dan Ibuk. Mereka bertemu kemudian menikah, mendamba anak dan keturutan. Tetapi pada saatnya, setelah membesarkan anak-anak mereka dengan susah payah. Mereka pun harus menyadari bahwa suatu saat harus melepas mereka satu per satu. Sebab, setiap anak memiliki jalan hidupnya masing-masing.

                Tetapi aku sadar, hidup adalah fase, semua tentang yang datang dan yang pergi. Aku pun memercayai jika tidak ada keabadian. Mencari keabadian di dunia ini adalah sebuah kedunguan yang sulit diobati. Dan pada hari itu, ketika Bapak dan Ibuk dan asyik bercakap-cakap tentang kehidupan, aku pun melihat mereka sebagai manusia biasa. Manusia biasa yang memaknai kesendirian dan kesepian dengan perspektif mereka sendiri. Manusia biasa yang sama-sama takut untuk pergi dan ditinggalkan. Ya, keduanya hanya manusia biasa. Tetapi aku tidak pernah melihat mereka demikian. Dan rasanya aneh ketika aku menyadari bahwa mereka juga manusia biasa.

                Aku selalu menganggap bahwa Bapak dan Ibuk adalah pahlawan. Mereka kuat dan berani. Tetapi dalam fase kehidupan mereka, mereka pernah menjadi kecil dan lemah. Mereka pernah mengalami rasa takut dan menangis sejadi-jadinya. Aku selalu membayangkan mereka seperti itu. Tetapi tidak pernah sempurna. Di dalam benakku, Bapak dan Ibuk tetap dua sosok yang kuat.

                Walaupun kini aku tengah berpikir apakah mereka kuat setelah satu per satu anak-anaknya merantau ke kota seberang. Aku tersenyum kecil ketika Bapak berbicara pada Ibuk bahwa ia tidak menyangka akan hidup sejauh ini, membesarkan anak-anaknya sejauh ini, dan kemudian menghadapi situasi ditinggal pergi anak-anaknya. Bapak juga terus-menerus berbicara bahwa kini rumah hanya tinggal berdua. Rumah hanya diisi dua kepala seperti saat pertama kali mereka menikah. Sementara keduanya juga akan pensiun sebentar lagi.

                Percakapan Bapak dan Ibuk hari itu seolah-olah menamparku agar sering-sering pulang ke rumah. Di satu sisi, aku malah berpikir harus membiarkan mereka berdua saja di rumah. Seolah-olah memberikan waktu berdua bagi mereka setelah capek mengurus keempat anaknya. Kembali seperti sedia dulu kala saat belum memiliki anak, mereka kembali berdua. Hanya berdua.

                Aku ingat guyonan Bapak tentang menjual piring-piring di rumah karena yang menggunakannya hanya tinggal dua orang. Ibuk hanya menimpali seadanya karena kini memang rumah menjadi sangat sepi. Hal yang selalu aku ingat adalah ketika keduanya berbicara seolah-olah hanya tinggal mereka berdua di rumah itu. Di rumah itu, Bapak tiba-tiba ngomong kalau teman bicaranya hanya Ibuk. Begitu pun sebaliknya, teman bicara Ibuk hanya Bapak.

                Mereka akan bercakap-cakap berdua di dalam rumah itu dan seterusnya. Pada waktu senja begitu, aku selalu bertanya-tanya apa yang mereka perbincangkan. Kedua orang tua temanku mendadak jadi picisan setelah ditinggal kedua anaknya pergi menimba ilmu dan bekerja. Mereka menghabiskan waktu berdua dan pergi ke tempat yang jauh.

                Aku tidak tahu dan belum pernah merasakannya. Hanya saja, kemudian, aku bertanya-tanya.... Di waktu senja nanti, siapa yang akan menemaniku bercakap-cakap?

                Mungkin itu adalah hakikat pernikahan. Tidak perlu komitmen muluk-muluk. Tidak perlu percintaan yang penuh estetika. Mungkin pernikahan adalah perjalanan mencari teman. Rekan bercakap-cakap di waktu senggang yang tidak lagi sesibuk sewaktu muda. Mungkin menikah adalah hakikat mencari teman bicara. Dibandingkan harus bercerita pada angin yang berlalu dan tak pernah terlihat, kenapat tidak bercerita pada orang yang hidup denganmu selama puluhan tahun? Mungkin menikah adalah perkara mencari teman untuk bercerita, bercerita tentang kesendirian dan kesepian yang hanya dapat dirasakan setiap orang tanpa satupun dapat mengetahuinya. Kecuali Tuhan pastinya. Mungkin begitu percakapan Bapak dan Ibuk. Aku tak akan pernah tahu apa yang mereka bicarakan. Sebab, memang merekalah yang hanya mengetahuinya.

                Aku hanya dapat mengira-ira saja. Mungkin mereka bernostalgia tentang masa-masa muda. Atau bisa jadi mereka membicarakan anak mereka satu per satu dan menilainya. Mungkin sesekali membicarakan masa-masa sulit yang sudah terlewatkan. Dan... banyak hal. Mereka bersama selama puluhan tahun. Tentunya ada banyak hal yang mereka lalui bersama. Senja yang jingga merona mungkin tidak akan memberikan waktu yang cukup untuk menampung percakapan mereka. Setelah saling menyibukkan diri dengan urusan masing-masing, mungkin Tuhan memang memberikan waktu pada tiap-tiap sejoli untuk menjalin percakapan. Berbicara semau-maunya. Ngomong asal dan tidak ada batas. Hanya mereka berdua. Hanya tentang keduanya.


                Aku hanya perlu memastikan apakah aku membutuhkan teman bicara. Aku hanya perlu bertanya-tanya, jika nanti aku memiliki teman bicara, percakapan seperti apa yang akan kami lakukan?

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

Berkunjung ke Rumah Teman