Berbagai Problematika dalam Jurnalisme Online: Kebenaran yang Sepotong-Sepotong
Berbicara mengenai kemajuan teknologi, khususnya di
ranah digital maupun internet adalah salah satu aspek kehidupan yang terus berkelanjutan.
Dalam hal ini, kita mengetahui bahwa teknologi terus berkembang seiring dengan
perkembangan zaman dan kebutuhan manusia. Perkembangan dunia digital dan
internet tentunya memberikan efek yang besar bagi kehidupan masyarakat dan gaya
hidup mereka. Perlu diketahui pula, bahwa internet dan dunia digital menyentuh
segala aspek kehidupan manusia mulai dari komunikasi hingga ekomoni dan politik.
Kegiatan jurnalistik juga tidak luput dari pengaruh perkembangan internet dan
dunia digital.
Kita
dapat melihat bahwa saat ini sebagian media cetak telah tergantikan oleh media
online. Apa yang dimaksud “tergantikan” di sini adalah masyarakat cenderung
lebih memilih media online sebagai sumber informasi pertamanya. Hal ini
disebabkan oleh kecepatan media online dalam memberitakan sebuah berita. Selain
itu, dibandingkan media cetak yang harus berlangganan maupun membayar, media
online didapatkan dengan gratis. Adapun hausnya masyarakat terhadap informasi
membuat mereka mencari sendiri informasi yang mereka inginkan melalui internet.
Melihat
fenomena yang saat ini terjadi, tentunya penerapan jurnalisme online tidak
luput dari berbagai persoalan. Jika kita mengulas beberapa waktu yang lalu, ada
banyak kejadian, khususnya konflik antar umat beragama yang diakibatkan oleh
pemberitaan dalam media online. Salah satunya adalah pemberitaan mengenai
pembakaran masjid/mushola di Tolikara. Pemberitaan peristiwa (secara online)
ini serentak membuat “kisruh” di media sosial. Semua orang berkomentar mengenai
konflik tersebut dan menyerukan hal-hal yang memantik pertikaian antar umat
agama.
Hal
yang perlu dicermati dalam pemberitaan peristiwa ini adalah ketiadaan akurasi
yang seharusnya menyertai sebuah karya jurnalistik. Sebagai orang yang
memproduksi konten media (wartawan) seharusnya mengetahui proses pembuatan
karya jurnalistik yang meliputi keseimbangan (balance) dan mencakup berbagai pihak yang terkait (cover both sides). Tentunya dalam
penulisan karya jurnalistik juga disertakan kutipan-kutipan dari narasumber
yang mumpuni.
Akan
tetapi, dalam pemberitaan mengenai Tolikara tersebut tidak disertai narasumber
yang jelas dan mumpuni. Selain itu, tulisan tersebut juga tidak imbang dan
tidak mencakup banyak pihak terkait. Wartawan seolah-olah hanya melihat sebuah
peristiwa dan menuliskannya tanpa verifikasi yang jelas. Dalam hal ini,
wartawan diasumsikan hanya mengejar kecepatan tanpa memperhatikan akurasi dalam
sebuah berita. Artikel berita yang seperti ini tentunya memantik emosi para
pembaca. Melalui kasus artikel pemberitaan Tolikara ini ada satu hal vital yang
perlu dicermati dalam kegiatan jurnalisme online, yaitu adanya ketimpangan
dalam penerapan prinsip-prinsip jurnalisme online.
Melalui
kasus Tolikara ini, kita mengetahui bahwa jurnalisme online “hanya”
mengedepankan kecepatan. Persoalan akurasi dan konfirmasi diselesaikan di
belakang dengan cara menambah tautan berita. Tautan berita tersebut adalah
keberlanjutan dari berita yang sebelumnya. Melihat fenomena jurnalisme online
yang saat ini, para pakar pun menyebutnya sebagai “truth of the making”. Truth
of the making adalah karakter utama dalam media online saat ini. Karakter
tersebut mengedapankan kecepatan dan mengesampingkan akurasi. Maksudnya adalah,
para pegiat jurnalisme online mengutamakan pemberitaan yang cepat terlebih
dahulu. Persoalan akurasi yang mencakup verifikasi dan konfirmasi terhadap
pihak-pihak terkait dilakukan setelah artikel pertama dipublikasikan. Jadi,
satu kasus memiliki beberapa artikel yang saling berkaitan sehingga sebuah
peristiwa diberitakan dengan cara sepotong-sepotong.
Imam
Wahyudi yang merupakan pegiat Dewan Pers mengatakan bahwa fenomena seperti ini
menyalahi kode etik jurnalistik. Para awak berbagai media online menyepelekan
kode etik jurnalistik yang telah menasbihkan akurasi, verifikasi, cover both sides, dan balance dalam pemberitaan. Dengan dalih
adanya keberlanjutan artikel berita yang disertakan dalam tautan artikel
berita, para pegiat media online tersebut meneku-nekuk kode etik jurnalistik.
Dalam
hal ini, persoalan dunia digital dan internet memang selalu berkutat dalam
ranah implementasi kebijakan. Dunia digital dan internet kini memiliki
peraturan yang termaktub dalam perundang-undangan. Namun, ruang virtual yang
tak terjangkau secara nyata tersebut diatur dengan implementasi kebijakan yang
masih konvensional. Artinya, dalam melakukan pengawasan ada berbagai hal yang
luput. Adapun kegiatan jurnalistik yang menerapkan “basis daring” sebagai wadah
semakin merajalela. Tumbuhnya media online tersebut tidak dibarengi dengan
pengawasan yang seimbang.
Secara
keseluruhan, saya pribadi menyimpulkan bahwa kegiatan jurnalistik dalam media
online saat ini ibarat puzle. Dalam hal ini, kebenaran dalam sebuah karya
jurnalistik seharusnya merupakan kebenaran yang utuh. Namun, dalam jurnalisme
online, kebenaran adalah ibarat tubuh yang terpotong-potong dan berserakan.
Pembacalah yang harus menyusunnnya sendiri mennjadi “tubuh kebenaran” yang utuh
berdasarkan tautan berita yang terdapat dalam media online tersebut. Seperti
yang sudah saya tulis sebelumnya, kebenaran menjadi ibarat puzle dalam
jurnalisme online. Kebenaran menjadi tidak untuh. Efek dari kebenaran yang
tidak utuh ini tentunya akan memberikan pengaruh yang besar terhadap penafsiran
dan pemaknaan pembaca. Pembaca akan cenderung kebingungan dan memutuskan
sepihak apa yang harus dilakukannya setelah membaca “sepotong kebenaran” dalam
sebuah karya jurnalisme online.
Comments
Post a Comment