Etika Komunikasi 1
Eksploitasi Identitas Korban Asusila sebagai Komoditas
Pelanggaran
privasi sangat sering dilakukan oleh media massa. Dalam hal ini, pemberitaan
mengenai kasus-kasus pemerkosaan yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik
yang berlaku. Kasus EM, seorang perempuan yang meninggal dibunuh setelah
diperkosa adalah salah satu “korban” pelanggaran privasi yang dilakukan oleh
berbagai media daring di Indonesia. Setelah menjadi korban di dunia nyata, dia
juga harus menjadi korban bisnis media.
Menurut UU No. 40 tahun 1999
mengenai Pers, telah dijelaskan bahwa wartawan dan mentaati kode etik
jurnalistik. Hal tersebut termaktub
dengan sangat jelas dalam Pasal 7 ayat 2.
Namun, kenyataannya, banyak sekali pemberitaan berita mengenai tindakan
asusila yang tidak melindungi korban dan privasinya.
Korban pemerkosaan dan
pembunuhan EM tidak mendapatkan perlindungan identitas dan dilanggar berbagai
konten privasi yang dimilikinya.[1]
Foto-foto EM tersebar begitu saja dan menjadi artikel berita. Penyebutan nama
lengkap EM terbeber begitu sja di detik.com, radarjogja.com, tribunnews.com,
dan berbagai media daring lainnya.
Untuk menindaklanjuti perilaku
media dalam pemberitaan kekerasan seksual, JPY, OBR, Perempuan Mahardika, dan
JPPRT menggelar konferensi pers, Pada Kamis, 05 Mei 2015 lalu. Pada konferensi
pers tersebut, mereka menyatakan keberatan terhadap pemberitaan tersebut dan
meminta hak koreksi untuk media karena membeberkan identitas korban. Selain
itu, gerakan ini juga mengimbau agar keluarga korban meminta hak jawab atas
pembeberan identitas tersebut. Ika Ayu,
salah seorang anggota JPY, meminta surat keberatan ke dewan pers untuk
memediasi kasus ini karena telah menyalahi kode etik.[2]
Padahal, dalam kode etik
jurnlistik, pasal 8 telah menyebutkan bahwa Wartawan tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas
korban kejahatan susila dan tidak menyebut identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan. Penafsiran dari pasal 8 itu adalah:
Tidak
menyebut nama dan identitas korban, artinya pemberitaan tidak memberika petunjuk tentang siapa korban perbutan
susila tersebut baik wajah, tempat kerja, anggota keluarga dan atau tempat tinggal, namun boleh hanya
menyebut jenis kelamin dan umur korban. Kaidah- kaidah
ini juga berlaku dalam kasus pelaku kejahatan di bawah umur (di bawah 16
tahun).[3]
Melihat adanya pembeberan
privasi korban adalah fakta bahwa jurnalis belum mentaati etika-etika yang
terdapat dalam kode etik jurnalistik. Kita mengetahui bahwa korban – sekalipun sudah
meninggal dunia berhak mendapatkan perlindungan media. Namun alih-alih
melindungi korban, media malah menjadikan identitas korban sebagai komoditas. Seharusnya
media dapat mengakomodasi kasus-kasus pemerkosaan berbuntut pembunuhan yang
dialami oleh EM dan korban-korban yang lain. Media di sini sebetulnya memiliki
peran mediasi dalam merekonsiliasi kasus-kasus tindakan asusila. Dalam posisi
ini, media tidak hanya menyampaikan informasi semata. Tetapi juga mengadvokasi
kasus-kasus kekerasan seksual yang hingga kini terus terjadi.
Akan tetapi kita dapat melihat
posisi media saat berita mengenai EM menyeruak. Media tidak benar-benar
mengadvokasi kasus ini sehingga ia memiliki peran dalam penanggulangan serta
antisipasi kekerasan seksual. Dengan “tanpa dosa” media malah menyebutkan
identitas EM dengan lengkap. Dalam hal ini, media malah melihat potensi kasus
EM sebagai alat untuk menarik kue iklan lebih banyak. Dalam beberapa media
online, berita tentang EM tidak hanya sekadar keberlanjutan kasus tersebut.
Tetapi di beberapa media malah memberitakan “Foto-foto cantik EM”. Dalam
artikel berita tersebut dibagikan foto-foto EM yang lebih dulu diunggah di
facebook. Tidak hanya itu, artikel-artikel berita yang saya temui di laman
daring selalu menyebutkan EM sebagai “pedagang angkringan cantik”.
Dapat saya katakan bahwa
pemberitaan EM begitu bias gender. Selain memanfaatkan perempuan sebagai obyek
berita, media juga tidak memberikan tindak lanjut terhadap korban. Adapun identitas
pelaku diberitakan lebih tertutup dan tersembunyi. Artinya media tidak
memperlakukan pelaku dan korban secara adil. Adapun jika dirunut dengan kode
etik jurnalitik, identitas korban seharusnya tidak diberitakan dengan seenaknya
tanpa izin dari keluarga.
Artikel-artikel berita yang
diterbitkan oleh berbagai media online itu, selain bias gender dan memiliki
ketimpangan, sangat tidak etis dalam memberitakan korban. Sebab, walaupun korban
sudah tidak memiliki masa depan lagi, tetapi keluarga korban yang masih hidup
tentu merasa keberatan dengan tersebarnya foto anggota keluarga mereka yang
diklaim telah mengalami kekerasan seksual. Tentunya keluarga yang masih sangat
bersedih bertambah berduka ketika anggota keluarga mereka malah diekspos secara
tidak etis di media. Pihak keluarga tentunya menginginkan yang terbaik dari
kasus ini. Maksudnya adalah, keluarga tentunya berharap bahwa media dapat “membantu”
mereka menyelesaikan kasus ini. Media seharusnya dapat menerapkan fungsinya
sebagai advokat dengan baik. Namun, alih-alih menjadi advokat, media-media itu
menjadikan korban tindakan asusila dan pembunuhan sebagai komoditas. Bahkan,
mereka melakukannya dengan melanggar berbagai kode etik jurnalistik yang telah
ditetapkan (dan seharusnya dipatuhi).
[1]“Pembunuh Maya Ditangkap, Ternyata Pengamen
Pelanggan Angkringan Korba,” terarsip padahttp://news.detik.com/read/2015/05/21/110022/2920811/10/pembunuh-maya-ditangkap-ternyata-pengamen-pelanggan-angkringan-korban. Diakses pada tanggal 13 Juni 2015
[2]Lamia Putri Damayanti, Menggugah Empati Masyarakat
Kepada Perempuan, terarsip pada http://mountain-pirates.blogspot.com/2015/05/menggugah-empati-masyarakat-kepada.html, diakses tanggal 12 Juni 2015
[3]HasilKongres XXII di Banda Aceh 27-29 Juli 2008. Draft awaladalahkeputusanKonkernas PWI 4 – 10
Juli 2007 di Jayapura, Papua
Comments
Post a Comment