[Resensi] Mencari Kebenaran melalui Perspektif Jurnalisme
Judul Buku : ‘Agama’ Saya adalah Jurnalisme
Penulis : Andreas Harsono
Penerbit : Kanisius
Cetakan : 5, 2014
Tebal : 268 hlm
ISBN : 978-979-21-2699-0
Dokumentasi pribadi |
Kiranya tidak berlebihan jika saya menyebut bahwaj urnalisme adalah salah satu cara (dari sekian banyak cara) untuk menemukan (bukan menentukan) kebenaran. Jika kita mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam jurnalisme dengan benar dan sesuai, maka tak tidak berlebihan jika nilai-nilai kebenaran bisa didapatkan dari perspektif jurnalisme. Dalam hal ini, fungsi jurnalisme dengan agama menjadi sama – yaitu mencari (menentukan) kebenaran. Sang penulis, Bapak Andreas Harsono yang tersohor itu pun menasbihkan bahwa agamanya adalah jurnalisme. Mungkin, saking cintanya ia dengan perspektif jurnalisme.
Buku ini sendiri bukanlah panduan untuk menjadikan jurnalisme sebagai agama dan menyejajarkan ia dengan agama-agama yang telah diakui; yang begitu jelas ritual peribadatannya. Bukuini “hanyalah” berisi “cerocosan” Andreas di blognya .Bisa dikatakan, buku ini adalah obrolan Andreas dari korespondensi orang-orang yang ingin belajar darinya. Andreas menyebut buku ini sebagai “buku-bukuan” karena dia merasa tak serius menggarap sebuah buku. Sedangkan redaktur menyebut buku ini sebagai sebuah antologi kumpulan esai.
Berisi 34 tulisan Andreas yang sudah dipublikasikan di blognya, ketigapuluhempat tulisan itu dibagi menjadi empat tema besar, yaitu laku wartawan, penulisan, dinamika ruang redaksi, dan peliputan. Dapat dikatakan, tulisan-tulisan itu juga menceritakan pengalaman Andreas; baik ketika bertugas maupun memberikan seminar. Kalau saya boleh menyebutnya, buku ini lebih tepat dibilang tata cara berjurnalisme.
Ada satu hal yang saya hapal dengan baik setelah membaca buku ini. Adapun, apa yang saya hapal itu memang dituturkan oleh Andreas berkali-kali. Ia mengutip salah satu kalimat (atau bisa disebut pendapat) Goenawan Mochammad, pentolan Tempo, bahwa wartawan yang bisa menulis di Indonesia sangat sedikit. Orang tertinggi di Tempo itu – kalimatnya berkali-kali dikutip oleh Andreas dalam setiap tulisannya. Ia begitu mengkhawatirkan kapabilitas wartawan dari dulu hingga kini.
Hal tersebut kemudian membuat saya pribadi – sebagai calon wartawan (gagal) meyakini hal tersebut. Goenawan mungkin benar dan saya pun menjadi khawatir bahwa saya adalah salah satu dari sekian “wartawan” yang tidak bisa menulis. Mungkin ini cambuk bagi saya untuk belajar dan terus berlatih. Tetapi hal ini juga dapat menyebabkan saya memilih perlahan mundur teratur dari dunia jurnalisme – alias mengundurkan diri, kalah sebelum bertarung. Sebab, selesai membacanya, saya pun semakin meyakini dan meneguhkan bahwa menjadi wartawan (profesional) pasti sangat sulit. Buku ini membuat saya sadar, bahwa menulis tidaklah mudah. Semua orang bisa menulis. Tapi sedikit di antaranya yang dapat bertahan dan mampu konsisten untuk tetap menulis.
Alih-alih menjadikan jurnalisme sebagai salah satu cara mencari kebenaran, ada banyak benang kusut yang menjadi persoalan. Sebelum jurnalisme mampu dipergunakan untuk menemukan kebenaran-kebenaran itu, banyak persoalan yang harus dihadapi agar perspektif tetap dapat lurus dipergunakan. Kalau penggunaannya bukan lagi untuk kepentingan publik, bukan lagi untuk mencari kebenaran – tetapi alih-alih menentukan, sehinga kebenaran adalah pembenaran – mungkin itu bukan jurnalisme.
Hidup tidak saja terkadang pahit, lik! Hidup memang pahit!
Comments
Post a Comment