Sebelum Berumah dalam Rahim

via http://www.thebeautifulengland.com/wp-content/uploads/2013/01/Beautiful-homes-in-England-7.jpg

Bendera putih yang diikat pada sebilah bambu itu dipancangkan di depan rumah, menghiasi gerbang yang kini terbuka lebar. Tidak seperti biasanya yang terkunci erat bersamaan dengan gembok yang mulai berkarat. Kali ini, gerbang dibuka lebar, menerima para tamu yang meluangkan waktu untuk mengucap bela sungkawa. 

Orang-orang kemudian berkata; dengan bunyi-bunyian menghibur bahwa kematian adalah takdir. Setiap orang yang datang akan pergi, setiap yang pergi akan kembali, begitulah mereka berucap. Pada catatan Tuhan yang Manunggal, telah termanuskrip dengan baik skrip yang harus dijalani oleh tiap manusia. Jauh sebelum manusia lahir, Allah telah menuliskan takdir setiap umatnya yang lahir ke dunia tanpa terkecuali. Setiap yang lahir akan hidup dan  berjuang – entah lebih banyak berduka atau bersuka cita. 

Hanya satu hal yang kemudian bergeliat dalam benakku, tentang manusia-manusia yang kini telah hidup dan meregang serta mengejang tiap kali bernapas. Jika aku melihat orang-orang yang duduk di pertigaan lampu merah, aku seringkali menahan napas cukup lama dan kemudian bertanya kepada Tuhan mengapa memberikan kehidupan seperti itu kepada mereka. Aku juga bertanya-tanya ketika melihat seorang buta yang ragu-ragu menyeberang jalan. Aku juga bertanya-tanya pada perempuan-perempuan penjaja. Aku juga bertanya-tanya pada mereka yang merana dan tertindas, mengapa takdir yang diberikan begitu membelenggu. Lebih dari itu, aku jauh lebih sering mempertanyakan kehidupan para pendosa – yang membunuh dengan sebilah baja tipis maupun senapan berisikan peluru-peluru tajam; juga terkadang hanya dengan tangan kosong. Aku sering mempertanyakan kehidupan para pencuri yang aku yakin tiap malam akan memandangi hasil curiannya dengan wajah lesu dan tatapan lemah. Aku sering bertanya-tanya tentang dunia yang berisikan manusia-manusia, yang terpenjara juga yang bernafsu membabi buta. Di antaranya memilih untuk berperang, saling membunuh, dan menyakiti satu sama lain. Hal yang membuatku merinding ngeri adalah ketika aku tahu, di dunia ini, yang begitu fana, orang terus-terusan saling menyakiti baik bersilat lidah maupun bersilat baja.

Kemudian aku mulai mempertanyakan mengapa Tuhan menciptakan dunia dan manusia – jika yang terjadi saat ini adalah kekacauan. Aku masih memercayai surga dan neraka. Karena kedua tempat itu adalah pelabuhan terakhir manusia setelah membuat kekacauan. Yang aku kasihani bukan mereka yang merana, tetapi mereka yang berdosa (termasuk juga aku). Sebab, mereka yang berdosa akan dijebloskan di neraka. Hidup sekejap di dunia dan harus tersiksa di neraka berabad-abad. Buat apa aku dan para pendosa lain diciptakan jika hanya akan berpeluh dosa. Jika hidup adalah ujian, aku mempertanyakan hasil ujianku kelak – dan juga aku akan bertanya kepada Tuhan mengapa menciptakan diriku yang sering lalai dalam mencintainya.

“Andaikan sebelum lahir, sebelum ruh ini ditiupkan dalam rahim dan menjadi segumpal darah, Tuhan lebih dulu menanyakan kepada manusia; maukah mereka hidup di dunia. Jika iya, mungkin aku salah satu yang berkata tidak karena berakhir menjadi orang yang seperti  sekarabg ini,” aku berujar di suatu siang pada seorang teman.

Temanku menjawab cepat, jawaban yang mencengangkan. Katanya, sebelum manusia lahir, Tuhan memang lebih dulu menanyakan kepada setiap ruh yang akan menjelma menjadi manusia. Tuhan menjelaskan segala bentuk konsekuensi yang akan didapatkan jika kita memilih hidup di bumi. “Tetapi…” aku menahan napas menunggu kelanjutannya bercerita. “Kita amnesia setelahnya. Kita seolah-olah hilang ingatan. Kita tidak memiliki memori dan harus membangunnya kembali sendiri,”

Bahkan, katanya, terkadang kita bebas dan leluasa untuk memilih akan hidup dan menjadi seperti apa kita di dunia. Tuhan memberikan pilihan. Dan aku pun berpikir bahwa bisa jadi pria buta yang ragu-ragu menyeberang jalan itu memang tidak meminta mata. Karena dia akan lebih menghargai telinga dan mendengarkan setiap nada dengan saksama. Dan aku pun berpikir bahwa mereka yang merana karena kelaparan memang meminta hidup yang demikian karena mereka tidak mau kekenyangan dengan uang orang lain. Sebelum berumah dalam rahim, mereka sudah tahu akan menjadi mereka apa. Tetapi setelah lahir mereka lupa akan semua itu. Mereka memang meminta kehidupan seperti itu karena memandang bahwa hidup yang berliku-liku adalah tantangan. Dan entah apa yang membuat mereka meminta itu. Ketika berusaha mengingatnya… Byar! Mereka hilang ingatan. Tidak ingat dengan segala permintaan dan sebentuk keyakinan yang mengantarkan pada kehidupan yang fana di bumi.

Aku terdiam. Jika yang diucapkan oleh temanku itu benar – lagi-lagi aku bertanya. Pertanyaan seperti apa yang dilontarkan Tuhan kepadaku. Penjelasan seperti apa yang dijelaskan kepadaku. Dan apa yang membuatku kemudian yakin untuk ditiupkan ke dalam rahim seorang Ibu.

Aku membayangkan percakapanku dengan Tuhan saat aku masih menjadi ruh dan belum berumah dalam rahim. Tuhan pasti tidak berbohong tentang dunia dan peraturan yang dia cipta. Aku yakin dia menjelaskan semua hal tentang dunia ini. Bahwa akan ada banyak hal buruk terjadi dan hal tercela yang dapat dengan mudah kulakukan. Lalu, apa yang kemudian membuatku yakin dan memutuskan untuk menyusup dan menyamar menjadi segumpal darah di rumah Ibu yang nyaman?

Sayangnya, aku tidak berhasil mengingatnya. Sekuat apapun aku berusaha mengingat masa-masa jauh sebelum aku berumah dalam rahim, aku tak mampu mengingatnya barang satu detik saja. Sebab, katanya, aku hilang ingatan. Dan aku benar-benar penasaran apa yang aku katakan, apa yang Tuhan jelaskan, sehingga aku meyakini untuk mau dan mampu menjalani kehidupan. Jika dan hanya jika kini aku menelan ludahku sendiri. Apakah aku berjanji pada Tuhan akan menjadi jiwa yang begitu taat? Ah, aku tak ingat. Aku hanya takut, aku begitu optimis saat sebelum berumah dalam rahim dan berakhir dengan ketakutan mengapa aku menjadi orang yang seperti ini sekarang.

Apa yang aku katakan pada Tuhan saat ini? Apa yang membuatku yakin mampu melampaui semua ini dan berakhir mengecap surga. Apa yang membuatku meyakini bahwa aku mau dan mampu melampaui semua batas dunia? Sementara aku masih berleha-leha sembali mencela. Akankah yang aku ucapkan sebelum berumah dalam rahim akan sama dengan yang akan aku dapatkan nanti ketika kembali pada-Nya?

Aku benar-benar penasaran dengan cerita-cerita yang telah lewat sebelum berumah dalam rahim. Sayang, tidak ada yang mampu kuingat.




Catatan: Selesai membacanya, jangan langsung mengklaim saya membawa ajaran baru. Saya tidak membawa ajaran baru bahwa mungkin Tuhan memang dulu – sebelum berumah dalam rahim – Tuhan memang menanyakan kemauan dan kemampuan kita tinggal di bumi. Saya pun masih menanyakan kebenaran yang diucapkan oleh teman saya itu. Namun yang jelas, pertanyaan yang saat ini ingin saya gagas sangatlah lugas. Saya hanya penasaran saja, jika yang dikatakan oleh teman saya itu benar. Saya jadi penasaran, apa yang saya katakana pada Tuhan? Apa yang membuat saya yakin bahwa saya mampu dan mau hidup di dunia ini.? Apa aku memang meminta dilahirkan sebagai perempuan, berumah di nusantara, dan berwujud seperti ini karena suatu hal yang entahlah-aku-tidak-tahu. Lebih dari itu, apakah saya menjanjikan pada Tuhan akan terus mengingatnya dan mencintainya ketika hidup di dunia? Ah, saya tidak ingat – sama sekali.

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

Berkunjung ke Rumah Teman