[Review Film] Breakfast with Scot: Realitas "Penyimpangan" yang Berpadu Jadi Satu



Judul : Breakfast with Scot
Sutradara : Laurie Lynd
Produser : Paul Brown, Howard Rosenman, Nadine Schiff
Penulis : Sean Reycraft dan Michael Downing (Novelis)
Pemain : Thomas Cavanagh, Ben Shenkman, Noah Bernett
Sinematografi        : David A. Makin
Durasi : 95 menit
Tahun Rilis           : 2007



Film ini penuh dengan realitas dan mengajarkan kepada saya tentang ketulusan menerima dan menyayangi. Jujur saja, film bertema homoseksual ini menyodorkan sesuatu yang baru (walaupun bukan film baru) dan lain daripada film bertema sama yang biasanya hanya menghadirkan sisi “roman picisan” saja. Film ini juga penuh roman picisan sih kalau boleh saya bilang. Cinta antara manusia – sesama manusia. Sesederhana itu. Bagaimana kemudian para tokoh-tokohnya menerima sesamanya dengan baik dan mencintainya dengan tulus.

Film ini bercerita tentang sepasang kekasih gay yang dititipi seorang bocah lelaki yang begitu unik dan berbeda (kalau tidak mau menyebutnya aneh). Sepasang kekasih itu adalah Eric (Tom Cavanagh) dan Sam (Ben Shenkman). Dan bocah laki-laki super unik itu diperankan oleh Noah Bernett. Jujur saja, saya sangat suka dengan acting Noah dan mencari-cari filmnya yang lain. Sayangnya, saya tidak menemukannya. Namun, di sini saya akan lebih banyak berbicara tentang substansi dan isi. 

Dirilis pada tahun 2007, di saat isu homoseksual masih dituduh sebagai perilaku penyimpang atau bahkan lebih “jahat” lagi, disebut sebagai penyakit. Dalam film itu, Eric dan Sam yang merupakan sepasang kekasih gay tidak pernah memiliki anak. Di saat itu, sepupu jauh Sam menitipkan seorang anak pada keduanya. Mereka yang merupakan pria dan gay, tidak memiliki pengalaman apapun tentang mengasuh anak. Bagaimana harus berbicara dan memperlakukan anak, mereka tidak mengetahuinya. Anak itu tergolong unik karena dia sangat kemayu (centil). Anak bernama Scot itu suka berdandan dan mengoleksi benda-benda lucu yang harusnya dimiliki oleh anak perempuan.

Di sinilah perpaduan yang juga unik itu muncul, film yang diadopsi dari novel karangan Michael Downing ini menggambarkan berbagai realitas yang terkadang luput dari masyarakat. Berbagai realitas seperti sistem norma dan moral masyarakat pun terlibat dalam setiap segmen. Bayangkan saja bagaimana sebuah rumah yang berisikan tiga laki-laki – dan ketiganya tidak “normal”. Tidak normal dan segala bentuk kenormalan yang saya sebutkan disini, saya adopsi dari lingkar moral masyarakat yang telah diterima jauh-jauh hari dan juga agama.

Dua pria gay dan seorang bocah laki-laki yang terlampau kemayu ini adalah konsep cerita yang penuh dengan lika-liku konflik. Berbagai realitas ditawarkan. Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa film ini pun menyodorkan realitas sistem norma dan moral masyarakat yang hingga kini masih eksis dan memberikan pengaruh yang signifikan kepada manusia dalam menentukan baik dan buruk. Seperti misalnya saja anggapan masyarakat (bahkan Eric dan juga Sam) bahwa homoseksual adalah sesuatu hal yang salah dan jangan sampai diketahui oleh orang lain. Eric dan Sam tahu, bahwa sebagian masyarakat masih belum menerima orientasi seksual itu. Maka dari itu, mereka berusaha menyembunyikan identitas itu dengan sebaik-baiknya.

Yang lebih unik lagi adalah ketika Eric menyadari bahwa Scot adalah cowok super sissy yang harus digembleng jadi lelaki sejati. Pada salah satu adegan, Eric begitu brutal pada Scot yang centil. Scot waktu itu memang bertindak keterlaluan karena berdandan di sekolah. Eric pun kemudian berusaha menyadarkan Scot bahwa perilakunya itu salah. Dia menganggap bahwa cowok sissy – di mana seorang laki-laki memiliki sisi feminin yang lebih dominan adalah hal yang salah. Dia berkata demikian karena sistem dan struktur norma yang berlaku di masyarakat memang telah menentukan batas-batas kenormalan tentang konsep laki-laki dan perempuan. Eric sendiri tidak menyadari bahwa dia adalah seorang gay. Di mana, statusnya itu “salah” di hadapan sistem dan struktur norma dan moral yang berlaku di masyarakat. Sampai akhirnya Eric menyadarkannya bahwa mereka juga sama. “Menyimpang” dan “tidak normal”. Keduanya berada pada posisi yang sama dengan Scot.

Menurut saya pribadi, hal tersebut adalah hal yang unik. Seorang gay yang dianggap “tidak normal” oleh lingkungannya mampu menuduh seorang anak laki-laki yang baru berusia 12 tahun bahwa ia juga (sama) tidak normal(nya). Eric berusaha untuk membuat Scot melepaskan sisi “sissy”-nya itu. Sedangkan dia sendiri keukeuh mempertahankan hubungan gay. Sissy dan gay memang bukan hal yang sama. Tetapi keduanya belum diterima oleh sebagian (besar) masyarakat dan dianggap salah oleh oleh agama-agama. Di sinilah kemudian saya menyadari relasi orang dewasa dan anak kecil. Eric tahu, dirinya juga salah menjadi gay, tetapi dia tidak akan membiarkan Scot diintimidasi oleh masyarakat. Namun ada satu hal yang dilupakan oleh Eric, bahwa Scot punya hak untuk menjadi dirinya sendiri. Sama seperti Eric, Scot yang akan beranjak dewasa mungkin akan memilih jalan hidup yang sama seperti Eric.

Singkatnya, sebetulnya saya mau ngomong bagaimana ketiga tokoh sentral ini menanggapi "tuduhan-tuduhan" yang menyatakan bahwa mereka berbeda dan menyimpang. Saya tidak membahas penyimpangan itu apa. Mungkin lebih ke bagaiamana definisi "penyimpangan" diciptakan dan diterima oleh masyarakat. Seperti halnya Eric, Sam, dan Scot yang disebut menyimpang dan bagaimana reaksi mereka menanggapinya. Bagi saya,  reaksi mereka terhadap label "penyimpangan" adalah sebuah realitas yang unik karena pasti berbeda satu dengan yang lain.


Terlepas dari bagaimana realitas itu muncul,  film ini sukses membuat saya tertawa juga hampir menangis. Scot memang tidak seperti anak lelaki sebayanya yang “jantan”. Dia hanya Scot yang ingin menjadi dirinya sendiri. Dan pada akhirnya Sam dan Eric, terutama Eric tentunya mau menerima Scot. Bahkan, Scot berakhir tinggal dengan mereka. Sebaliknya, Scot juga menerima Eric dan Sam... dan mereka sarapan bersama setiap harinya. So, sweet :)


Last but not least, this is about love!


Catatan: Memang banyak tanda kutip, dan saya menyerahkan kepada pembaca bagaimana harus mengartikannya. Oh ya, saya bukan pendukung LGBT. Saya menolak pernikahan sesama jenis dan transeksual. Tapi bukan berarti saya membenci mereka. Saya mencintai mereka karena mereka juga manusia sama seperti saya. Saya hanya menolak apa yang mereka lakukan karena menurut moral agama yang saya adopsi, hal tersebut salah. Juga menurut sistem logika tatanan hidup yang saya anut, hal tersebut juga menyalahi sistem. Walaupun demikian, saya tahu, hidup sebagai “mereka” tidak akan pernah mudah. Hidup sebagai “mereka” tersiksa karena kecaman dan hujatan yang begitu jahat. Saya piker, sekalipun dalam agama saya hal tersebut memang salah, hal pertama yang harus dilakukan adalah terus mecintai dan membimbing mereka, bukan menyakiti. Sebab, tak ada satupun manusia yang ingin disakiti.

Ngomong-ngomong, film ini, kalau mau didiskusikan lebih lanjut -- mungkin akan sangat panjang. Kita bisa bicara tentang gender, hak asasi manusia, struktur sosial masyarakat, peran dan konsep gender, sampai ihwal identitas. Tapi untuk saat ini saya belum bisa ngomong banyak. Haha. Lha wong, awalnya cuman mau ngomong kalau film ini apik -- eh malah luber kemana-mana. Judulnya juga sepertinya ndak nyambung. Hehehe.

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

Kode Etik Profesi dalam Bidang Komunikasi