Sistem Bayar Kuliah
via http://4.bp.blogspot.com |
Beberapa waktu lalu, saya sempat ngobrol dengan kakak tingkat yang sudah lulus. Sebenarnya tidak ngobrol lama amat. Kami hanya membicarakan tentang SKS dan jumlah SKS yang diingini. Si Kakak Tingkat ini bilang kalau dia ambil SKS dengan jumlah yang cukup banyak. Kebetulan, beliau juga lulus dengan rentang waktu yang lebih lama dari yang telah ditetapkan sebagai waktu standar lulus. “Mending ambil banyak aja sekalian sks-nya. Daripada dikira nganggur. Aku kan lulus enggak tepat waktu,” ujarnya. Namun seolah-olah baru tersadar dari tidur. Kakak Tingkat itu langsung mengoreksi. “Eh, tapi kamu sistem bayarnya pakai UKT ding. Berarti harus lulus cepat. Kasihan orang tuamu kalau kamu lulusnya terlambat,”
Saya langsung diam. Terkesiap.
Tidak tahu harus ngomong apa. Tapi si Kakak Tingkat ini memang benar. Saya juga
berencana ingin lulus lebih cepat dari waktu standar lulus yang ditentukan.
Alasannya sederhana. Sesederhana kenapa UKT saya sulit sekali diturunkan. Saya
ingin menghemat satu kali UKT – yang artinya saya harus menghilangkan satu
semester.
Hal seperti inilah yang kemudian
memotivasi saya untuk cepat lulus. Agak sedih juga ketika motivasi terbesar
saya untuk cepat lulus adalah agar bisa menghemat membayar UKT. Saya pun juga
tidak bisa membayangkan bagaimana nasib saya ketika saya harus membayar 6 SKS
dengan nominal yang begitu tinggi. Rasanya aneh. Hanya untuk 6 SKS dalam satu
semester saja, saya harus membayar uang kuliah yang begitu tinggi. Kalau dibandingkan
dengan zaman sebelum adanya rezim UKT,
mahasiswa tidak terlalu mempermasalahkan sistem pembayaran (walaupun nominal
sistem per satuan SKS tetap dianggap mahal). Setidaknya, setiap semester, uang
yang dibayarkan sesuai dengan SKS yang diambil. (Terlepas dari uang pangkal
yang ditetapkan sebelum masuk). Berbeda dengan saya yang harus memaksimalkan
SKS agar bisa cepat lulus.
Saya sendiri juga sebenarnya
masih ingin memanfaatkan status mahasiswa saya. Tetapi saya memutuskan untuk
segera lulus. Saya kepengin ikutan summer
school, tetapi bentrok dengan jadwal KKN. Sementara saya harus KKN tahun
depan. Saya tidak mau KKN di tahun depannya lagi dan harus menunda skripsi.
Tiga atau empat semester lagi – kalau bisa tiga semester lagi – saya (harus) sudah lulus.
Namun, ada satu hal yang
kemudian menjadi pertanyaan dalam benak saya. Jika saya nanti sudah lulus, saya
mau ngapain? Saya mau kemana? Saya adalah seorang mahasiswi yang ingin
cepat-cepat lulus tetapi tidak tahu apa yang harus (dan bisa) dilakukan sesudah
lulus. Saya melihat banyak sekali kakak tingkat saya yang sampai detik ini (setelah
lulus) luntang-luntung cari pekerjaan
ataupun memilih nganggur sambil numpang wifi-an.
Terkadang, saya ingin
cepat-cepat lulus dan segera melupakan kalau pernah kuliah di tempat yang
melabeli dirinya sebagai kampus kerakyatan ini. Saya malu ketika orang-orang bertanya
saya kuliah di mana. Sebab, komentar pertama yang akan keluar pasti berbunyi
seperti ini, “Duh kampus mahal,”
Malu.
Comments
Post a Comment