Yang Bersemayang dalam Hening Malam

via http://cdni.wired.co.uk/1920x1280/d_f/dream-memory.jpg


Tik Tuk Tik Tuk Tik Tuk
Kala waktu terus berdetak di malam hari, kulihat bayangmu menyelinap di setiap malam. Selalu, setiap harinya, wajahmu, lakumu, proyeksi tentang dirimu hadir di setiap malam. Bersemayam di setiap waktu luang. Entah keberapa kalinya, dalam setiap malam kamu selalu datang. Duduk diam di sebelahku atau berjalan di samping. Kita tidak pernah berbicara, laiknya kita di dunia nyata pula. Bahkan, di mimpi pun kamu tetap enggan menatap kedua bola mataku. Bahkan, di dalam selarik bunga tidur, kamu tetap pribadi yang lebih banyak diam dan membungkam setiap kata. Bahkan, di dalam mimpi pun, kita tak bertegur sapa, tidak ada dialektia.
Kita adalah dua jiwa – ruh yang dipertemukan dalam dunia mimpi. Sementara raga kita mungkin sesekali pernah saling bertatap muka sepersekian detik di dunia nyata. Dalam dimensi yang tidak pernah dimengerti oleh siapapun itu, kita jadi lakon utama. Tetapi tidak pernah bermain peran bersama. Kita tidak pernah beradu lakon. Kamu selalu berkramagung tanpa suara. Sedangkan aku bermonolog. Terkadang berdialog pada angin yang berdesir perlahan. Sesekali, aku juga pernah berdialog pada langit-langit yang menggantung bintang-bintang.
Dalam ruang dimensi yang tidak pernah dimengerti orang-orang itu, kita dipertemukan dalam satu panggung. Dalam ruang dimensi yang di mana detak jam tidak lagi terdengar bertik-tuk-tik-tuk, kita berperan dalam cerita yang sama – namun tidak pernah dipertemukan. Mungkin aku dan kamu adalah deretan segmen-segmen omnibus. Kita berada dalam satu keping piringan hitam. Berputar pada poros yang sama tetapi tidak pernah bertemu. Terkadang, dalam sebuah panggung, kita berdiri saling membelakangi. Aku hanya bisa melihatmu pada cermin besar yang terbentang di depan. Di sana, aku melihatmu tengah berjingkat-jingkat ingin turun dari panggung. Terkadang pemain lain sudah keburu masuk, menarikmu kembali untuk berperan di panggung itu. Sementara aku tetap bermonolog atau berdialog pada angin malam yang semakin dingin.
Saat aku terlelap, aku tak lagi mendengar suara tik-tuk-tik-tuk-tik-tuk jam lagi. Ruhku sudah terbang dalam taman bunga yang selalu semerbak. Di sana – lagi-lagi aku menjumpaimu. Namun, masih sama seperti mimpi-mimpi sebelumnya. Kita berdua hanya diam saling membisu. Kamu sibuk melamun. Dan aku akan sibuk memandangimu sembari menerka-nerka apa gerangan yang membuatmu melamun.
Entah sudah berapa ratus kali kamu hadir dalam mimpiku. Namun, kita tak pernah berdialektika. Persis di dunia nyata, kita telah bersama selama ribuan hari tetapi tak pernah bertatap muka. Kita berpisah ratusan hari yang lalu. Semenjak itu, kamu malah sering hadir dalam mimpiku. Bersemayam di sana dengan waktu yang sangat lama namun kita tak pernah berinteraksi; sama sekali. Kamu hadir di waktu-waktu luang dan selalu meninggalkan kesan ketika ruhku kembali dalam raga.
Aku selalu bertanya-tanya, mengapa di dunia mimpi pun, kita tetap menjadi orang yang sama seperti di dunia nyata. Bahkan di dunia mimpi pun – yang semua orang mampu merekayasa keinginan mereka,  aku dan kamu tetap orang yang sama seperti di dunia nyata. Kita tetap dua orang asing yang sebenarnya telah mengetahui satu sama lain selama belasan tahun. Kita tetap dua orang asing yang berpura-pura tidak mengenal. Terkadang, realita memang adalah refleksi dari mimpi buruk.
Bahkan di mimpi pun, aku merasakan kesenduan yang sama. Bahkan di mimpi pun, kamu tetap memperlakukanku. Bahkan di mimpi pun, kamu tak sekalipun menatap mataku dan tersenyum. Aku menganggap kedatanganmu dalam mimpi-mimpiku adalah serangkaian mimpi buruk yang selalu membuatku terbangun dengan jiwa yang tidak tenang. Resah dan gelisah. Aku ingin menganggap bahwa kamu tidak lebih dari monster mengerikan.
Terlepas dari itu, aku juga kadang bertanya-tanya tentang mimpi-mimpimu. Aku sudah ratusan kali memimpikan dirimu yang terkadang muncul di seluruh segmen atau hanya terselip di beberapa bagian. Tetapi, apakah kamu juga telah ratusan kali memimpikanmu – sama seperti aku. Atau setidaknya, pernahkah kamu memimpikanku?
Sungguh, terjebak di dalam mimpimu sendiri sungguh mengerikan. Aku ingin terbebas dari semua rangkaian mimpi buruk ini. Aku ingin terbebas darimu. Aku ingin terlepas dari bayang-bayangmu. Walaupun hanya di dalam mimpi.
Tik Tuk Tik Tuk Tik Tuk
Detak jam menggetarkan ruangan yang tidak hampa udara ini – merembet perlahan pada setiap gelombang. Waktu sudah terlalu larut. Aku ingin tidur. Tanpa ada dirimu menyelinap di dalam mimpi-mimpiku. Tanpa kamu. Bersemayamlah di tempat lain. Di tempat di mana – kamu juga selalu memimpikan tempat itu. Kembalilah. Aku yakin kamu tersesat pada mimpi yang salah. 

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

Kode Etik Profesi dalam Bidang Komunikasi