Asas-Asas Hukum Dalam Konteks Media
via http://majalahtopikonline.com |
Asas undang-undang
tidak berlaku surut (non retroaktif)[1]
Peraturan
perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif) adalah peraturan
perundang-undangan yang dibuat hanya berlaku pada peristiwa-peristiwa hukum
yang terjadi setelah peraturan perundang-undangan itu lahir. Artinya, tindakan
keberlanjutan (proses) hukum, baik pidana maupun perdata hanya dijatuhkan pada
pelaku yang melanggar hukum setelah undang-udang tersebut berlaku. Jika
seseorang/sekelompok orang melanggar peraturan undang-undang tidak berlaku
surut tapi sebelum undang-undang itu disahkan, ia tidak akan terkena proses
hukum. Namun demikian, mengabaikan asas
ini dimungkinkan terjadi dalam rangka untuk memenuhi keadilan masyarakat pada
tahap tertentu.
Kita
dapat melihat contoh konteks media dalam asas undang-undang ini pada
pemberlakuan Undang Undang Informasi Teknologi Elektronik (UU ITE) tahun 2008. Seseorang
yang melanggar peraturan dalam UU ITE pada tahun 2007 ke bawah tidak akan
mendapat proses atau sanksi hukum. Sebaliknya, setelah UU ITE resmi disahkan
pada April 2008, orang-orang yang terbukti melanggar undang-undang itu akan
dikenai sanksi baik pidana maupun perdata.
Beberapa
kasus seperti Prita Mulyasari, dr. Ira, Florence Sihombing dan Saut Situmorang.
Kasus Prita terjadi pada tahun 2008. Ia terkena pasal 27 mengenai pencemaran
nama dalam UU ITE dengan ancaman maksimum penjara selama 6 tahun. Serupa dengan
Prita, dr. Ira, Florence dan Saut juga dijerat pasal 27 ayat 3 tentang
pencemaran nama baik. Hanya saja
beberapa di antara mereka dikenai pasal berlapis seperti Saut.
Kasus
seperti ketiganya tidak akan ditemui sebelum tahun 2008 ataupun kasus
pencemaran nama baik melalui internet pada tahun 2008 ke bawah digugat kembali
setelah munculnya peraturan itu. Padahal, di Indonesia sendiri, kejahatan dunia
maya telah menduduki peringkat pertama sejak tahun 2004.[2]
Namun, penegakan hukum terkait hal tersebut belum banyak. Maka dari itu,
pelecehan, penghinaan, dan fitnah yang dilakukan di sosial media seperti blog
pribadi, friendster, tidak
dipersoalkan lagi karena belum ada peraturan yang mengatur tentang kegiatan
transaksi elektronik di situ.
Tujuan
dibentuknya UU ITE sendiri terdiri atas 2 pasal, yaitu pasal 3 tentang asas dan
pasal 4 tentang tujuan dibentuknya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pada
pasal 3 UU ITE disebutkan bahwa “Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi
elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat,
kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral
teknologi ”. Sedangkan, Pasal 4 UU ITE
disebutkan bahwa Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik
dilaksanakan dengan beberapa tujuan untuk :
·
Mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia.
·
Mengembangkan
perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional.
·
Efektivitas dan
efisiensi pelayanan publik dengan memanfaatkan secara optimal teknologi
informasi untuk tercapainya keadilan dan kepastian hukum.
·
Membuka kesempatan
seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuannya
di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi informasi secara seoptimal
mungkin dan bertanggung jawab.
Asas lex specialis derogat legi generalis (aturan khusus mengesampingkan aturan yang umum)[3]
Peraturan
perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum (lex
specialis derogat lex generalis). Aturan khusus mengesampingkan aturan
umum, asas ini hanya berlaku terhadap dua peraturan yang bertentangan tetapi
secara hierarki sederajat.
Salah
satu contoh asas itu dalam konteks bermedia adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 Tentang Pers. UU Pers dikategorikan sebagai lex specialis. Secara sederhana Lex
Specialis berarti aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (generali),
maka aturan yang bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika telah ada
aturan yang bersifat khusus. Jadi, UU Pers adalah Lex Specialis (hukum yang lebih khusus) terhadap Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dan juga terhadap Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (“KUHP”). Dengan kata lain,
aturan yang khusus itulah sebagai hukum yang valid, dan mempunyai kekuatan
mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit dalam kegiatan
pers.
Dalam hal ini,
jika ada permasalahan terkait dengan kegiatan Pers, maka langsung merujuk pada
UU Pers. Jika persoalan dalam kasus yang bermasalah tersebut tidak terdapat
dalam UU Pers, baru mengambil peraturan dari KUHP atau KUHPEr. Alasan mengapa UU Pers adalah lex specialis adalah sangat jelas karena
kegiatan pers itu berbeda dengan kegiatan yang lain seperti perniagaan,
agraria, dan kegiatan lainnya. UU Pers memiliki institusi yang berbeda sehingga
mendapat perlakuan yang berbeda. Profesi jurnalis adalah profesi yang berbeda
daripada yang lain. Profesi ini seharusnya dilindungi hukum yang khusus dan
jelas. Sebagai indikator negara demokrasi , pers memang sehaunsya mendapat
perlakukan khusus.
Adapun, kasus-kasus yang biasanya terjadi
dalam kegiatan pers juga berbeda dengan permasalahan lain yang diatur oleh
hukum berdasarkan KUHP atau KUHPer. Persoalan dalam kegiatan pers memiliki
signifikansi tersendiri sehingga harus dikhususkan dan diatur dalam UU yang
nyata. Sehingga, tidak ada dualisme regulasi dan antisipasi yang tumpang
tindih.
Misalnya
saja, jika ada pelanggaran kode etik jurnalistik ataupun pelanggaran hukum
seorang wartawan serta pengaduan artikel berita, hukum di dalam kegiatan pers
berkata lain. Jika pelanggaran hukum di bidang lain larinya ke kepolisian, pelanggaran
hukum dalam kegiatan pers diadukan ke Dewan Pers terlebih dahulu. Dalam hal
ini, Regulasi dan Regulator Pers pun memiliki institusi yang khusus sehingga
tidak dapat disamaratakan.
Lahirnya
UU Pers sebetulnya adalah indikasi bahwa KUHP belum dapat menyelesaikan segala
bentuk permasalahan. Munculnya UU Pers sendiri dikhususkan untuk berbagai
bentuk kegiatan jurnalisme. Urusan pers seperti seperti kegiatan jurnalistik
yang meliputi mencari, menulis, dan mempublikasikan informasi sampai pada mekanisme
pasca terbitnya artikel/informasi terkait diatur secara khusus oleh Pers. Jadi,
jika terdapat kasus yang menimpa jurnalis atau suatu institusi media, UU Pers
diberlakukan sebagai landasan. KUHP hanya pelengkap jika persoalan yang terjadi
tidak diatur dalam UU Pers.
Namun
faktanya di Indonesia sendiri terdapat beberapa kasus yang bertentangan dengan
asas tersebut. UU Pers terkadang dianggap sebagai lex specialis yang mandul.
Disebut mandul, karena beberapa kasus delik pers ditangani secara lex generalis. Padahal, sudah jelas
bahwa kegiatan pers diatur oleh undang-undang khusus yaitu UU Pers.
Salah
satu kasus delik pers yang pernah terjadi adalah kriminalisasi Pemimpin Redaksi
Koran Tempo, Bambang Harymurti (tergugat I), Deddy Kurniawan selaku wartawan
(tergugat II), dan PT Tempo Inti Media Harian sebagai tergugat III pada
2003-2004. Saat itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis
tentang sengketa pemberitaan pers yang tidak didasari mekanisme seperti diatur
dalam UU No.40 Tahun 1999.
Persoalan
yang membawa ketiganya ke dalam ranah hukum adalah terkait pemberitaan edisi 6
Februari 2003 Koran Tempo dianggap mencemarkan nama baik Tomy Winata.[4]
Para penggugat diharuskan meminta maaf di delapan koran, enam majalah, dan dua
belas televisi dalam dan luar negri, selain membayar ganti rugi immaterial Rp
8,5 M.
Dalam
UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, berlaku asas lex specialis derogate lex
generalis, artinya semua aturan yang terdapat di dalam UU yang lain menjadi lex generalis, termasuk KUHP. Peraturan
yang khusus menyisihkan peraturan yang umum. Namun, dalam kasus yang dialami
oleh Tempo, proses hukum diselesaikan menggunakan lex generalis sebelum
akhirnya Mahkamah Agung kemudian menggunakan referensi UU Pers sebagai landasan
hukum.
Secara ringkas,
UU No. 40 Tahun 1999 memuat unsur-unsur: Pers, kemerdekaan pers, hak asasi
warga negara, hak mencari, memperoleh, dan menyampaikan gagasan, serta
informasi, hak tolak, kontrol msyarakat (hak jawab dan hak koreksi), dan
tuntutan profesionalisme wartawan. Adapun persoalan terkait pencemaran nama
baik yang dituduhkan kepada Tempo seharusnya dilaporkan kepada Dewan Pers
terlebih dahulu. Kode etik sebagai bagian dari UU Pers menjadi acuan dalam
menimbang pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Tempo. Jika pada kemudian hari
kasus tersebut tidak dapat ditangani oleh UU Pers barulah Hakim dapat
memutuskannya dengan cara lex generalis (KUHP). Sayangnya, dalam kasus ini,
Hakim tidak menggunakan mekanisme tentang UU Pers dalam memutuskan sengketa tersebut.
Penggunaan UU Pers baru dilakukan ketika proses hukum berlanjut ke Mahkamah
Agung. Kasus ini kemudian mengharuskan Bambang menginap di Hotel Prodeo selama
satu tahun.
c Asas lex posterior derogat legi periori ( aturan yang baru mengesampingkan aturan yang lama)[5]
Asas ini aadalah peraturan perundang-undangan yang
berlaku belakangan membatalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
terdahulu (lex posteriori derogate lex
periori); dalam setiap peraturan perundang-undangan biasanya terdapat
klausul yang menegaskan keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut dan
menyatakan peraturan perundang-undangan sejenis yang sebelumnya digunakan,
kecuali terhadap pengaturan yang tidak bertentangan.
Asas Ketentuan yang Baru Mengesampingkan Ketentuan
yang Lama. Apabila ada suatu masalah yang diatur dalam Undang-Undang lama,
kemudian diatur dalam Undang-Undang yang baru, maka ketentuan Undang-Undang
yang baru yang berlaku. Asas ini berlaku apabila masalah yang sama yang diatur
terdapat perbedaan, baik mengenai maksud, tujuan, maupun maknanya. Namun
demikian, asas ini tidak berlaku mutlak. Asas lex posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang
baru.
Asas
ini pun memuat prinsip-prinsip :
(1) Aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih
tinggi dari aturan hukum yang lama;
(2) Aturan hukum
baru dan lama mengatur aspek yang sama.
Asas
ini antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidak
pastian hukum. Dengan adanya Asas Lex
posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur pencabutan suatu
peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting. Secara hukum,
ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan hukum baru
mulai berlaku.
Contoh
Asas ini dalam konteks media adalah lahirnya Undang-Undang No 32 Tahun 2002
yang menghapus Undang-Undang No 24 Tahun 1997. Kedua undang-undang tersebut
sama-sama mengatur mengenai penyiaran di Indonesia. Namun, naskah undang-undangnya
sangat bertolak belakang. Mengingat bahwa UU No 32 Tahun 2002 adalah produk
hukum yang lahir setelah jatuhnya rezim Soeharto. Undang-Undang yang baru ini
lebih beriorientasi pada kebebasan berekspresi (‘disebut-sebut’ bersifat lebih
demokratis)sedangkan undang-undang sebelumnya lebih menekankan bahwa lembaga
penyiaran adalah bagian integral dari pembangunan nasional (bersifat otoriter).
Sehingga, ketika UU No 24 tahun 1997 masih belaku, orientasinya sangat
negarasentris – adapun frekuensi adalah milik negara bukan milik publik.
Lahirnya
UU No. 32 Tahun 2002, secara otomatis menghapus undang-undang sebelumnya dan
mengatur peraturan penyiaran secara menyeluruh dan bertolak belakang dengan
undang-undang sebelumnya. Perubahan yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2002
sangat jauh berbeda. Peraturan yang baru
lebih menekankan pada kebebasan berekspresi dan menuntut frekuensi sebagai
milik publik yang harus diimplementasikan sesuai dengan tujuannya.
Terdapat
lima indikator untuk mengukur sejauh mana undang-undang baru ini bersifat lebih
demokratis, yaitu; (1) kehadiran KPI sebagai regulator penyiaran; (2) munculnya
sistem siaran berjarinagan; (3) Dijaminnya keberadaan lembaga penyiaran
komunitas dan publik; (4) pembatasan lembaga penyiaran swasta; dan (5) niatan
mendorong lembaga penyiaran (utamanya televisi) lokal.[6]
Dalam hal ini
perubahan serta penggantian undang-undang penyiaran adalah untuk memahami
konteks sistem pemerintahan yang juga telah berganti. Namun, walaupun
undang-undang ini disebut sebagai produk hukum yang demokratis. Pada
kenyataannya, masih terdapat cacat hukum yang terdapat dalam undang-undang
tersebut. Di antaranya terdapat dualisme regulator, dan abainya Peraturan
Menteri No. 22 terhadap keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai
regulator independen.
[1] Terarsip pada http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/retroactive, diakses pada tanggal 11 Juni 2015
[2] Denis Armandi, terarsip
pada http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37052/4/Chapter%20II.pdf, diakses pada tanggal 11 Juni 2015.
[3] Terarsip pada http://legal.un.org/ilc/sessions/55/fragmentation_outline.pdf,
diakses pada tanggal 11 Juni 2015.
[4] Septiawan Santana K, Mencermati Kembali Kasus “Tempo”, Pikiran Rakyat Edisi
Sabtu 09 Oktober 2004.
[5] Terarsip pada http://giurisprudenza.unimc.it/en/research/conferences/esclh2014/conference-participants/SunnqvistMartinabstract.pdf,
diakses pada tanggal 11 Juni 2015.
[6] Puji Rianto, Dominasi TV
Swasta (Nasional): Tergerusnya Keberagaman Isi dan Kepemilikan, (Yogyakarta:
Yayasan Tifa) hlm. 22-26
Comments
Post a Comment