Sebab Mengadu adalah Merebut Kembali Hak Publik
Keresahan yang diakibatkan oleh tayangan televisi telah terjadi semenjak berpuluh-puluh tahun silam di berbagai belahan dunia. Berbagai tayangan televisi sepertinya sudah menjadi penyakit yang mewabah. Beberapa orang dapat terjangkit tayangan tersebut dan melekatkan dirinya di atas sofa yang empuk sambil memandangi layar televisi – tanpa ingin melepaskannya.
Televisi tidak hanya menjadi berhala
bagi masyarakat modern dan membuat penonton jadi pemalas. Alih-alih memudahkan
penyebaran informasi dan mengedukasi, tayangan televisi saat ini hanya
melanggengkan kontruksi, kuasa atas informasi kelompok tertentu, dan “mendidik”
masyarakat melalui hikmah-hikmah sinetron. Dalam film Network produksi 1976,
salah satu tokoh di dalamnya, seorang presenter televisi bernama Howard Beale yang diperankan oleh Peter Finch, televisi hanya berisi
ilusi dan hal-hal yang tidak nyata.
Apa yang terjadi pada televisi kita
hari ini sebetulnya adalah bentuk kebebasan demokrasi pasca tujuhbelas tahun
runtuhnya orde baru. Lengsernya Soerharto pada saat itu memberikan celah untuk
mengembalikan frekuensi sebagai hak milik publik. Namun, sepertinya kepemilikan
atas frekuensi hanya berlaku di atas kertas bertanda-tangan. Selebihnya, hak
itu sepertinya luput diketahui oleh masyarakat awam. Berbagai konten yang
ditayangkan oleh televisi telah mengambil langkah yang terlampau kebablasan
tanpa mengindahkan bahwa frekuensi adalah hak publik. Kita dapat melihat bahwa
ada sistem yang tidak ideal dalam dunia penyiaran. Ketidakidelan tersebut
memberikan pengaruh dalam pengaturan konten tayangan televisi.
Selain menyadari bahwa ada sistem yang
lebih “rusak”, konten televisi saat ini gemar sekali menghadirkan tayangan yang
tidak mendidik. Televisi berisikan acara-acara yang mengandalkan “cercaan”
sebagai guyonan utama. Cercaan yang
dianggap mampu membuat orang tertawa terpingkal-pingkal itu sebetulnya telah
menyakiti banyak orang. Entah apa yang membuat para komedian dan presenter
televisi sehingga kebablasan berbuat demikian.
Penyalahgunaan frekuensi juga terjadi
ketika publik dicekoki ruang privat para selebritis. Tidak tanggung-tanggung,
acara infotainment itu ditayangkan
sebanyak lima kali sehari – persis seperti ke-fardhu’ain-an sholat lima waktu umat Islam. Selain itu, saat ini
acara televisi seperti sinetron yang tidak mendidik terus mengisi slot-slot
kosong – dan bahkan dengan durasi berjam-jam. Tayangan sinetron itu hanya
menampilkan perilaku remaja hedonisme dan materialisme remaja. Dalam tayangan
tersebut diperlihatkan betapa konsumtifnya remaja-remaja Indonesia tanpa
mengindahkan bahwa – mungkin – beratus-ratus meter dari tempat shooting sinetron itu dilakukan banyak
orang yang kelaparan.
Sinetron yang ditayangkan televisi
juga tidak pernah memiliki jalan cerita yang logis. Saat ini – keberadaan
binatang buas ditampilkan dengan cara yang begitu personifikasi dalam sinetron
Indonesia. Sekumpulan serigala ditasbihkan memiliki paras yang rupawan tanpa
tahu esensi seperti apa yang sebetulnya ingin disuguhkan oleh sinetron
tersebut. Sinetron-sinetron itu ditayangkan dengan jumlah episode yang
mencampai ratusan. Jika Nielsen mengatakan bahwa sinetron tersebut memiliki
rating yang tinggi, otomatis penambahan jumlah episode pun dilakukan tanpa
memperhatikan kelogisan alur.
Selain itu, beberapa stasiun televisi
swasta yang bersiaran nasional seharusnya menerapkan sistem stasiun jaringan
(SSJ). SSJ berfungsi untuk mengembalikan keanekaragaman konten (diversity of content) yang saat ini
sangat Jakartasentris. Namun SSJ ini sepertinya hanya dimaknai sekadar tayangan
lokal di waktu dini hari ataupun penyisipan tokoh-tokoh non-Jakarta. Seperti
misalnya babu para tokoh utama yang digambarkan berasal dari Jawa Tengah dengan
logat yang super medhok maupun
orang-orang batak yang sering diperlihatkan sebagai supir-supir truk yang gemar
berteriak.
Sebagai media massa yang menggunakan
hak milik publik – televisi seharusnya memberikan apa yang dibutuhkan oleh
publik tanpa terkecuali. Namun, alih-alih memberikan kebutuhan itu, televisi
kini (dan mungkin hingga nanti) hanya mengejar rating untuk menguasai kue-kue iklan. Hanya dengan perhitungan Nielsen
yang tidak jelas sampelnya itu, televisi-televisi itu percaya bahwa konten yang
ditayangkannya mendapatkan perhatian khalayak. Padahal, masyarakat Indonesia
yang juga memiliki posisi sebagai “penonton” televisi bukanlah khalayak pasif
yang senang-senang saja diterpa dengan konten-konten tersebut. Seperti yang
dikatakan oleh McQuail – seorang akademisi komunikasi puluhan tahun silam;
1987, penonton aktif memaknai pesan-pesan dalam media massa. Artinya, penonton
pun memiliki kontrol tersendiri dalam mengelola dan memaknai pesan-pesan
tersebut.
Untuk itu, mengamini apa yang
dikatakan oleh McQuail – duapuluhdelapan tahun yang lalu, saya percaya bahwa
audiens sebenarnya aktif dalam menerima pesan. Dalam hal ini, saya percaya pula
bahwa penonton dapat memiliki mental yang pro aktif dalam menerima
“pesan-pesan” televisi. Sebagian dari penonton yang pro aktif itu tentunya
dapat menilai bahwa tayangan televisi saat ini sangat tidak mendidik. Saya
pribadi dan mungkin juga banyak orang di luar sana mengecam hal-hal negatif
yang ditayangkan oleh televisi.
Sebagai masyarakat yang proaktif dalam
tatanan yang demokratis, kiranya mengecam saja tidak akan mampu menyelesaikan
berbagai persoalan yang terjadi dalam tayangan televisi. Kita harus mengadukan
berbagai konten yang bermasalah tersebut ke pihak yang berwenang. Indonesia
memiliki regulator “independen” yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang
dapat menjadi wadah untuk menyalurkan pengaduan.
Namun, selama ini pengaduan “masih”
ditanggapi dengan pemberian surat teguran tertulis kepada pihak stasiun
bersangkutan. Terkadang pengaduan hanya berbuah pemindahan jam tayang atau
penghentian sementara. Setelah penghentian tayangan selesai, acara televisi
yang bermasalah itu berganti nama. Kita dapat melihat Empat Mata yang menjadi
Bukan Empat Mata tetapi memiliki konsep dan masalah yang sama.
Sepertinya, masyarakat benar-benar
harus bersikap proaktif dalam mengawal tayangan-tayangan televisi yang
bermasalah. Mengadukan persoalan itu pada KPI saja tidak cukup. Kita –
masyarakat harus menggerakkan KPI untuk lebih tegas dalam menyikapi
tayangan-tayangan televisi saat ini. Independesi KPI harus dipertanyakan jika
dan hanya jika sikapnya masih demikian. Sebagai masyarakat yang berada dalam
sistem tatanan demokratis – kita harus mengukuhkan posisi suara kita dalam
mengatur lembaga penyiaran yang lebih ideal. Untuk itu, mengefektifkan kinerja
KPI dalam mengelola seluruh suara aspirasi masyarakat sangat diperlukan.
Dalam hal ini, beberapa lembaga
independen lain yang dapat membantu mengefektifkan kinerja KPI adalah Remotivi.
Remotivi memiliki aplikasi android bernama Rapotivi yang dapat digunakan untuk
mengadukan konten televisi yang bermasalah. Aplikasi ini dapat diunduh secara
gratis di playstore. Dengan menggunakan aplikasi ini, mungkin kita dapat
menggeser peran Nielsen dalam memberikan rating
kepada stasiun televisi.
Namun, apabila kondisi seperti ini
masih sulit untuk diperbaiki sekalipun pengaduan terus dilakukan
Tayangan-tayangan televisi yang tidak mendidik dan merusak moral bangsa itu masih
disiarkan. Apa boleh buat – sebagai masyarakat yang harus proaktif kita harus
beranjak dari sofa yang empuk itu. Meninggalkan tayangan televisi yang masih
tidak berkualitas dan mematikannya; sebab mengganti kanal hanya berbuah
persoalan baru. Seperti yang diucapkan oleh Howard Beale, dalam salah
satu adegan film Network; televisi bukanlah kebenaran. Televisi hanyalah ilusi.
Oleh sebab itu, menurutnya, kita semua harus mematikan televisi; sekarang juga.
Mengamini ucapan Howard, mungkin kita semua perlu mematikan televisi secara
serentak.
Comments
Post a Comment