Catatan tentang Semester Empat

Setelah melihat nilai terakhir yang keluar di semester empat ini, hati rasanya langsung lega. Akhirnya saya menyelesaikan semester empat dengan tuntas; dengan kata lain tidak ada yang mengulang. Sangat plong rasanya ketika semester empat resmi usai dengan predikat “usai”. Terlepas dari “keberhasilan” saya menyelesaikan semester ini, ada banyak hal yang saya pelajari dari semester empat. Saya menyebut satu semester ini dengan fase yang paling mengerikan (saat ini) selama saya berkuliah.

Saya tidak pernah benar-benar mengalami rasa yang teramat insecure dalam menghadapi perkuliahan. Selama ini saya tergolong (sangat) santai dan mengerjakan seluruh tugas dengan (amat) santai pula. Namun, semester ini, (walaupun saya tetap santai) benar-benar sebuah perjuangan. Ada banyak hal yang bisa saya ambil sebagai pelajaran. Semester ini benar-benar fase berdarah-darah. Saya mungkin terdengar berlebihan. Tapi percayalah, untuk melalui semester ini, saya tidak bisa sesantai semester kemarin.

Semester empat kemarin, saya mendapat beban 24 sks dan delapan mata kuliah – yang ternyata isinya seram semua. Yang paling seram adalah Jurnalisme Media Cetak, Reportase, Metode Penelitian Kualitatis, Sosiologi Komunikasi, Psikologi Komunikasi, Media Budaya dan Kaum Muda, Manajemen Media, dan Hukum Media. Eh, kok ternyata saya nyebutin semua ya? Hahaha. Semuanya memang susah. Dulu, hanya perlu baca buku dan asal ngutip – yang penting pakai sitasi. Sekarang, analisis harus tajam. Dan inilah yang paling susah.

Semester empat kemarin, kehidupan saya diisi dengan banyak sekali wawancara-wawancara. Rasanya kuping saya sampai nyeri setengah mati karena harus mendengarkan ulang percakapan absurd antara saya dan narasumber. Juga harus merasakan telinga yang berdenging-denging.

Jika saya memutar kembali satu per satu peristiwa di semester empat kemarin, rasanya bikin ngakak sekaligus lega. Rasanya perjuangan kemarin itu yang paling berdarah-darah. (Iya saya tahu ini berlebihan). Tapi percayalah, mungkin kalian juga bakal stres jika harus berhadapan dengan birokrat-birokrat yang birokrasinya super ketat dan tega (sekali) menolak surat-surat pengantar wawancara. Beberapa menyuruh mengulang. Beberapa menolak karena sibuk. Lainnya, berkepentingan untuk tidak terlibat masalah-masalah sensitif di Yogyakarta sehingga memilih untuk bungkam.

Namun yang jelas, pembelajaran yang paling banyak saya dapatkan ya di semester empat kemarin. Mungkin karena kami kerja praktisi – turun lapangan langsung. Dan ya... turun lapangan langsung ini benar-benar absurd bagi saya. Untuk seorang yang menderita buta arah akut, saya sering nyasar dan gagal menemui narasumber. Pernah sekali, berkeinginan mencari foto-foto pembangunan hotel yang terjadi di Yogyakarta – saya sampai nyasar ke Bantul.


Hebat betul sampai Bantul. Pagi itu – sekitar jam lima lebih limabelasmenit – saya memutuskan keliling Jogja untuk berburu foto. Dengan modal kamera samsung tiga megapiksel yang blur dan pasti pecah itu saya berangkat dengan percaya diri. Saat itu saya hanya berbekal duit duapuluh ribu. Saya tidak membawa dompet beserta berbagai kartu identitas saya; termasuk SIM, STNK, dan KTP. Saya pikir, saya hanya akan sebentar. Setengah jam cukuplah untuk berkeliling beberapa daerah di Yogyakarta.

Akan tetapi, perkiraan saya salah! Salah besar! Saya nyasar sampai Bantul! Parahnya, saya nyasar sampai tempat yang bahkan hanya berupa semak-semak belukar, pohon-pohon, dan sawah yang tidak terurus. Bensin sudah masuk di level merah. Saya sudah berpikir yang tidak-tidak. Apalagi di tempat saya nyasar tidak ada siapapun – termasuk rumah penduduk. Akhirnya saya berusaha menelusuri jalanan dan mencari perkampungan. Oh, ya, saya bahkan tidak tahu arah Barat dan Timur. Juga Selatan dan Utara. Jadi, ya, saya asal saja menelusuri jalan. Salah-salah saya bisa sampai Wonosari kalau salah ambil arah.

Tapi akhirnya saya berhasil menemukan perkampungan dan menemukan jalan besar dan segera kembali ke kos untuk menghirup napas lega.

Semester kemarin memang lucu. Ada banyak hal lucu yang tidak bisa saya ceritakan semua di sini. Beberapa adalah aib dan dosa besar. Jika saya beberkan di sini; takut berbuntut pada hal-hal yang tidak menyenangkan. Seperti misalnya saja ada peristiwa yang hingga kini mengganjal hati saya saat mengerjakan tugas kelompok untuk UAS. Hal ini ditenggarai perihal salah satu teman kelompok yang nyinyir di twitter tetapi enggan menggerakkan teman-temannya. Maksud saya sih, alangkah lebih baik jika teman saya itu mengutarakan kegelisahannya kepada teman satu kelompok. Kalau cuma nyinyir di sosial media – tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Tidak akan pernah.


Namun, terlepas dari semua itu, akhirnya saya menyelesaikan semester empat!

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan