Mereka yang Berkunjung ke Posyandu (Sendirian)
Entah kebetulan atau memang sedang dijadwal, perempuan-perempuan yang tengah mengandung datang bersamaan ke puskesmas – tepatnya di posyandu. Mereka –yang datang sendiri atau bersama pasangan terlihat duduk di deretan kursi panjang menunggu antrian. Tiga orang perempuan yang tengah mengandung dengan perut membesar duduk di sebelah seorang perempuan paruh baya yang terbatuk-batu. Dua di sisi kanannya, seorang lagi – yang masih terlihat sangat muda duduk di sebelah kirinya.
“Datang sendiri Mbak? Suaminya di
mana?” tanya perempuan paruh baya itu pada perempuan yang duduk tetap di
sebelah kanannya. Perempuan itu tersenyum sekilas kemudian menunjuk seorang
pria yang tengah menggendong seorang anak laki-laki berusia dua tahun. “Sedang
mengantarkan anak saya membeli camilan,” katanya.
“Wah bagus!” perempuan paruh baya
itu berseru. “Seorang suami yang baik memang harus menemani istrinya periksa
kehamilan. Saya selalu tidak tega lho, Mbak kalau lihat perempuan hamil jalan
sendirian.” Katanya lagi. Perempuan muda itu meringis.
“Kalau Mbak, di mana suaminya?”
perempuan paruh baya itu kembali bertanya pada perempuan lain yang duduk di
sebelah kanannya.
“Suami saya sedang bekerja hari
ini. Kebetulan dinas di luar kota. Sayang sekali tidak bisa menemani,
pekerjaannya sangat mendesak,” ujarnya yang disambut dengan anggukan paruh baya
itu berkali-kali. Perempuan paruh baya itu pun menerka-nerka jika suami
perempuan itu malah selingkuh dengan kedok bekerja. Perempuan itu menghapus
bayang-bayang itu dan beralih pada perempuan hamil yang lain.
“Kalau adek? Suami adek di mana?
Adek datang sendiri?” perempuan paruh baya itu beralih pada perempuan yang
duduk si sebelah kirinya. Sebenarnya, perempuan paruh baya itu agak terheran-heran
dengan perempuan itu. Dia terlihat terlalu muda – bahkan sangat belia untuk
mengandung dengan ukuran perut sebesar itu. Tapi rasa penasarannya akibat
terlalu rindu ingin menimang cucu atau memiliki menantu, dia menjadi begitu
agresif melihat perempuan-perempuan muda yang sedang hamil.
Perempuan itu – yang masih sangat
belia tidak menjawab. Sedari tadi dia hanya duduk diam dan menundukkan kepala.
Entah apa yang membuatnya begitu khidmat menunduk – tetapi jari-jemarinya
begitu gelisah dan ia terus memainkannya. Pergerakannya semakin cepat ketika
perempuan paruh baya yang duduk tepat di sebelahnya bertanya perihal pendamping
perempuan-perempuan itu. Jantungnya pun hampir copot ketika akhirnya ia
mendapatkan giliran pertanyaan seperti itu.
Perempuan itu – yang masih sangat
belia tidak menjawab. Suaminya – pendampingnya memang tidak mengantarnya ke
posyandu ini – apalagi menungguinya sembari membelikan camilan untuk anak
pertama mereka. Anak yang dikandungnya saat ini bahkan adalah yang pertama.
Suaminya – pendampingnya juga tidak sedang bekerja seperti yang dituturkan oleh
perempuan kedua. Dia tidak lembur atau harus dinas ke kota lain.
Perempuan belia itu masih tidak
ingin jawab. Dia tidak mau kelepasan bercerita dan gundah-gulananya lolos saat
itu juga. Ia mati-matian menahan air mata dan berusa menghindar dari sorotan
mata perempuan paruh baya itu. Dia memang menunduk, tapi mata itu seolah-olah
mengintainya untuk segera menjawab pertanyaan yang tidak ingin dijawabnya.
Perempuan belia itu memutuskan
untuk tidak menjawab dan meremat bajunya keras-keras seolah-olah jadi petanda
bahwa ia tidak ingin diganggu saat ini. Jika saja perempuan paruh baya itu bisa
sedikit peka dengan tanda itu – tentunya matanya akan beralih dan ia pun
mengganti topik lain. Jika saja perempuan paruh bayi itu tahu bahwa perempuan belia itu tidak suka
diungkit-ungkit persoalan ayah bayinya. Jika saja perempuan paruh baya itu
tahu, tepat enam bulan yang lalu, perempuan belia itu meleleh di gang sempit,
dikerubuti oleh lima pria sekaligus. Tubuhnya terburai, auratnya hancur, begitu
segalanya selesai – ia ditinggalkan begitu saja di sana. Tiga bulan yang lalu –
ia ketahuan hamil. Bukannya mendapatkan pembelaan dan dukungan, ayahnya yang
seorang Jendral itu mengusir anak gadis semata wayangnya. Ia terus
menyeru-nyerukan kehormatan yang hampir sirna akibat peristiwa memalukan itu.
Jika saja perempuan paruh baya itu tahu, satu bulan yang lalu perempuan belia
itu menenggak baygon untuk menghabisi kisah hidupnya yang pilu. Untungnya,
seseorang menemukannya yang hampir sekarat dan membawanya ke rumah sakit. Kini,
perempuan belia itu mendapat perlindungan di salah satu LSM Perlindungan Anak
dan Perempuan.
Jika saja perempuan paruh baya
itu tahu – perempuan belia itu benar-benar tidak ingin menjawab pertanyaannya.
Seharusnya perempuan paruh baya itu tahu benar rasanya berjalan sendirian ke
posyandu dengan membawa bobot berkilo-kilo di tubuhnya tanpa bantuan siapapun.
Seharusnya perempuan paruh baya itu tahu bagaimana rasanya duduk sendirian di
posyandu sedangkan perempuan-perempuan lain digandeng pasangannya. Seharusnya
perempuan paruh baya itu tahu bagaimana lehernya berjengit dan bulu kuduknya
meremang ketika mendengar pertanyaan yang ia lontarkan sendiri. Seharusnya
perempuan paruh baya itu tahu bagaimana rasanya dikucilkan karena hamil – tanpa
suami.
Sebab, perempuan itu juga
mengalami hal yang sama dengan perempuan belia itu.
Tanpa berkata apa-apa lagi –
perempuan paruh baya itu mengenggam tangannya. “Tidak usah takut. Kita berdua
sama Nak,” perempuan belia itu akhirnya mengangkat kepalanya. Perempuan paruh
baya itu tiba-tiba mengalami nostalgia masa lalu ketika melihat kedua mata
perempuan belia itu. Sembari tersenyum sendu, kedua mata itu mengingatkannya
pada bayangan tigapuluh tahun silam– membangunkan alam bawah sadarnya yang
sudah berjanji untuk menguburnya dalam-dalam. Kedua bola mata itu
mengingatkannya pada seorang tentara yang ia yakini kini telah menjadi Jendral.
Kedua mata itu begitu mirip dengan tentara itu. Tentara yang pernah
memporak-porandakan kehidupannya – yang pernah membuat hidupnya penuh
keputusasaan – dan membuatnya harus berkunjung sendirian ke posyandu sendirian
– tanpa teman – tanpa pasangan – dengan jutaan prasangka dan pengucilan.
Catatan: Tulisan ini ditulis
setelah melihat sebuah kejadian di puskesmas kemarin. Aku melihat seorang
perempuan belia yang bahkan mungkin lebih muda dariku yang duduk sendirian di
pojok bangku ruang tunggu. Ia menggenggam buku kesehatan kandungan. Seorang
perempuan paruh baya mendekatinya dan bertanya tentang suaminya. Dan perempuan
itu hanya menjawab dengan kepala yang semakin menunduk dan bahu yang agak
bergetar. Aku hanya berharap, tidak ada satupun perempuan yang harus
memeriksakan kandungannya sendirian. Setidaknya, harus ada yang menemani
mereka. Semata-mata – agar pasangan mereka tahu – bahwa anak mereka akan
terlahir dengan keadaan baik-baik saja.
Comments
Post a Comment