[Teori Komunikasi] Memetakan Teori Komunikasi ke dalam Tradisi Retorika



Tradisi Retorika didefinisikan sebagai seni berbicara yang efektif dan persuasif. Tradisi ini menganalisis ‘keindahan’ dan ‘estetika’ dari suatu wacana baik berupa pidato (berbicara/lisan) maupun teks (tulisan). Kata kunci dari Tradisi Retorika adalah persuasif, argumen, dan speechmaking.
Dalam memetakan teori komunikasi ke dalam tradisi retorika, kita harus mengetahui terlebih dahulu ranah atau konteks komunikasi yang akan dikaji. Terdapat delapan konteks yang dapat dijadikan dasar dalam memetakan teori komunikasi. Kedelapan konteks tersebut adalah: komunikator, pesan, perbincangan, keterhubungan, kelompok, organisasi, dan media serta budaya sosial.
Teori-teori yang akan dipetakan ke dalam tradisi retorika, ditilik dari kesamaan karakteristik dan pengkonsepsualisasi konteks. Menelisik dari konteks tersebut, teori komunikasi yang akan dipetakan ke dalam tradisi retorika memenuhi tujuh konteks yang akan dibahas sebagai berikut:

1.      The Communicator (Komunikator)
Tradisi ini melihat komunikator sebagai informan atau pengirim pesan yang berusaha berkomunikasi dengan cara persuasif dan argumentatif. Terdapat dua teori komunikasi yang dapat dipetakan ke dalam tradisi retorika.
a.      Richard Weaver’s Theory of Truth and Rhetoric
Pada teori ini Richard Weaver memfokuskan kajiannya pada proses bagaimana komunikator menyatakan pandangan mereka dalam pemilihan retorika (seni berbicara). Pemilihan retorika yang tepat akan membuat komunikator menjadi lebih signifikan dalam proses komunikasi. Tidak hanya itu, Weaver juga menambahkan bahwa komunikator harus memiliki tanggung jawab atas pemilihan kata yang diucapkan. Karena pada hakikatnya, setiap perilaku komunikasi memiliki nilai-nilai yang memuat kebenaran dan cara komunikator dalam melihat realitas.
Weaver mengklasifikasikan tiga konsep yang dapat memengaruhi komunikator:
1. Source of Argument (sumber argumen)
2. Grammatical Categories
3. Ultimate Terms
Kata kunci dari teori ini adalah : komunikator, truth (kebenaran), subjek, objek, reality (realitas), beliefs (kepercayaan), ideas (ide), values (nilai), dan cultural ideal (idealisme budaya).
b.      Ernesto Grassi’s Italian Humanism
Grasi mengaji sebuah peristiwa di mana hak-hak dan keadaan manusia mengalami perubahan. Dari konsep ini, Grassi menekankan pada distorsi dan tendensi menurunnya rasa kemanusiaan mansia. Teori ini juga  menjelaskan bahwa komunikasi dimulai karena adanya pertimbangan keadaan dan persamaan pengalaman. Kedua hal tersebut melambangkan suatu konsep yang disebut manusiawi. Di mana komunikator mendapatkan kemudahan dalam berkomunikasi karena adanya pertimbangan keadaan dan persamaan pengalaman.
Teori ini menekankan peran yang dijalani manusia dalam memahami pengertian (sense) yang tercipta di antaranya dan bagaimana respon atas peran yang dilakukan manusia. Pilihan-pilihan yang dilakukan oleh manusia bagik melalu imajinasi, aksi, maupun bahasa akan mempengaruhi mereka ketika berperan sebagai komunikator. Namun, dalam menentukan pilihan tentunya terdapat konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan.
Kata kunci : humanism (kemanusiaan/manusiawi), experience (pengalaman), sense, conditions (keadaan), imaginations (imajinasi), actions (aksi), dan choices (pilihan).

2.      Pesan (The Message)
Studi tradisi retorika yang fokus dengan pesan (message) berkaitan dengan segala sesuatu yang bersifat formal, terencana, dan memiliki usaha persuasif baik dalam berbicara maupun menulis. Dalam fokus pessan (message) tradisi retorika mengandung banyak teori. Hal tersebut dikarenakan retorika meliputi pemahaman dari cara berbicara atau keahlian berpidato. Dalam berpidato tentunya diperlukan penemuan (invention), organisasi (organization), perencanaan (arrangement), gaya (style), pengiriman (delivery), dan memori (memory) sebagai penunjuk, resepsi dan analisis dari pesan oleh pendengar.   
a.      Perelman and Olbrechts-Tyteca’s New Rhetoric
Terinspirasi dari disiplin ilmu filsafat dan hukum dalam mengatasi problematika keadilan, Perelman dan Olbrechts bersama-sama menciptakan teori baru mengenai retorika, yaitu teori retorika baru.
Teori ini fokus pada situasi di mana nilai digunakan untuk pengklaiman. Nilai itu sendiri dijadikan sebagai dasar untuk menentukan rasionalitas. Studi pesan (message) dalam teori ini meliputi nilai dan rasionalitas. Yang di mana digunakan dalam proses pembentukan argumentasi.
Teori ini menaruh perhatian pada nilai kesengajaan pesan yang kita sebut dengan nonformal logic. Perbedaan antara rational dan reasonable adalah rasionalitas menaruh perhatian pada sistem formal dari logiakn lebih abstrak. Sedangkan reasonable (sebab) adalah argumen yang terjadi sehari-hari. Premis-premis di dalamnya harus dapat diterima pendengar dan memiliki konklusi dari argumentasi yang diutarakan. Argumentasi menjadi krusial karena digunakan untuk pengklaiman.
Singkatnya, teori ini menjelaskan bagaimana argumentasi tentang teori berkembang dalam pesan. Teori ini memberikan detail dan skema umum untuk memahami rasionalitas yang terjadi setiap hari dalam berbagai penyebab.
Kata kunci dalam tradisi ini adalah : values (nilai), rationality (rasionalitas), reasonable (beralasan), claim (klaim/pengakuan), dan arguments (argumen).

b.      Toulmin’s Practical Argumentation
Toulmin juga menciptakan teorinya melalui ilmu filsafat. Konsep dari  teori ini hampir sama dengan Teori Retorika Baru, yaitu rasionalitas. Perbedaannya terletak pada bagaimana teori ini mencoba untuk lebih memhami fungsi rasionalitas dalam pesan yang dikirim dan diterima sehari-hari.
Melalui teori ini, Toulmin juga memikirkan tentang kepastian pengetahuan. Apakah pengetahuan selalu tetap setiap saat atau dapat berubah dan berkembang. Toulmi berupaya untuk memahami kepastian (certainty) dari pesan dan fungsi dari rasionalitas perbedaan tradisi antara berbagai argumen.
Toulmi mengklasifikasikan dua argumen yaitu argumen substantif (langsung menghasilkan konklusi dari keterangan yang ada) dan argumen analisis (didasarkan pada hal-hal universal, premis yang tidak berubah, dan konklusi yang terjadi secara alami melalui premis yang sudah ada).
Teori ini memetakan keputusan-keputusan dari berbagai argumentasi untuk mengklaim keadilan, mendemonstrasikan bagaimana pengkontekstualisasian dan penyesepesifikasian dari berbagai kasus dalam argumen tersebut. Teori ini menawarkan sebuah pendekatan untuk memahami dan menganalisis proses yang melipui konstruksi pesan dari sebab informal.
Kata kunci : rationality (rasionalitas), message (pesan), conclusion (konklusi/simpulan), knowledge (pengetahuan),  dan argumentation (argumentasi)
c.       Bitzer’s Rhetorical Situation
Teori berfokus pada estetika atau seni dalam sebuah situasi ketika kita sedang berbicara. Dalam satu situasi terdapat pesan-pesan yang sebenarnya disampaikan baik tersirat maupun tersurat. Teori ini menjelaskan apa yang menjadikan suatu situasi retorika dan untuk memberikan kesan penting dalam teori retorika. Bitzer mendefinsikan situasi retorika secara spesifik dan memandangnya sebagai sejarah atau pengaruh di masa yang akan datang. Bagi Bitzer, situasi retorika akan menimbulkan wacana, wacana tersebut datang karena adanya respon dan memberikan pengertian terhadap situasi tersebut.
Bitzer mendefinisikan situasi retorila sebagai kompleksitas dari orang-orang, peristiwa, objek dan relasi yang menunjukkan sesuatu yang aktual atau keadaan darurat yang dapat hilang sebagian atau semua jika wacana yang diperkenalkan dalam situasi, dapat menjadi ketileluasaan dalam pengambilan keputusan manusia ketika mengatasi keadaan darurat yang terjadi.
Kata kunci dari teori ini adalah : situation (situasi), audience (pendengar),  subjek, objek, persons (orang), events (peristiwa), relation (relasi), exisgence (keadaan darurat), constrain (ketidakleluasaan) speaker (pembicara), dan speech (pidato)
d.      Burke’s Theory of Identification
Pandangan Burke dimulai dengan konsepnya mengenai aksi/tindakan. Burke memulai dengan perbedaan action (aksi), dan motion (bergerak). Burke memahami aksi dengan sesuatu hal yang memliki tujuan dan makna. Sedangkan motion tidak memiliki tujuan dan lahir tanpa makna.
Berdasarkan perilaku penggunaan simbol atau kemampuannya melakukan tindakan, manusia dipandang oleh Burke sebagai makhluk biologi dan neurologis. Lebih lanjut ia mendeskripsikan manusia sebagai: (1) pencipta simbol, (2) pengguna simbol, dan (3) penyalahguna simbol. Salah satu hal yang membangkitkan minat Burke adalah premis bahwa seseorang dapat menyimbokan atu menandakan suatu simbol. Contohnya seseorang menulis dengan kata-kata.
            Menurut Burke, realitas dimediasikan oleh simbol-simbol. Ia sependapat dengan Mead bahwa bahasa berfungsi sebaga sarana aksi/tindakan. Bahasa membentuk tingkah laku karena kebutuhan sosial manusia untu bekerja sama dalam maelakukan tindakannya.
            Istilah-istilah yang berkaitan dengan komunikasi, menurut Burke, antra lain (1) Consubstantiality; substansi yang ada dalam stiap orang dalam tindak komunikasi yang saling meliputi/melengkapi pada tingkat tertentu. (2) Identifikasi; pemahamannya hampir sama dengan consubstantiality, yaitu mengenal dan menyelidiki karakter melalui simbol-simbol atau tanda-tandaa yang ada.
            Metode dasar Burke untuk mengalisis events ‘kejadian-kejadian’, adalah dramatistic pentad, yang meliputi act, scene, agent, agency, dan purpose.
            Kata kunci : action (aksi/tindakan), motion (gerak), using symbols (penggunaan simbol), language (bahasa), dan behaviour (tingkah laku)
e.       Fisher’s Narrative Paradigm
Paradigma naratif mengemukakan keyakinan bahwa manusia adalah seorang pencerita. Akal, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan perilaku kita. Manusia lebih mudah terbujuk oleh sebuah cerita yang menarik daripada argumen yang kuat. Paradigma naratif mengkonsepkan bahwa manusia adalah penceita dan manusia mengalami kehidupan suatu benuk narasi. Logika narasi lebih dipilih dibandingkan logika tradisional yang digunakan argumentasi. Logika narasi (logika dari pemikiran yang luas), menyatakan bahwa orang menilai kredibilitas pembicara melalui apakah ceritanya runtut  (mempunya koherensi) dan memiliki kebenaran.
Paradigma naratif memungkinkan sebuah penilaian demokratis terhadap pembicara karenaa ada seorang pun yang harus dilatih secara khusus agar mampu menarik kesimpulan berdasarkan konsep koherensi dan kebenaran.
Konsep kunci dalam pendekatan paradigma naratif; narasi, stories (cerita), sense (akal), emotion (emosi),  rasionalitas naratif, koherensi,  dan logika.

3.      The conversation
f.        Simbolic Convergence Theory
Teori konvergensi simbolik dipelopori oleh Ernest Brooman, toeri ini menjelaskan tentang proses pertukaran pesan yang menimbulkan kesadaran kelompok yang menghasilkan hadirnya makna, motif dan juga persamaan bersama. Kesadaran kelompok yang terbangun dalam suatu kelompok dapat membangun semacam makna, motif untuk bertindak bagi orang-orang dalam komunikasi tersebut.
Menurut Ernest Brooman kata lain untuk proses konvergensi simbolik adalah tema fantasi. Tema fantasi adalah pesan yang didramatisasi seperti permainan kata-kata, cerita, analogi, dan pidato yang menghidupkan interakasi dalam kelompok. Setiap individu akan saling berbagi fantasi karena kesamaan pengalaman atau karena orang yang mendramatisasi pesan memiliki kemampukan retorika yang baik.
Symbolic Convergence Theory (SCT), menjelaskan bahwa makna, emosi, nilai, dan motif untuk tindakan di retorika yang dibuat bersama oleh orang yang mencoba untuk memahami dari pengalaman yang umum, seperti keragaman kehidupan.
            Teori ini mengupas tentang fenomena pertukaran pesan yang memunculkan kesadaran kelompok yang berimplikasi pada hadinya makna, motif, dan perasaan bersama. Artinya teori ini berusaha menerangkan bagaimana orang-orang secara kolektif membangun kesadaran simbolik bersama melalui suatu proses pertukaran pesan. Kesadaran simbolik yang terbangun dalam proses tersebut kemudian menyediakan semacam makna, emosi dan motif untuk bertindak bagi orang-orang atau kumpulan orang yang terlibat di dalamnya.
            Kata kunci dalam konsep ini: symbols (simbol), awareness (kesadaran), meanings (makna), values (nilai), emotion (emosi), motif, experience (pengalaman), action (tindakan), stories (cerita), analogy (perandaian), dan fantasy (fantasi).
g.      Invitational Rhetoric
            Teori retorika ajakan diciptakan oleh Sonja K foss dan Cindy L. Griffin dalam karya tulis mereka “Beyond Persuasion” yang menawarkan sebuah perspektif berdasarkan nilai-nilai feminis terhadap kesetaraan, nilai tetap dan determinasi diri. Retorika ajakan menggunakan invitation (undangan), kita berusaha untuk mengajak orang lain untuk mengenali perspektif kita tetapi tetap memberikan kebebasan kepada audiens untuk mengikuti atau tidak sehingga terjadi klarifikasi ide-ide dari semua partisipan.
            Perubahan yang dihasilkan sebagai bagian dari interaksi adalah hasil dari pengetahuna bukan pengaruh karena perubahan itu pilihan sendiri. Daripada membuat orang lain menyetujui bahwa perspektif anda “benar,” perspektif yang beda dianggap sebagai sebuah dasar untuk pemahaman yang lebih baik lagi terhadap suatu isu.
            Retorika ajakan menjalankan asumsi bahwa ketika kita membuka diri kita sendiri terhadap ide-ide dengan bebas yang berbeda dari diri kita, kita memiliki banyak kesempatan untuk memahami. Sonja Foss dan Karen Foss dalam Inviting Transformation mengklasifikasi tiga model retorika dalam budaya kita.
a.       Conquest Rhetoric: sebuah interaksi yang kemenangan merupakan tujuannya.
b.      Conversion Rhetoric: Dirancang untuk mengubah perspektif dan perilaku orang lain berdasarkan pada superioritas dan kebenaran dari sebuah kedudukan.
c.       Benevolent Rhetoric: Dibuat untuk membantu orang lain memperbaiki hidupnya dengan penuh kebajikan yaitu informasi diberikan kepada orang lain dengan maksud menguntungkan mereka.
Kata Kunci; invitation (ajakan), perspektif, ideas (ide), dan patisipan.

4.      The Relationship (Hubungan)
a.      Bakhtins Theory of Dialogies
            Teori ini membahas mengenai ujaran, dialog (percakapan), dan  tujauan yang menjadi karakteristik dari dasar situasi retorika yang melibatkan teks, pembicara, dan pendengar. Jadi, penulis sepakat untuk memetakan teori ke dalam tradisi retorika. Teori ini membantu kita dalam memahami hubungan sosial yang sedang terjadi dari ujaran-ujaran yang dikonstruksikan dan berhubungan dengan dialog lainnya.
            Bakhtin menggunakan istilah fisika untuk mendiferensiasikan dua jenis teori dialogisme yaitu; centripetal forces & centrifugal forces.
            Produk dan potensial dari dialog tidak pernah berakhir karena dialog akan terus terjadi dan berkesinambungan.
            Dialog merepresentasikan kontekstulisasi, proses yang sedang berjalan, dan perkembangan subjek yang berkontribusi dalam mendefinisikan kembali dialog dari partisipan.
            Dialog juga membentuk budaya, karena setiap interaksi dialog adalah pandangan dari setiap budaya dari sudut-sudut yang penting
            Kata kunci: prosaic (membosakan/menjenuhkan), unfinalizability (tidak terselesaikan), heteroglossia, utterance (ujaran), addresivity (tujuan), unending (tidak berakhir), dan enormous (sangat besar/luas).
b.      Aimee Carrillo Rowe’s Theory of Coalition and Alliance Building
            Dalam bukunya, Power Line: On the Subject of Feminist Alliance, Aime Carrillo rowe memberikan teori retorika dari aliansi feminimse yang didasarkan pada hubungan (relationship).
            Teori ini menunjukkan bagaimana feminis membentuk aliansi tindakan retorika,  penemuan-diri yang dipilih, strategis, dan produktif. Aliansi feminis menghubungkan perempuan untuk satu sama lain dan sirkuit kekuasaan di akademi.
            Kandungan dari pemikiran Rowe yang lain adalah bahwa perempuan sering tidak menyadari bahwa pilihannya akan menjadi aliansi. Jika mereka menyadari bahwa asumsi dan pilihan mereka dapat menjadi kekuatan isu yang kuat, mungkin mereka mengirimkan suatu kekuatan dan fungsi dari proses tersebut.
            Kata kunci : feminis, women (perempuan), power (kekuasaan), dan relationship (hubungan)

c.       The Group (Kelompok)
Dalam konteks kelompok, tidak ada teori komunikasi yang dapat dipetakan ke dalam tradisi retorika.
d.      The Organization (Organisasi)
a.      Organization Control Theory
            Teori ini tertarik pada cara di mana komunikasi biasa menetapkan kontrol atas karyawan. Pengendalian diberikan dalam organisasi dalam lima cara.
            Teori kontrol organisasi menunjukkan bagaimana komunikasi biasa dalam sebuah organisasi dapat struktur pekerjaan dan hubungan yang berkembang di sana. Pada bagian berikut, kita beralih ke teori tradisi sosial budaya, yang memberikan wawasan yang lebih dalam proses di mana realitas dan budaya yang dibangun dalam interaksi biasa.
            Kata kunci: control (pengawasan), employee (pekerja) dan  struktur.
b.      The Media (Media)
a.      Kenneth Burke’s Equipment for Living
            Burke menunjukkan bahwa sebagai perlengkapan untuk hidup, retorika membantu penonton dalam menghadapi atau manuver melalui kehidupan. Dengan cara ini, retorika menyediakan grafik atau peta-set kreatif pedoman untuk memilih tindakan seperti yang kita bergerak melalui dunia. Unsur-unsur retoris yang berfungsi sebagai panduan ini dapat menjadi pola resmi tertentu, seperti yang disediakan oleh kiasan retoris, peribahasa, dan sejenisnya; genre retoris, seperti komedi atau tragedi, atau bahkan tema-tema yang muncul kembali dalam wacana.
            Kata kunci : equipment (perlengkapan), living (kehidupan), face off (menghadapi), dan patterns (pola)

Culture and society (Budaya dan Sosial)
a.      Critical Rhetoric
            Titik awal untuk retorika kritis adalah hegemoni tradisional praktek retoris, di mana orang-orang diatur berbicara mengenai apa dan kapan. Sebaliknya, sikap retoris kritis menantang kekuatan pembentukan dan menawarkan kritik terhadap dominasi dan kritik kebebasan sebagai meliputi tujuan.
            Sebuah kritik terhadap dominasi mengacu pada emansipasi dari kekuasaan represif, sementara kritik kebebasan meninjau kekuasaan produktif dapat dibuat dalam hal positif "untuk menjadi lain daripada kita saat ini."
            Retorika kritis berusaha untuk memahami asumsi yang mendasari berbagai bentuk wacana dalam hal bagaimana mereka berfungsi untuk mempromosikan baik dominasi atau kebebasan.
            Kata kunci : critical (kritis), domination (dominasi), power (kekuasaan), dan discourse (wacana).
b.      Dana Cloud’s Materiality of Discourse
            Karya Dana Cloud di "materialitas wacana" adalah contoh pekerjaan retoris kritis kontemporer dalam disiplin ilmu komunikasi. Sebagai pendukung kontemporer karya Marxis, ia melintasi tradisi retoris dan kritis, seperti halnya McKerrow. Cloud berpendapat bahwa dengan popularitas konstruksionisme sosial – garis pemikiran bahwa simbol-simbol sosial membangun dunia-kritik enggan untuk menyatakan bahwa kondisi politik dan material yang terlibat dalam teks.
            Sebaliknya, konstruksi sosial adalah konten untuk menggambarkan pola dalam wacana dan melihat realitas sebagai formasi diskursif, "retoris dibuat dan retoris diubah."
            Menurut Cloud, emansipasi tidak dapat dicapai melalui pembicaraan saja, dan posisi konstruksionis seperti ekstrim tidak memberikan pedoman dalam mengevaluasi ideologi yang berbeda atau untuk bertindak di dunia.
            Kata kunci : materiality (material/bahan), discourse (wacana), critical (kristis), construction (kontruksi), symbols (simbol), dan reality (realitas).

            Berdasarkan pembahasan di atas, dari kedelapan ranah komunikasi, terdapat tujuh ranah yang dapat dikontekskan ke dalam tradisi retorika. Grup (kelompok) tidak memiliki unsur-unsur yang ada dalam tradisi retorika sehingga tidak dapat dikontekskan ke dalamnya.





Referensi :
Littlejohn, Stephen W & Karren A Foss., 2011, Theories of Human Communication,             Boston: McGraw Hill.

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan