Sebab, Aku (Bukan) Seorang Perempuan
“Aku lupa bahwa
aku perempuan” – itu Suad, tokoh utama dalam novel “Aku Lupa Bahwa aku
Perempuan” garapan Ihsan Abdul Quddus – seorang novelis sekaligus jurnalis
Mesir. Dalam novel itu, diceritakanlah seorang perempuan pernama Suad yang
memiliki ambisi besar terhadap karier politik dan pendidikannya. Ambisi yang
terlampau besar itu membuatnya melupakan kodrat bahwa dirinya adalah perempuan.
Ia lebih suka diperlakukan sebagai seorang politikus atau cendekiawan –
diibandingkan diperlakukan sebagai seorang perempuan. Dan ia pun – telah melupakan
bahwa ia adalah seorang perempuan.
Berkebalikan
dengan apa yang dialami oleh Suad, orang-orang di sekelilingkulah yang lupa
bahwa aku perempuan. “Mereka lupa bahwa aku perempuan” – begitulah yang terus
menjeri-jerit di hatiku. Aku heran, mengapa orang-orang (pria) di sekitarku
tidak dapat melihatku sebagai seorang perempuan. Hanya karena aku suka
mempelajari tentang feminisme – mereka lantas menganggap bahwa aku adalah
seorang perempuan independen yang mandiri. Aku memang independen – aku juga
mandiri. Tapi semua itu tidak lantas menasbihkan bahwa aku dapat hidup sendiri.
Aku hanya
terheran-heran dengan banyak hal yang sudah aku alami selama dua tahun ini –
semenjak aku berkuliah. Aku sering pulang malam – bahkan di waktu dini hari.
Lambat laun aku merasa keberatan terus-terusan pulang pagi. Bukan apa-apa – aku
hanya merasa memiliki limitasi. Aku memberontak untuk hidup normal sebagaimana
manusia (perempuan) pada umumnya – pulang paling lambat jam sepuluh malam.
Namun, apa yang terjadi? Aku selalu pulang malam – lewat jam dua belas. Bahkan
pulang pagi. Terkadang dibiarkan pulang pagi atau pulang malam begitu saja
sendirian.
Dulu aku pernah
pulang jam empat pagi, melewati fakultas kehutanan yang begitu gelap dan
melewati segerombolan pemuda yang tengah “berpesta”. Untungnya mereka tidak (berminat)
mengangguku. Aku selamat dapat melewati mereka. Namun, gerbang fakultas
kehutanan rupanya sudah digembok. Aku harus memutar balik – kembali melewati
mereka. Untungnya, mereka tidak mengganggu. Hanya menatapku dengan
terheran-heran. Mungkin mereka pikir aku hantu.
Beberapa waktu
yang lalu, aku pun pulang pagi, jam satu pagi – berjalan kaki. Lagi-lagi
melewati fakultas kehutanan yang ternyata gerbangnya ditutup! Aku harus
melompati pagar agar bisa sampai ke kos lebih cepat daripada harus memutar
jalan melewati lembah – yang pasti lebih gelap dan menakutkan.
Oke, silahkan
bilang aku perempuan lemah yang manja. Pasti kalian berpikir bahwa aku menuntut
untuk – setidaknya diantar sampai bunderan UGM atau tempat apapun itu. Pasti
kalian berpikir bahwa aku menuntut diperlakukan dengan baik. Tentu saja! Sebab,
aku seorang perempuan dan kalian semua adalah laki-laki. Maksudku, kalian
laki-laki, kalian semua tahu cara menempatkan diri sebagai seorang laki-laki
yang jantan. Perempuan itu – sekalipun sudah terbiasa pulang malam – jangan pernah
biarkan mereka pulang malam. Perempuan itu – sekalipun berani pergi kemana pun
sendirian – jangan pernah biarkan mereka sendirian. Perempuan itu – sekalipun
sudah terbiasa begadang dan tidur pagi – jangan pernah biarkan mereka melakukan
hal itu. Mereka memang tangguh – perempuan memanglah sangat tangguh – tapi bukan
berarti, kalian – para pria-pria (mollusca) abai untuk melindungi mereka.
Dear para pria yang mengaku jantan,
Perempuan itu
punya limitasi. Mereka memang tangguh – tapi mereka memiliki banyak
keterbatasan, termasuk berpura-pura tetap tangguh walaupun mereka sudah berada
dalam titik terjenuh sekalipun. Perempuan itu punya batas. Mereka memang
tangguh. Mereka sanggup begadang, mengangkat galon sendiri sampai lantai dua
indekos, mengendarai motor berkilo-kilometer jauhnya, mampu pulang malam
sendirian, mampu melompati pagar, mampu memperbaiki motor sendiri, mampu
melakukan berbagai hal – baik yang dikontruksikan sebagai hal maskulin maupun
feminim. Perempuan memang mampu bekerja keras seperti kuda – tetapi tetap harus
rupawan seperti putri raja. Perempuan memang tangguh! Tapi jangan pernah
biasakan mereka untuk tetap menjadi tangguh. Mereka memang terbiasa melakukan
hal-hal seperti itu. Tapi jangan pernah biasakan mereka. Perempuan itu punya batas,
jangan biarkan mereka terbiasa pulang malam sendirian, begadang sampai pagi,
mengangkat galon sendiri, dan melakukan hal-hal ekstrim lain yang sebenarnya
tidak mampu dilakukan oleh para pria sekalipun.
Dear para pria yang
mengaku jantan,
Jangan pernah
mengaku jantan – kalau kamu belum bisa memperlakukan perempuan sebagaimana
mestinya. Jangan pernah mengaku jantan – kalau kamu masih melihat bahwa
perempuan pulang malam sendirian itu hal yang biasa. Kalau kamu memang jantan –
kamu pasti tahu – para perempuan-perempuan itu melakukan hal demikian bukan
karena terbiasa. Tetapi karena terpaksa! Iya, mereka terpaksa. Mereka terpaksa
melakukannya karena menyadari bahwa tidak ada satupun pria yang mampu bersikap
jantan ketika menghadapi kondisi yang demikian! Dan, please, kalian semua laki-laki jantan kan? Atau hanya anak
laki-laki kecil yang cuma bisa sembunyi di ketiak ibu kalian? Kalau memang
mengaku jantan – jangan pernah biasakan para perempuan itu melakukan hal yang
demikian.
Sebab, kalian
adalah laki-laki dan aku adalah perempuan. Jangan pernah lupakan kodrat kita
masing-masing untuk menjadi manusia.
Comments
Post a Comment