Instagram sebagai Ajang Eksistensi Anak Muda Masa Kini

“Media Sosial dan Budaya Kaum Muda”




            Berpuluh-puluh tahun silam, sebelum internet menginvasi dunia dan menjadi salah satu aspek kebutuhan manusia, masyarakat melakukan eksistensi dengan melakukan berbagai interaksi sosial. Interaksi itu dilakukan secara langsung pada proses pengenalan jati diri di berbagai komunitas. Masyarakat pada masa itu melakukan interaksi sosial dengan teman-teman yang ditemuinya secara nyata. Popularitas pun didapatkan dari bagaimana orang tersebut berusaha tampil di depan khalayak umum. Kini, dengan adanya perkembangan teknologi, eksistensi dilakukan dengan menggunakan internet. Berbagai media sosial seperti facebook, twitter, blog, akun youtube sampai instagram menjadi ajang eksistensi anak muda masa kini.

            Kemajuan teknologilah yang kemudian membuat segala sesuatunya menjadi mungkin. Internet, sebagai salah kemajuan teknologi yang terus mengalami dinamika membentuk pola-pola budaya baru yang memiliki tingkat kompleksitas tinggi. Kemunculan internet dengan varian menu yang dimilikinya menciptakan dunia maya – di mana terdapat pola budaya yang tidak terbatas oleh ruang, waktu, hukum, dan moral tertentu yang jelas. Internet juga menciptakan komunitas virtual – di mana komunitas-komunitasnya dapat dibentuk hanya berdasarkan hobi dan kesukaaan tanpa mempertimbangkan wilayah, ruang, jarak, dan waktu. Hal ini terjadi karena internet adalah sebuah kemajuan teknologi yang unik karena menghapus batas-batas yang menghambat pergerakan manusia itu.

            Internet pada akhirnya memberikan akses kepada orang untuk berinteraksi dengan siapapun dan kapanpun di dalam dunia maya. Kemudahan berinteraksi ini kemudian memunculkan masyarakat baru berbasis teknologi yang biasa disebut masyarakat informasi. Masyarakat informasi adalah masyarakat yang mengalami perubahan cepat baik dari pola interaksi maupun gaya hidup akibat perkembangan Teknologi Informasi yang cepat.

            Proses yang terjadi saat ini sesuai dengan prediksi sekaligus teori yang dikemukakan oleh McLuhan, yaitu teori desa global. Desa Global adalah konsep mengenai perkembangan teknologi komunikasi di mana dunia dianalogikan menjadi sebuah desa yang sangat besar. Marshall McLuhan memperkenalkan konsep ini pada awal tahun 60-an dalam bukunya yang berjudul Understanding Media: Extension of A Man. Konsep ini berangkat dari pemikiran McLuhan bahwa suatu saat nanti informasi akan sangat terbuka dan dapat diakses oleh semua orang. McLuhan menyatakan bahwa desa global terjadi sebagai akibat dari penyebaran informasi yang sangat cepat dan massif di masyarakat. Penyebaran yang cepat dan masif ini menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (media massa).

            Manusia pada masa itu akan lebih menyukai komunikasi audiovisual yang interaktif, informatif, dan menghibur. Seiring berjalannya waktu, konsep ini terus berkembang. Konsep ini dianggap sesuai dengan keadaan masa kini, yakni teknologi komunikasi, salah satunya adalah internet, terbukti dapat menyatukan dunia. Perkembangan teknologi seperti yang dinyatakan dalam desa global, membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah orang selalu bisa mengetahui kabar terbaru yang terjadi di tempat lain, dapat berkomunikasi dan terhubung walau dalam jarak ribuan mil, mencari dan bertukar informasi. Adapun dampak negatifnya adalah kecanduan internet, orang tidak dapat hidup tanpa internet, orang yang lebih eksis di dunia maya dibandingkan dunia nyata, yang mengganggu hubungan sosialnya dengan orang lain. (McLuhan dalam Bungin, 2006: 211)

            Internet sendiri – selain menjadi salah satu sumber informasi yang paling sering diakses oleh masyarakat global – juga menciptakan berbagai fenomena pola interaksi baru. Pola interaksi baru itu termaktub dalam berbagai sistem media sosial yang ada di masyarakat. Setiap media sosial memiliki fitur dan fungsi yang berbeda-beda. Akan tetapi memiliki tujuan yang sama – yaitu berinteraksi dengan masyarakat luas di dunia maya. Pengguna internet sendiri, khususnya media sosial paling sering digunakan oleh anak muda. Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2012, 60 % pengguna internet adalah anak muda. Sebanyak 51,6 % adalah laki-laki dan perempuan 48,4% (http//:www.apjii.or.id). Data itu ternyata cukup seimbang antara laki-laki dan perempuan. Jumlah pengguna internet itu kabarnya akan terus bertambah seiring dengan perkembangan zaman. Dalam prediksi sepuluh sampai duapuluh tahun ke depan, dapat dipastikan bahwa kegiatan manusia melalui internet akan menjadi suatu hal yang lazim. Transaksi ekonomi akan lebih sering berlangsung di internet daripada di dunia nyata.

            Saat ini pula, sudah banyak berbagai macam start up seperti online shop yang menghiasi internet di Indonesia. Namun, pada tulisan kali ini, mempertimbangkan bahwa media sosial jauh lebih berefek kepada pola budaya anak muda kekinian. Tulisan ini akan lebih membahas pola-pola yang terjadi dalam media sosial. Pada akhirnya, tulisan ini akan paling banyak berfokus pada instagram sebagai media sosial kekinian yang memiliki menu paling berbeda di antara yang lain.

             Instagram memang dapat dikatakan sebagai media sosial yang berbeda daripada yang lain. Ketika hampir semua media sosial menyuguhkan teks dan gambar secara bersamaan sebagai poin utama. Instagram hanya mengandalkan visual saja. Dalam hal ini, instagram memang tetap dapat memberikan fitur teks. Akan tetapi teks dalam instagram sendiri terbatas dan setiap teks harus diunggah dengan gambar. Tanpa gambar, teks tidak dapat berdiri sendiri. Berbeda dengan media sosial lain seperti twitter, facebook, dan path yang memiliki fitur beragam dan kita dapat memilih untuk mengunggah teks atau gambar saja.

            Pada era media sosial seperti saat ini, “angka” menjadi salah satu faktor eksistensi kaum muda di dunia maya. Seberapa besar “angka” yang didapat menunjukkan bahwa orang tersebut telah eksis di dunia maya. Agaknya, “angka” menjadi salah satu indikator kepuasan tersendiri bagi anak muda dalam melakukan interaksi pada sosial media. Pada fenomena seperti ini, “likers” adalah suatu hal yang dicari dan diingini. Seseorang yang bergelut di dunia maya hanyalah butiran debu di padang pasir jika tidak memiliki jumlah “angka” tertentu. Hal ini kemudian membuat kaum muda masa kini hanya merasa dinilai berdasarkan angka. Seorang remaja berusia 18 tahun pun pernah berkata pada saya bahwa dirinya bangga mendapat jumlah like ratusan.

            Dalam acara pembukaan Jogja Art Weeks pada 9 Juni 2015 lalu, salah seorang seniman yang tengah beraksi di panggung mencoba melakukan interaksi dengan para penonton. Dalam interaksinya itu ia menanyakan berapa jumlah followers akun twitter si penonton. Saat itu penonton menjawab bahwa followers-nya berjumlah dua ratus sekian. Seniman itu kemudian melanjutkan atraksinya di panggung dengan mengatakan bahwa “zaman ini adalah zaman di mana anak-anak mudanya tergila-gila oleh angka di media sosial”. Segala sesuatunya dinilai dari berapa jumlah angka yang didapat ketika mengunggah sesuatu di media sosial dan berapa jumlah pengikut dari akun media sosial yang bersangkutan. “Angka” kini tidak hanya berupa lembaran uang yang memiliki impliksi nyata akan status sosial. Namun, tafsir “angka” ini mulai bergerak ke ranah yang lebih kompleks lagi.

            Pada zaman dahulu kala, status sosial yang disandang seseorang ditunjukkan dengan simbol-simbol yang wujudnya jelas. Simbol itu biasanya terdapat dalam fashion, gaya hidup, dan lain hal sebagainya. Dalam hal ini, fashion yang dikenakan oleh anak muda menjadi alat berkomunikasi. Dari fashion yang mereka kenakan, ada hal yang ingin diutarakan. Kini simbol-simbol itu termaktub dalam satu wadah – yaitu sosial media. Jumlah “angka” pun menjadi indikator tafsir utama.

            Berangkat dari asumsi seniman JAW tersebut, sepertinya “kegilaan” akan angka yang diinginkan oleh anak muda dapat dibuktikan kebenarannya. Sebab, anak muda pada masa kini dikenal eksistensinya ketika mendapatkan jumlah followers dan likers yang banyak. Seseorang yang memiliki banyak “pengikut” dianggap sebagai anak muda kekinian yang memiliki popularitas. Padahal, belum tentu popularitas yang sama didapatkan oleh orang itu di dunia yang nyata. “Like” yang sering dikalkulasikan sebagai simbol ketenaran pun belum jelas latar belakangnya. Hingga kini “like” yang didapatkan oleh seseorang dalam akunnya entah karena apa yang diunggah memang menarik perhatian atau memang ada faktor lain seperti relasi yang erat. Sehingga, “like” menjadi sebuah keharusan dalam relasi pertemanan. Seperti halnya pepatah; tak kenal maka tak sayang. Like pun sebetulnya hanya sekadar bentuk “kasih sayang” karena telah saling mengenal sebelumnya.

            Pada dekade awal kemunculan facebook sendiri, anak-anak muda berbondong-bondong membikin status yang menarik agar mendapatkan banyak likers. Saat itu,  (sepengalaman penulis) mereka bahkan memberikan pesan privat kepada teman-temannya di facebook agar memberikan “jempol” pada status mereka. Lebih ngerinya lagi, pertemanan di facebook terkadang tidak dilandasi dari pertemanan di dunia maya. Relasi yang terjalin dalam facebook hanya sekadar mencari sebanyak-banyaknya teman tanpa tahu tujuannya. Dulu, saat facebook masih menjadi media sosial yang paling digandrungi anak muda untuk menyebarkan curahan hati mereka, banyaknya teman dianggap akan mempengaruhi jumlah angka pada dinding rumah mereka. Terkadang, seseorang merasa “marah” ketika status yang ia unggah di facebook tidak mendapatkan perhatian publik.

            Dalam hal ini, jumlah like menjadi pola simbol status baru yang mengindikasikan eksistensi seseorang. Sebagus apapun status orang kemudian – jika status itu tidak mendapatkan like, orang itu tidak berarti apa-apa. Berbeda dengan status yang mungkin kontennya tidak memiliki efek besar malah mendapatkan like yang banyak. Pada konteks ini pula, sebetulnya perlu dilakukan kajian apa yang mempengaruhi seseorang memberikan “like” dan apa arti “like” bagi pengguna media sosial. Namun, sejauh ini, masih tidak jelas apa yang melatarbelakangi semua itu. Sebab, hal-hal seperti ini pasti memiliki fenomena unik yang berbeda-beda antara satu dengan lain.

            Melihat fenomena berapa banyak angka yang dihasilkan dari like dan follower, kita dapat meninjau hal itu pada media sosial yang kini tengah digandrungi anak muda, yaitu instagram. Media sosial ini memiliki fitur yang unik karena lebih mengedepankan foto ataupun video singkat. Tidak jelas tujuan dari instagram sendiri selain memberikan kebaruan dalam inovasi-inovasi di media sosial. Selain itu, instagram juga menjadi momok dalam melejitkan populitaritas. Seperti halnya artis youtube, instagram pun dapat bekerja demikian. Dijah Yellow adalah salah satu orang Indonesia yang melejit akibat keunikan-keunikan yang dilakukannya di akun instagram. Beberapa yang lain seperti fashion blogger juga mencoba mengunggah foto-foto uniknya di instagram. Kali ini, gambarlah yang bercerita di instagram.

            Instagram pada awalnya digunakan oleh fotografer untuk membagi hasil foto-foto mereka. Lantaran foto-foto yang diunggah ke facebook dapat menimbulkan hak milik pada facebook, para fotografer pun beralih ke instagram. Seiring berkembangnya zaman, instagram menjadi media sosial yang digandrungi oleh banyak anak muda. Instagram menjadi salah satu alat untuk meningkatkan eksistensi diri. Tidak hanya itu, instagram juga sebuah presentasi diri dengan bentuk gambar maupun video singkat. Dalam hal ini, para anak muda ingin menunjukkan siapa dirinya dengan berbagai foto.

            Foto-foto beraneka ragam – mulai dari foto sendiri (selfie), foto bersama-sama, foto saat traveling, hal-hal unik yang ditemukannya, foto makanan, dan berbagai macam hal. Foto menjadi alat bercerita terkini bagi anak muda. Apalagi, saat ini akses internet begitu mudah dengan hadirnya smartphone yang menyuguhkan fitur kecanggihan kamera, baik kamera depan maupun belakang. Dalam hal ini selfie pun menjadi budaya populer yang dilakukan oleh anak muda karena adanya fitur kamera depan. Jika dibandingkan dengan tahun 60-an atau 70-an, istilah selfie tentunya tidak ada. Kini, selfie membumi di seluruh pelosok dunia – dan pelakunya ‘kebetulan’ lebih banyak anak muda. Selfie pun juga menjadi ajang ekspresi dan eksistensi diri. Jumlah “angka” yang nantinya didapatkan ketika diunggah itu menjadi suatu kebanggaan tertentu.

            Sebetulnya – lagi-lagi saya pribadi menekankan adanya penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor ataupun latar belakang yang membuat anak muda zaman sekarang melakukan interaksi di instagram. Kajian seperti ini dapat membantu kita dalam memahami pola interaksi anak muda di instagram. Selain itu, kita juga dapat mengetahui motivasi-motivasi tertentu yang dilakukan anak muda sekarang. Ada beberapa di antaranya yang memang ingin bersenang-senang. Tetapi, seperti yang sudah saya katakan tadi, beberapa lainnya mengharapkan adanya pengakuan ketika ia menggunakan instagram. Artinya, dalam era di mana semua orang sudah mulai menggunakan instagram, dia ingin menjadikan media sosial itu sebagai salah satu instrumen eksistensi diri.

            Perlu diketahui juga bahwa instagram adalah media sosial yang berbeda daripada lainnya. Media sosial ini pun juga menciptakan pola interkasi baru. Selain itu, media ini juga menciptakan budaya komunikasi baru. Dapat dikatakan bahwa instagram adalah media sosial yang menyuguhkan gambar sebagai alat komunikasi. “Biarkan gambar yang bercerita,” adalah kalimat yang sering diutarakan dalam akun instagram. Sehingga, terkadang foto pun menjadi memiliki banyak tafsir.

            Pada akhirnya, kemunculan instagram dan penggunaannya akan tetap dimaknai dengan berapa banyak “angka” yang didapat. Mungkin, fitur semacam ini dalam media sosial bisa jadi memang diciptakan untuk ajang kompetisi eksistensi diri. Jumlah like menjadi salah satu indikator seseorang memiliki popularitas atau tidak di dunia maya. Jumlah pengikut juga menjadi indikasi bahwa orang tersebut adalah orang yang terkenal atau bukan. Dalam hal ini, eksistensi diri tak ubahnya seperti sistem pasar. Seseorang merasa “ada” ketika dia menunjukkan “apa yang dimilikinya”. Kepemilikan itu bentuknya bisa beragam – entah rumah mewah, foto perjalanan panjang, hobi, dan lain hal sebagainya.


            Menyikapi adanya instagram pula kita perlu menyadari adanya tren hashtag atau biasa disebut tagar. Tagar ini fungsinya sama seperti kata kunci atau mesin pencari foto-foto “sejenis” dalam instagram. Misalnya saja tagar liburan akan memunculkan foto-foto yang bertagar liburan. Fungsi tagar sekaligus mengkategorikan foto-foto juga menjadi ajang eksistensi bagi anak muda. Adanya tagar akan membuat foto-foto mereka muncul di mesin pencari sehingga orang-orang pun dapat dengan mudah melihat foto-foto tersebut. Adapun hal unik lainnya dari instagram foto-foto selfie yang diunggah sebagai bentuk ekspresi diri.
Daftar Pustaka          :
Barker, Chris. 2013. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sumber Daring          :
Tim APJII. Profil Pengguna Internet di Indonesia Tahun 2012. Terarsip pada pada http://apjii.or.id/v2/upload/Laporan/Profil%20Internet%20Indonesia%202012%20(INDONESIA).pdf, diakses 24 Juni 2015.
instagram.com

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan