Simbah dan Lebaran
Lebaran ini
adalah kali keduapuluh – atau mungkin yang kesembilanbelas (saya tidak ingat
apakah dulu waktu masih berwujud bayi merah, saya pernah diboyong pulang
kampung bersama ibuk) saya mudik ke kampung halaman ibuk di Wonosobo. Di sana,
kami mengunjungi kerabat-kerabat Ibuk, dan tidak lupa – sungkem sama Simbah Putri
yang biasa saya panggil Mbah Pur.
Seperti
biasanya, perjalanan Magelang-Wonosobo di Hari Raya selalu pekat tidak
terkendali. Celah-celah sempit hanya mampu disisipi motor-motor yang sedikit
bengal karena ingin cepat sampai tujuan. Butuh waktu sekitar tiga jam lebih –
lebih lama satu jam dari hari biasanya untuk sampai ke Wonosobo. Sesampainya di
sana, lagi-lagi seperti biasa, kami ngobrol (sangat) sebentar dan langsung
tertidur pulas karena kecapekan.
Di sana, saya
dan keluarga hanya menginap satu hari saja. Dan bicara soal kuantitas waktu,
saya sangat menyayangkan karena tidak (pernah) bisa ngobrol dengan Simbah saat
mudik. Saudara saya ada yang lena dengan gadget ada pula yang hanya memilih
tidur. Rasa-rasanya, kami hanya numpang tidur dan merepotkan saja. Esensi
berkunjungnya tidak dapat. Dan yang paling saya sesali, saya ndak bisa ngobrol sama Simbah.
Mbah Pur itu
simbah saya satu-satunya sekarang. Di usia ke sepuluh, saya “resmi” hanya punya
satu Simbah dari pihak Ibuk. Simbah Putri dari pihak Ayah sudah lama meninggal.
Terhitung sepuluh tahun yang lalu, Simbah Putri saya sudah berpulang. Untuk
Simbah Kakung (laki-laki) berpulang jauh sebelum saya lahir. Jadi, saya tidak
pernah sempat melihat keduanya. Saya tidak tahu bagaimana rasanya ngobrol
dengan simbah sendiri.
Padahal, jika
mereka masih hidup, saya ingin ngobrol perihal gerwani, marhaenis, dan pendapat
mereka tentang partai komunis indonesia zaman dulu kala. Saya juga ingin
bertanya kepada mereka tentang kepemimpinan Soeharto dan Soekarno. Mereka pasti
tahu tentang hal itu. Ibu saya sendiri dulu hafal betul lagu-lagu yang sering
dinyanyikan Gerwani. Saya suka ngobrol dengan orang tua karena mereka sering
membacakan sejarah panjang yang tidak pernah diketahui oleh muda. Saya senang
ketika pemikiran-pemikiran menguap saat kami bercakap-cakap tentang masa lalu
dan masa kini – hingga masa depan.
Sayang, mereka
keburu mangkat sebelum saya sempat ngobrol dengan mereka. Saya seringkali
cemburu kalau ada salah seorang teman yang mendapat cerita-cerita sejarah dari
Kakek-Nenek mereka. Jika sudah begini, saya teringat salah satu cerita yang
dikarang oleh Tartila Tartusi, Bukit Keramunting. Dalam cerita itu, Ipul dan
Marni sering mendapatkan perhatian dari Kakek-Nenek mereka. Kakek Nenek
keduanya selalu menceritakan kisah-kisah dongeng ataupun membantu membuatkan
mainan-mainan tradisional.
Saya pikir
rasanya pasti menyenangkan jika saya bisa berbagi cerita dengan Simbah-Simbah
saya. Sayang, Simbah saya hanya tinggal Mbah Pur seorang. Celakanya lagi,
hubungan kami tidak dekat. Saya bahkan ragu harus menciptakan obrolan seperti
apa dengan beliau. Jika saya melihat beliau, saya selalu melihat sosok
perempuan yang kuat dan tekun. Mbah Pur memang tipikal perempuan pendiam dan
tidak banyak bicara. Hal ini yang menyulitkan saya untuk mengajaknya
berbincang-bincang karena saya juga pendiam (?).
Di usianya yang
ketujuhpuluh itu, Mbah Pur masih terlihat sehat. Sekarang Mbah Pur tinggal
sendiri. Sesekali kerabat Ibuk yang juga tinggal di dusun yang sama berkunjung
ke tempat Simbah. Mengisi hari-hari Mbah Pur dengan mengobrol. Saya tahu, di
usianya yang tak lagi muda, saya yakin Simbah butuh teman bicara. Sayang
sekali, cucu-cucunya hanya datang untuk numpang menginap dan makan unjar goreng
bikinan Mbah Pur yang enaknya bukan main. Tidak ada obrolan panjang yang saya harapkan
sebagaimana hubungan Nenek dan cucu-cucunya.
Saya – seolah-olah
hanya melakukan tradisi sungkem tanpa paham esensi. Seharusnya, di Hari yang
suci itu saya bisa ngobrol banyak dengan Mbah Pur, Simbah saya satu-satunya.
Janda yang sudah ditingal mati suaminya dan anak-anaknya yang merantau.
Seharusnya, saya bisa jadi teman bicara Mbah Pur walau hanya sehari.
Ah, memikirkan
itu saya jadi harap-harap cemas dengan masa tua saya. Apakah seindah yang
ditayangkan di iklan-iklan teh celup itu? Di hari tuanya, dikelilingi anak dan
cucu mereka. Sembari menyeruput teh hangat, mereka bercanda bersama? Ataukah
hanya akan mendekam di panti jompo sembari menunggu keabadiaan yang menyakitkan
sekaligus menyenangkan?
Ah. Lebaran kali ini selalu sama seperti
sebelum-sebelumnya.
Comments
Post a Comment