Perempuan (Tidak) Harus Sekolah Tinggi-Tinggi
Bicara tentang sekolah atau biasa disebut melanjutkan studi adalah salah satu hal yang saya inginkan. Jujur, saya ingin melanjutkan studi saya sampai S3. Selepas S1 nanti saya ingin bekerja tetapi juga ingin langsung melanjutkan S2. Intinya, semangat saya untuk terus belajar selalu membuncah. Walaupun, sebetulnya proses belajar tidak harus berada di dalam sebuah institusi pendidikan. Namun, saya pribadi kepingin belajar dalam sebuah institusi pendidikan sekaligus lingkungan sosial. Saya ingin belajar di mana saja dan kalau bisa (terus) melanjutkan studi.
Saya sendiri
tidak benar-benar tahu apa yang saya cita-citakan. Untuk saat ini, saya hanya
kepingin belajar dan meneruskan studi. Namun, belakangan ini, teman-teman (perempuan)
saya seolah-olah memberikan nasihat untuk “tidak perlu” sekolah tinggi-tinggi.
Atau, kalau pun mau lanjut S2 atau S3 harus menikah dulu. Alasannya sederhana,
kalau seorang perempuan terlanjur memiliki pendidikan yang sedemikian tinggi –
laki-laki pasti akan minder dan tidak berani mendekat.
Memang, beberapa
kasus pernah saya jumpai hal yang demikian. Salah seorang kakak teman saya
harus kandas relasi percintaannya karena ia memilih beasiswa S3 yang
diterimanya di Amerika. Pihak laki-laki enggan menunggu dan akhirnya memutuskan
untuk berpisah. Selang – hanya – setahun, laki-laki itu akhirnya beristri.
Seorang perempuan lugu nan sederhana yang baru saja lulus D3.
Berdasarkan
pengalaman-pengalaman semacam itu, teman-teman saya kemudian mencegah saya (dengan
sekuat tenaga) agar tidak terlalu terburu-buru. (Mungkin karena saya baru saja
menyelesaikan semester lima juga). Mereka bilang, lebih baik saja menikah dulu.
Baru melanjutkan studi. Kata mereka, “Nanti lak-laki pada minder duluan. Enggak
mau sama kamu,” ujar mereka.
Saya agak
sentimentil kalau menyangkut hal-hal yang demikian. Aku pikir – mungkin laki-laki
itu menginginkan perempuan bodoh yang mudah untuk diperdaya (dan juga
diselingkuhi). Sebagai orang yang menganut paham kesetaraan – saya pun percaya
kalau laki-laki akan mencari pasangan yang “Setara” dengannya. Artinya, pantas
atau tidak pantas, layak atau tidak layak, serta hal-hal minder lainnya
sebetulnya, menurut saya pribadi adalah bentuk kesemuan. Kembali pada diri
pribadi laki-laki itu.
Jika seorang perempuan sudah lulus S2, dan itu
membuat banyak pria minder untuk mendekatinya. Menurut saya, itu karena si
laki-laki memang tidak merasa selevel dengan perempuan. Tapi saya yakin,
seyakin-yakinnya, pastilah tetap ada laki-laki yang berminat dengan perempuan
lulusan S2 itu.
Bicara soal
konsep yang begini, sebenarnya, kan semuanya hanya tentang orang-orang yang
berteori dari common sense. Hal yang
ditakutkan oleh kebanyakan pria jika (calon) pasangannya memiliki jenjang
pendidikan yang lebih tinggi adalah hilangnya rasa saling membutuhkan.
Pria-pria itu, kabarnya takut jika perempuan itu nantinya mampu lebih mandiri
dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Mereka takut, nantinya perempuan itu
tidak akan membutuhkan si pria tadi.
Saya – sebagai orang
yang belum pernah berpengalaman dengan hal demikian pun menanyakan rasa saling
membutuhkan itu. Apa iya rasa saling membutuhkan itu hanya didasari oleh materi
saja? Di sini pun saya mempertanyakan – mengapa laki-laki ingin dibutuhkan oleh
seorang perempuan. Saya melihat di tingkat yang seperti ini, laki-laki itu
merasa frustasi karena tidak dibutuhkan. Saya tidak tahu, apakah sebuah relasi
pernikahan memang harus didasari dengan rasa saling membutuhkan (yang bersifat
materi).
Saya jadi berpikir
begini: ketika seorang perempuan
membutuhkan laki-laki secara materi. Otomoatis, laki-laki itu memiliki kuasa
atas si perempuan. Perempuan harus tunduk kepada laki-laki karena dia
membutuhkannya. Laki-laki pun merasa bangga karena dia dibutuhkan. Sebab itu,
perempuan menjadi tunduk dan patuh. Dalam hal ini, saya melihat ego laki-laki
yang terlampau besar. Sangat besar.
Laki-laki
memiliki ke-akuan-an yang terlalu tinggi. Mereka ingin diakui dan dihargai –
sedangkan bentuk penghargaan yang mereka terima ini berbalik kepada perilaku
perempuan yang menjadi tunduk dan patuh.
Saya tidak
mengerti. Saya tahu, saya tidak pantas berasumsi demikian. Tapi lagi-lagi, saya
hanya ingin mempertanyakan hal-hal seperti ini. Apa iya, perempuan tidak boleh
sekolah tinggi-tinggi? Apa iya perempuan tidak boleh mendapatkan pekerjaan yang
dia inginkan dan mendapatkan gaji yang pantas untuknya? Apa iya, seorang
laki-laki begitu frustasi jika pasangan (perempuan) nya tidak begitu
membutuhkannya secara materi? Apa iya, seorang laki-laki memang memiliki ego
yang terlalu tinggi untuk selalu jadi imam di segala hal, berbagai aspek dan
bidang?
Apa iya,
perempuan harus terus menghargai perasaan laki-laki yang enggan minder? Saya
selalu berpikir begini: laki-laki itu minder pasti karena dia merasa tidak
setara dengan perempuan yang terlampau pintar itu. Saya pikir itu wajar. Akan
beda ceritanya jika laki-laki itu tetap percaya diri walaupun si perempuan
adalah lulusan S2. Artinya, mereka pasti memiliki tingkatan yang sama untuk
terus melanggengkan sebuah relasi.
Saya masih tetap
keukeuh untuk melanjutkan studi. Bagaimana pun caranya, saya ingin terus
belajar. Di mana pun dan kapanpun. Tanpa ada satupun orang yang dapat
menghalangi saya. Termasuk laki-laki.
Comments
Post a Comment