Tentang Praduga, Prasangka, dan Stereotip
Tentang
Praduga, Prasangka, dan Stereotip
Analisis
“Stereotip” sebagai Persepsi dari Komunikasi Interpesonal
Menduga-duga adalah suatu
keniscayaan di dalam kehidupan sosial. Bahkan memprediksi dinamika alam, seperti
ramalan cuaca adalah suatu bentuk praduga yang sering digunakan oleh manusia.
Sama halnya ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, berhubungan dengan
orang lain, serta melakukan interaksi sosial – menduga-duga adalah sebuah
keniscayaan. Dapat dikatakan, kita akan selalu menduga-duga
Bahkan, dalam kasus tertentu,
menduga-duga pesan yang disampaikan oleh seseorang selalu terjadi dalam setiap
proses komunikasi. Terkadang, sebuah kata yang memiliki pemaknaan berbeda dan
dituturkan dengan aksen atau intonasi yang berbeda – serta merta membuat
seseorang berasumsi dan menduga-duga tentang sebuah pesan.
Misalnya saja, seseorang yang
terbiasa berbicara dengan nada tinggi membuat orang yang diajak berbicara
dengan orang itu merasa diintimidasi. Padahal, gaya bicara orang tersebut
memang seperti itu. Kita juga sering menduga seseorang dari cara berpenampilan
sehingga menimbulkan prasangka yang berlebihan. Terkadang, bahasa yang memiliki
berbagai penafsiran juga mengantarkan seseorang untuk menduga-duga hal yang
tidak pasti. Lebih parah, mungkin akan berprasangka sekehendak hati.
Mungkin akan lebih baiknya jika
kehidupan di bumi sama seperti planet yang ditempati oleh Pikey[1].
Di Planet yang ditempati oleh Pikey, komunikasi interpersonal dilakukan dengan membaca
pikiran masing-masing. Mereka tidak menggunakan bahasa sebagaimana halnya yang
dilakukan oleh manusia di bumi. Pikey mengatakan bahwa apa yang digunakan
manusia (bahasa) menimbulkan banyak tafsiran sehingga mengundang berbagai macam
pemaknaan yang tentunya berbeda-beda pula.
Dalam komunikasi terdapat encoding dan decoding pesan. Dalam hal ini, pesan itu sendiri adalah noise bagi Pikey. Pikey mencontohkan
suatu pesan yang di-encodingkan ke
orang lain dan di-decoding dengan
cara berbeda. Ia mencontohkan penggunaan bahasa yang hanya berbeda di segi
pengucapan intonasi. Beda panjang kata atau perbedaan intonasi saja memiliki
makna yang berbeda
Di film itu pula Pikey
mempertanyakan fungsi bahasa dalam komunikasi interpersonal. Sebab, bahasa
membuat seseorang memiliki banyak penafsiran. Pikey, sebagaimana manusia yang
mencintai buminya pun begitu membanggakan cara berbahasa di planetnya – yaitu
saling membaca pikiran. Sayangnya, Tuhan tidak menciptakan manusia yang dapat
membaca pikiran – kemudian segala persoalan selesai.
Proses komunikasi interpersonal
itu sendiri berurutan mulai dari membaca ekspresi, membentuk isyarat, memahami
bahasa lisan, sampai akhirnya bentuk-bentuk komunikasi lain berupa stiker,
gambar, dan lain sebagainya. Tentunya, komunikasi interpersonal tetap harus
dilakukan dengan penggunaan bahasa.
Menyikapi dinamika komunikasi
interpersonal yang semakin beragam, manusia semakin harus menajamkan intuisi
dan prediksi. Keberadaan stiker yang menjadi modal komunikasi dalam sosial
media menjadi salah satu indikator bahwa manusia harus kembali ke zaman
pra-tulis, di mana gambar adalah satu alat komunikasi. Dalam hal ini, mereka
harus membaca sebuah stiker dengan tepat. Sebab, selama komunikasi terus
berjalan, dengan bentuk apapun, prasangka akan terus terjadi walaupun skala
sekecil apapun.
Sebagai sebuah sikap, prasangka
mengandung tiga komponen dasar sikap yakni perasaan (feeling), kecenderungan untuk melakukan tindakan (Behavioral tendention), dan adanya suatu
pengetahuan yang diyakini mengenai objek prasangka (beliefs). Perasaan yang umumnya terkandung dalam prasangka adalah
perasaan negatif atau tidak suka bahkan kadangkala cenderung benci.
Berbicara mengenai komunikasi
interpersonal, tentunya menduga-duga dan berprasangka tidak pernah terlepas
dari stereotipe masyarakat yang ada. Entah stereotipe itu terbentuk atas
prasangka atau prasangka muncul karena adanya stereotipe.
Stereotip sendiri berdasarkan
apa yang dijelaskan oleh Soekanto (1993)[2]
adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu
kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain. Secara
lebih tegas Matsumoto (1996)[3]
mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai
seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian.
Bourhis, Turner, dan Gagnon
(1997)[4]
mengatakan bahwa stereotipe memiliki fungsi. Fungsi tersebut adalah
menggambarkan realitas antar kelompok, mendefinisikan kelompok dalam kontras
dengan yang lain, membentuk imej kelompok lain (dan kelompok sendiri) yang
menerangkan, merasionalisasi, dan menjustifikasi hubungan antar kelompok dan
perilaku orang pada masa lalu, sekarang, dan akan datang di dalam hubungan itu.
Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang sekiranya sesuai terhadap
kelompok lain. Misalnya saja etnis jawa yang dikenal memilih sifat lemah lembut
dan kurang suka berterus terang. Dalam hal ini, fungsi yang dimaksud Bourhis
dan kedua rekannya adalah pemanfaatan pengetahuan mengenai stereotipe.
Jika kita mengetahui “sifat
dasar” etnis Jawa yang lemah lembut, maka s ecara tidak langsung kita akan
menyesuaikan diri untuk bersikap lemah lembut pula. Begitu pula dengan image
orang Jawa yang tidak suka berterus terang. Dalam hal ini, kita dapat
berhati-hati dengan hal-hal yang diutarakannya.
Menurut Poortinga (1990)[5],
stereotipe adalah faktor dari timbulnya prasangka itu sendiri. prasangka memiliki tiga faktor utama yakni
stereotip, jarak sosial, dan sikap diskriminasi. Ketiga faktor itu tidak
terpisahkan dalam prasangka. Stereotip memunculkan prasangka, lalu karena
prasangka maka terjadi jarak sosial, dan setiap orang yang berprasangka
cenderung melakukan diskriminasi. Sementara itu Sears, Freedman & Peplau
(1999)[6]
menggolongkan prasangka, stereotip dan diskriminasi sebagai komponen dari
antagonisme kelompok, yaitu suatu bentuk oposan terhadap kelompok lain.
Stereotip adalah komponen kognitif dimana kita memiliki keyakinan akan suatu
kelompok. Prasangka sebagai komponen afektif dimana kita memiliki perasaan
tidak suka serta diskriminasi adalah komponen perilaku.
Melihat penjelasan itu,
stereotip pun menjadi sebuah fenomena sosial yang tidak dapat terelakkan.
Kelahirannya dapat berasal dari proses komunikasi sosial yang kemudian ditransmisikan
pada suatu konsep. Dalam hal ini, secara tidak langsung – berdasarkan konsep
stereotip yang muncul di masyarakat akan menggiring kita pada perilaku yang
mengacu pada stereotipe itu.
Stereotip ini menjadi polemik
sendiri ketika dia berubah menjadi suatu insult
(penghinaan). Misalnya saja stereotip bahwa perempuan lemah sehingga
terkadang lelaki yang tidak dapat berbuat apapun disebut sebagai “perempuan”.
Sehingga, subjek yang di-insul-tkan
sebetulnya ada dua, yaitu laki-laki atau perempuan. Hal ini kemudian juga menimbulkan pertanyaan
apakah sisi maskulitas secara keseluruhan hanya milik laki-laki dan sisi
feminitas hanya milik perempuan saja. Bagi beberapa orang hal tersebut bukanlah
penghinaan karena sudah sesuai dengan fungsi peran masing-masing gender. Namun
kembali lagi, kontruksi gender bisa jadi timbul karena stereotipe bahwa
perempuan adalah pihak yang (harus) feminim (murni) dan laki-laki adalah yang
(harus) maskulin (murni).
Penghinaan juga sering terjadi
pada orang-orang yang termarjinalkan. Misalnya saja gay dan transgender.
Seorang pria yang dianggap pengecut dianalogikan sebagai banci. Padahal banci
belum tentu pengecut. Seorang pria yang berdandan rapi (metroseksual) dihina
sebagai gay. Jelas sudah bahwa, mereka menggunakan “gay” dan “banci” untuk
menghina orang-orang yang diduga memiliki “kesamaan” perilaku. Melihat situasi
yang seperti ini dalam masyarakat, (saya) dapat menyimpulkan bahwa masyarakat
memarjinalkan kaum minoritas dan menjadikanya sebagai bahan olok-olokan. Kaum
minoritas pada akhirnya menjadi terdiskriminasi akibat adanya stereotipe.
Stereotip adalah persepsi
seseorang setelah dan atau sebelum melakukan komunikasi. Dapat dikatakan,
setelah berlangsung proses komunikasi interpersonal, stereotipe lahir sebagai
sebuah konsep. Jika dihubungkan dengan nilai-nilai psikologi – stereoritep yang
merupakan hubungan lingkar dengan prasangka; prasangka adalah sebuah bentuk
yang lahir dari cara bersikap dan perasaan. Dalam hal ini komunikasi
interpersonal secara verbal menciptakan label kepada seseorang atau suatu
kelompok (bagian dari stereotipe). Pelabelan ini sebetulnya timbul dari
“perasaan” seseorang semata. Seperti yang telah dijelaskan di awal, proses
komunikasi memiliki pemaknaan yang beragam. Intonasi, nada, dan aksen berbicara
dapat menimbulkan persepsi yang berbeda. Persepsi yang berbeda ini bisa jadi
hanya karena “terbawa perasaan”. Sehingga sebetulnya proses komunikasi
interpersonal dipengaruhi oleh konsepsi diri yang bergulat dengan banyak
perasaan sehingga timbul prasangka. Singkatnya, stereotipe tidak lepas dari
proses komunikasi sosial. Komunikasi interpersonal yang terjadi di lingkungan
sosial adalah wujud dari “perdebatan” konsepsi diri.
[1] PK
(Bollywood), 2014
[2] Fatur
Rahman, Mengelola Prasangka Sosial Dan Stereotipe Etnikkeagamaan
Melalui Psychological And Global Education, terarsip pada http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132300169/MEREDAM%20PRASANGKA%20SOSIAL%20DAN%20STEREOTIPE%20ETNIK.pd,
diakses 14 Juni 2015.
[3] Craig
McGarty, Stereotype as Explanation,
terarsip pad http://catdir.loc.gov/catdir/samples/cam033/2002073438.pdf,
diakses pada 14 Juni 2015.
[4] Ibid.
[5]Roy F.
Baumeister (ed.), Advance Social Pshycology, terarsip dalam http://faculty.wcas.northwestern.edu/bodenhausen/BRAdvanced.pdf,
diakses pada 15 Juni 2015.
[6] Ibid.
Comments
Post a Comment